Bab 11: Teman?
Vello dan Dexter berjalan menyusuri area kampus. Sang nona muda memeluk buku tebal yang sejujurnya terasa berat, tetapi ia sama sekali tak keberatan membawanya.
Dexter yang berada di belakang Vello dapat melihat punggung sang nona muda menegang sesaat sebelum akhirnya terlihat rileks kembali. Ia mencoba mencari sumber yang membuat Vello demikian.
Tak jauh dari mereka, Dexter dapat melihat empat gadis yang mencelakai nona mudanya beberapa hari lalu, kini tengah memandang Vello dengan remeh. Namun, ketika mata mereka bertemu dengan Dexter, para gadis itu seperti tengah melihat hantu, membuat Dexter menyunggingkan seringai iblisnya. Mereka bergidik takut dan langsung menunduk.
Mereka tetap menunduk ketika Vello dan Dexter melewati para gadis itu. Setelah langkah keduanya cukup jauh, Vello memperlambat langkahnya, hingga kini ia dan Dexter jalan beriringan.
“Apa yang kau lakukan tadi?”
“Apa maksud Anda, Nona?”
Vello menghela napas. Pria itu selalu saja melempar tanya ketika ditanya. “Kau tahu apa maksudku.”
“Saya tak melakukan apa pun. Mereka langsung ketakutan saat melihat saya,” jawab Dexter tanpa ekspresi yang entah mengapa malah membuat Vello menutup mulutnya menahan tawa. Kening pria itu berkerut. Ia merasa tidak sedang melempar sebuah lelucon.
“Kau memang sering kali menyeramkan,” ujar Vello akhirnya setelah berhasil menahan tawa meskipun masih terlihat di wajah berbingkai kacamata tersebut.
Satu alis Dexter terangkat naik. “Dan kapan ketika saya tak terlihat menyeramkan?”
Seketika semburat merah menyebar di pipi Vello. Ia memutar bola matanya, tampak berpikir meskipun ia sudah pasti tahu jawabannya, tetapi ia malu untuk mengutarakan pada pria itu. Sungguh tak mungkin rasanya mengatakan pada Dexter, jika pria itu terlihat begitu berbeda ketika ia baru saja keluar kamar dengan keadaan rambut basah setelah mandi ataupun ketika pria itu tengah membasuh peluh di dahi dengan tubuh berkilat keringat, ketika berada di ruangan gym mansion.
Akhirnya Vello memilih menggelengkan kepala. “Entahlah aku lupa.” Ia mengangkat bahu sebelum akhirnya kembali memandang depan. Tak menangkap satu alis Dexter yang kembali naik karena heran melihat wajah merona sang nona muda. Memang apa yang sedang gadis itu pikirkan?
Tak lama wajah Dexter berubah mengeras ketika teringat pada keempat gadis yang mereka lewati tadi. Dexter harus segera memberi mereka pelajaran. Ia akan segera mencari tahu tentang para gadis sialan itu setelah nonanya berada di kelas.
Ketika seorang dosen wanita memulai perkuliahan, Dexter tak membuang waktu dan langsung melesat keluar kelas, tak memperhatikan terdapat sepasang mata yang memancarkan ketidakrelaan ketika pria itu pergi.
Apakah pria itu kembali menemui teman kencannya?
Vello menjejalkan oksigen ke rongga dada. Seketika matanya berkilat cerah ketika melihat pintu kelas kembali terbuka, tetapi ternyata bukan bodyguard-nya yang masuk melainkan Kenneth yang datang dengan napas tersengal, seperti pria itu baru saja berlari untuk mencapai kelas.
Tanpa sadar Vello mendesah lesu. Ia mengamati Kenneth yang tampak memohon pada dosen di depan sana untuk mengizinkannya tetap mengikuti kelas karena terlambat. Tampaknya usaha Kenneth berhasil karena Vello dapat melihat pria itu tersenyum lega dan melangkah menaiki anak tangga.
Tanpa diduga, pria itu duduk di sampingnya. Membuat seisi kelas menengok dan menjadikan mereka kini pusat perhatian. Kenneth tampak tak peduli dengan mengeluarkan buku catatan serta alat tulisnya.
Berbeda dari para teman sekelas yang heran karena Kenneth memilih duduk di sampingnya, Vello lebih heran lagi dengan kedatangan Kenneth ke kampus. Mengingat pria itu masih dalam masa berkabung.
“Mengapa kau datang ke kampus?” bisik Vello ketika kelas sudah kembali kondusif dengan materi yang tengah diterangkan oleh sang dosen.
Kenneth menengok dengan ujung bolpoin yang menempel pada dagu.
Ia mengendikkan bahu. “Aku tak melihat manfaat dengan berdiam diri di dalam kamar. Tak dapat mengembalikan ayahku. Bukankah kau berkata tugas kita melanjutkan hidup?”
Vello tersenyum yang menular pada pria di sampingnya tersebut. Ya, Tuhan! Mimpi apa ia semalam? Kenneth duduk di sampingnya dan sekarang sedang tersenyum padanya. Jiwa Vello terasa ingin berteriak histeris seperti para penonton konser musik ketika melihat idolanya dari dekat.
“Spesialis apa yang akan kau ambil, nanti?” bisik Kenneth.
Kini fokus pandangan mereka sudah kembali pada papan besar di depan sana dengan jemari yang sibuk mengisi buku catatan mereka.
“Entahlah pertama aku ingin menjadi dokter anak. Namun, saat ini aku tak begitu yakin dan malah terpikir untuk menjadi dokter bedah.”
Bayangan ketika ia menjahit luka Dexter terputar di kepala Vello. Ia tak paham dengan dirinya sendiri, tetapi ia begitu yakin profesi tersebut akan sangat berguna untuk masa depannya. Sungguh aneh.
“Benar kah? Kalau begitu kita harus melanjutkan pendidikan bersama-sama.” Vello mengerutkan dahi mendengar suara Kenneth yang terdengar antusias.
Ia melirik pria di sampingnya itu. “Kau juga ingin menjadi dokter bedah?”
“Iya, itu adalah mimpiku dan harapan ayah. Aku akan membuat ia tersenyum bangga di sana.”
Vello mengangguk, mendukung. “Kau memang harus membuatnya bangga.”
***
Jam analog berwarna maroon di pergelangan tangan Vello menunjukkan bahwa perkuliahan di jam terakhirnya akan segera berakhir.
Entah mengapa ia begitu gelisah terutama bodyguard-nya belum kembali ke ruang kuliah. Gelisah dan sebal entah mana yang lebih mendominasi, tetapi jelas keduanya membuat Vello tak nyaman.
Mungkin kegelisahannya itu muncul karena Vello takut kejadian buruk yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu ketika bodyguard-nya itu pergi, kembali terulang.
Beberapa menit kemudian, dosen yang tampak seusia dengan neneknya itu mengakhiri perkuliahan. Para mahasiswa segera berhamburan menuruni anak tangga untuk meninggalkan kelas.
Jemarinya meraih ponsel di dalam tas untuk mengetik pesan pada Dexter. Memberitahukan bahwa kelas terakhir telah usai agar bodyguard-nya itu segera menyelesaikan acara kencan dan melaksanakan kewajiban kerjanya.
Vello memandang sesaat dan tersenyum kecil ketika Kenneth berpamitan padanya kemudian fokus pandangan Vello kembali terarah pada layar pipih di tangan yang tengah bergerak lincah mengetik pesan. Ia memasukkan ponsel tersebut ke kantong celana setelah mengirim pesan pada Dexter.
Vello memasukkan segala barang di meja dengan gerakan perlahan. Ia ingin berlama-lama di dalam kelas. Namun, barang yang berada di mejanya tak terlalu banyak sehingga tak cukup mampu mengulur waktu. Akhirnya ia memakai ransel kanvasnya dan melangkah menuruni anak tangga.
Arabelle dan Kenneth tampak sedang terlibat pembicaraan di dekat pintu kelas. Samar, Vello mendengar bahwa Arabelle meminta maaf pada Kenneth karena tak bisa menghadiri pemakaman ayah Kenneth, Wilfred Orville.
Tampaknya Kenneth sudah benar-benar tak memedulikan mantan kekasihnya itu karena ketika Arabelle hendak memeluk tubuh pria itu, Kenneth dengan cepat menahan tangan Arabelle dan menyentaknya.
Vello berlalu begitu saja keluar kelas, tak berminat lebih jauh untuk menyaksikan drama tersebut. Lagi pula bukan urusannya.
Ketika langkah kakinya sudah berada di luar kelas, mata Vello berkeliaran mencari sosok Dexter di antara mahasiswa yang berlalu lalang, Namun, setiap ia mengedarkan pandangan, justru hatinya berdenyut nyeri karena selalu menemukan para mahasiswa yang berkumpul bersama teman-teman mereka atau sedang bersama kekasihnya. Vello sudah biasa sendiri di tengah itu semua, tetapi entah mengapa kali ini terasa begitu meremas jiwanya.
Matanya memandang nanar sekumpulan mahasiswa yang sedang tertawa mendengar satu temannya yang tengah asyik bercerita. Vello mencoba melarikan diri dengan memilih melempar pandangan ke tempat lain, tetapi matanya seperti tengah dikepung oleh pemandangan yang seakan mengolok dirinya.
Kerinduan pada interaksi pertemanan yang hangat seketika mendobrak dasar hati yang sudah Vello kunci rapat. Membuat dadanya terasa sesak oleh hal yang tak dapat Vello gapai kembali.
Matanya memanas, tiap sarafnya bergetar, jiwanya menjerit, tetapi yang tampak hanya ada Vello yang sedang menghentikan langkah kakinya.
Tiba-tiba ia tersentak ketika menemukan Dexter sudah berada di sampingnya. “Maaf jika saya mengagetkan Anda, Nona.”
Vello hanya mengangguk pelan. Mengusir kesedihan yang mencoba merengkuhnya. Ia dan Dexter kembali melangkah, tetapi sudut mata gadis itu melirik Dexter dengan heran. Bagaimana bisa pria itu sudah berada di sampingnya tanpa ada bunyi langkah sama sekali?
Mencoba mengenyahkan pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin dapat ia jawab. Vello memilih bersyukur karena pria itu sudah kembali.
***
Tak sulit bagi Dexter untuk mendapatkan identitas para pelaku bullying nona mudanya. Tanpa membutuhkan waktu lama. Dexter sudah mengantongi nama masing-masing gadis beserta kartu AS yang bisa Dexter jadikan sebagai senjata untuk menghancurkan mereka.
Gadis pertama, berambut ombre bernama Samantha. Ia merupakan pengguna sekaligus pengedar narkoba. Gadis itu sudah menjalankan pekerjaan kotor itu dua tahun bersama kekasihnya. Sangat mudah bagi Dexter untuk menjebloskan gadis itu ke jeruji besi.
Gadis kedua dan ketiga bernama Janneth dan Becca. Keduanya memiliki skandal hubungan panas dengan salah satu dosen. Yeah, siapa yang mengira bahwa ketiganya sering kali melakukan threesome di lingkungan kampus.
Sedangkan gadis terakhir bernama Abby. Gadis itu telah memalsukan dokumen nilai akademik untuk bisa masuk universitas tersebut.
Dengan masing-masing kartu AS yang sudah Dexter pegang. Ia dapat membuat para gadis itu keluar dari universitas. Tidak hanya itu, keluarga masing-masing dari mereka juga akan terseret merasakan kehancuran putri mereka.
Di dalam kamar, Dexter menyeringai, memandang map merah berisi bukti kotor para gadis itu di tangannya.
Di tempat berbeda, Vello baru saja keluar dari kamar dengan menyampirkan sling bag di pundaknya. Kaki beralaskan sepatu abu-abu itu melangkah menuruni tangga menuju garasi mansion.
Malam ini ia mengenakan blus berwarna abu-abu yang ia padukan dengan celana hitam.
Ia tersenyum memandang satu-satunya mobil yang terselimuti cover berwarna hitam di deretan paling ujung dari tiga mobil mewah lainnya yang berada di garasi.
Jemarinya sudah membuka cover mobil sebagian, hingga mencapai pintu depan ketika terdengar sebuah suara seorang pria yang sudah ia hafal yang membuatnya terjingkat karena kaget.
“Apa Nona akan pergi?” tanya Dexter dengan memperhatikan penampilan Vello.
Vello mengelus dada dari sisa-sisa keterkejutannya. Pria itu selalu saja datang tanpa suara. Ia berdeham sebelum menjawab, “Ya, aku akan berjalan-jalan sebentar malam ini.”
Vello kembali meneruskan tangannya untuk membuka cover mobil hingga terlihat keseluruhan bentuk Maserati berwarna fuchsia metalic yang menyala. Vello tersenyum memandangi mobilnya. Ia sudah tak sabar untuk kembali mengendarai mobil dari kado ulang tahun yang diberikan oleh Russell setahun yang lalu.
“Saya akan berganti pakaian sebentar untuk mengantarkan Anda, Nona”
Dexter hendak berbalik, tetapi Vello segera mencegah dengan suaranya. “Tak perlu, aku ingin mengendarainya sendiri.”
Dexter tak menjawab, ia hanya memandang Vello. Sebuah sorot mata yang selalu saja berhasil mengintimidasi lawan bicaranya, termasuk sang nona muda. Namun, Vello kali ini sekuat tenaga melawan sorot hijau kecokelatan itu untuk mempertahankan egonya.
Keduanya saling bergeming dengan beradu pandangan. Vello terus bergumam dalam hati untuk mempertahankan dirinya, tetapi terasa begitu susah mengalahkan sorot manik bodyguard tersebut, hingga ....
“Please,” cicit Vello akhirnya.
Dexter mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. Vello tersenyum melihat anggukan tersebut, tetapi dengan cepat binar bahagia sang nona segera hilang karena perkataan pria itu.
“Saya akan tetap menemani Anda karena Nona tanggung jawab saya.”
Vello akhirnya tersenyum kecut dan mengangguk lesu. Membiarkan bodyguard tersebut meninggalkannya sebentar untuk berganti baju. Gagal sudah niatnya untuk berkeliling kota sendirian. Vello memilih mengeluarkan mobilnya sembari menunggu Dexter.
Tak lama kemudian Vello melirik ke arah spion ketika bodyguard tersebut tampak berjalan ke arah mobil. Dexter telah berganti pakaian dengan setelan kemeja berwarna hijau army. Vello sudah cukup hafal dengan gaya berpakaian Dexter yang selalu menarik lengan bajunya hingga mencapai siku.
Vello tetap diam saat Dexter berjalan ke arah pintu kemudi hingga pria itu kaget ketika membuka pintu mobil dan menemukan sang nona muda duduk di sana. “Biarkan aku yang menyetir malam ini,” kata Vello dengan memancarkan raut penuh permohonan.
Lagi, Dexter akhirnya mengangguk kemudian mengitari bagian depan mobil untuk duduk di kursi penumpang di sebelah Vello. Setelahnya, mobil segera melaju meninggalkan mansion. Menyusuri jalanan malam kota London menuju tempat yang sudah lama tak didatangi oleh Vello.
Vello dapat menangkap pandangan tak nyaman dari bodyguard tersebut ketika memandangi isi mobil Vello yang didominasi oleh warna merah muda. Vello menyembunyikan bibir dengan geli. Kini ia merasa telah menyelamatkan Dexter, ia tak dapat membayangkan bagaimana pria seperti Dexter mengendarai mobil yang bahkan sarung setirnya terbuat dari bulu boneka berwarna merah muda.
Setelah Vello mengenyahkan pikiran agar kembali fokus. Keduanya tak banyak berbicara. Membiarkan layar entertainment mengalunkan lagu yang berdentum kencang, membuat Vello semakin terpacu untuk menancap gas, membelah keramaian kota.
Ia begitu bersemangat, wajahnya begitu cerah dengan tangan yang lincah mengendalikan setir dan menggerakkan porslening. Ia sudah merindukan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.
Vello mengarahkan Maseratinya memasuki jalan sepi berliku di perbukitan. Ia tak menyadari bahwa Dexter sedari tadi tengah memandangnya.
Pria itu memperhatikan Vello dengan lekat dari wajah hingga pergerakan lincah gadis berkacamata itu mengendalikan mobil dan memindah gigi.
Dexter tersenyum miring kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di depan mereka. Ia mendapat kejutan, melihat sang nona muda yang sudah ia beri label melankolis tersebut, ternyata begitu mahir mengendarai mobil. Terlebih dengan kecepatan tinggi yang membutuhkan keterampilan khusus. Gadis itu rupanya sulit ditebak.
Tak lama, Vello mengurangi kecepatan mobilnya, kemudian menepi pada area kosong di dekat tebing. “Kita sudah sampai.” Vello tersenyum kecil ketika menoleh pada Dexter sembari melepas seatbelt-nya.
Keduanya keluar dari mobil. Dexter berdiri di samping Vello yang saat ini tengah merentangkan tangan dengan lebar menatap pemandangan kota London di malam hari yang begitu indah dengan lampu-lampu gedung yang tampak kecil berhamburan dari lokasi mereka berdiri.
Dexter melirik pada sang nona yang kini tengah tersenyum lebar, ia baru kali pertama melihat senyum itu selama masa tugasnya sebagai bodyguard Vello. Ternyata sesederhana ini untuk sang nona muda dapat menarik lebar garis bibir kemerahan apel tersebut. Ia menghela napas tipis, kemudian turut menikmati pemandangan di depan mereka sembari menyembunyikan kedua tangan di dalam saku celananya.
Tiupan angin malam membuat beberapa anak rambut membelai wajah sang nona dengan lembut. Dexter dapat melihat bagaimana Vello menyampirkan anak rambut tersebut ke balik telinganya, membuat kini pipi itu kembali terbebas dari surai yang sempat menutupi. Senyum lebar itu seakan setia berada di posisinya.
“Tempat ini menakjubkan, bukan?” lirik Vello dan mendapat anggukan pada wajah datar Dexter yang turut meliriknya.
Senyum Vello sedikit surut ketika menangkap wajah datar itu. Ia cepat memalingkan muka. Memilih duduk di atas cap mobil kemudian merebahkan tubuhnya di kaca depan.
Pandangannya kini dikuasai oleh gelapnya langit malam dengan satu bintang yang tengah mengintip malu-malu.
“Kau sendirian? Aku juga. Tak apa, sendirian tak membuatmu mati. Bahkan kau tampak menjadi yang paling bersinar bukan?” bisiknya pada bintang yang berada jauh di sana.
“Kau beruntung karena tak ada yang mengusikmu. Jadi berbahagialah di sana.” Vello tersenyum tipis memandang kilau bintang tunggal tersebut.
Setetes air mata lolos dengan lancang, membuat Vello cepat-cepat menghapusnya. Ia merubah posisi menjadi duduk dengan kaki menyilang.
“Dexter ....”
Pria itu menoleh. Vello menepuk ruang duduk di sampingnya. “Duduklah, aku tahu kakimu pasti lelah dengan selalu berdiri berjam-jam menemaniku setiap hari.”
Vello tersenyum tipis ketika pria itu menuruti perkataannya dengan mengambil duduk di sampingnya. “Bagaimana kencanmu tadi siang?”
Satu alis Dexter terangkat. Ia menoleh pada sang nona muda. Membuat Vello akhirnya mengerutkan kening.
“Tadi siang kau sedang berkencan bukan?”
“Saya tak pernah tertarik untuk berkencan, Nona.”
Guratan heran di kening Vello semakin jelas tercetak meskipun hatinya tiba-tiba merasakan gelenyar aneh yang melegakan. “Jadi kau pergi ke mana ketika dua kali keluar dari ruang kelasku?”
“Saya memiliki urusan yang harus segera saya tuntaskan.” Dexter memalingkan wajahnya menghadap pemandangan lampu kota.
“Kau memiliki pekerjaan sampingan selain jadi bodyguard-ku?” Vello merutuki mulut lancangnya yang mencoba mengorek privasi Dexter. Tak ingatkah Vello bahwa bodyguard-nya tersebut cukup menyeramkan?
Namun, syukurlah karena Dexter hanya menoleh sekilas pada sang nona kemudian mengembalikan arah pandangannya tanpa berniat menjawab. “Maaf,” lirih Vello akhirnya.
“Apakah ini tempat favorit Anda?” Ia kembali menoleh pada sang nona muda. Sudut bibir Vello tertarik ketika bodyguard tersebut mengalihkan topik pembicaraan.
“Iya, kau benar. Aku sudah lama tidak mendatangi tempat ini. Bukankah ini seperti sebuah harta karun? Kau tak boleh memberitahukan tempat ini pada orang lain.” Mata Vello menyipit mencoba berpura-pura memperingatkan Dexter.
“Dan Anda terbiasa berbicara dengan bintang itu?” tunjuk Dexter dengan kepala menengadah ke langit sesaat.
Wajah Vello langsung berubah merah karena malu. Apakah suaranya begitu keras? Padahal ia merasa nyaris tak mendengar bisikannya sendiri.
“Ka-kau mendengarnya?” Kini Vello hanya mampu tertunduk.
“Kau benar, Nona. Sendirian tak akan membuatmu mati. Saya sudah membuktikannya.”
Ucapan Dexter menarik perhatian Vello untuk segera memandang pria itu. Wajah bodyguard-nya masih sama, datar. Namun, kali ini dengan kalimat yang baru dilontarkan Dexter, ia merasa bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang sendirian.
“Bagaimana kau bisa menjalaninya?”
“Saya tak membutuhkan orang lain. Tak ada yang lebih bisa dipercaya selain dirimu sendiri, Nona.”
Perkataan Dexter begitu mengusik pendengaran Vello. Otaknya bekerja dengan keras, menafsirkan segala maksud ucapan pria itu. Vello mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebuah pertanyaan besar menyentak kepalanya. Apakah pria itu telah dikecewakan seseorang di masa lalunya?
Dengan jantung berdebar, Vello mencoba kembali menyelami manik hijau kecokelatan itu. Gelap, ia lagi-lagi terperangkap pada ruang gelap milik Dexter. Sebelum Vello merasakan sesak di dadanya, pria di sampingnya telah lebih dahulu memalingkan wajah, membuat Vello segera tertarik pada dunia nyata.
Vello menghela napas, kemudian melarikan pandangannya pada hamparan lampu kota. “Nyatanya aku tak bisa sepertimu. Mungkin laki-laki dan perempuan berbeda. Meskipun aku sekuat tenaga berusaha berdiri, nyatanya aku kembali tersungkur karena merindukan sebuah tali pertemanan, terlebih persahabatan. Seumur hidupku di Spanyol, aku sudah terbiasa dikelilingi banyak orang yang menyayangiku. Aku tak pernah kehabisan kawan. Aku tak pernah merasa kesepian.”
Dexter dapat melihat pundak sang nona tampak meninggi sesaat ketika gadis tersebut kembali menghela napas berat, seakan terdapat dinding tebal yang mengimpitnya, membuat sang nona begitu susah payah meraup udara.
Vello menoleh pada Dexter yang tengah memandangnya datar. “Pada siapa kau mengeluh selama ini? Manusia tak mungkin lepas dari masalah, bukan? Termasuk kau.”
“Tak ada gunanya mengeluh, Nona.”
Vello tersenyum kecut. “Berhentilah memanggilku nona,” gumamnya. “Dexter,” panggil Vello.
Sang nona muda saat ini tengah memandangnya lekat. Dexter ingin kembali memalingkan wajah ketika suara Vello seakan menahannya.
“Mau kah kau menjadi temanku?” Sesaat setelah ucapan itu lolos dari ujung lidahnya, Vello menundukkan kepala. Perasaannya begitu bergejolak, membuat ia mendadak pusing karena tak dapat memahami berbagai perasaan yang seakan memerangkapnya.
“Nona ....” Dexter seakan tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia tak habis pikir, apakah sang nona begitu putus asa?
Tiba-tiba Vello kembali mendongak dan mengibaskan tangan di depan wajah. “Jangan dianggap serius, aku hanya bercanda.” Vello tertawa yang justru terdengar aneh karena dipaksakan.
Ia melompat turun dari cap mobil, ia berjalan melewati Dexter, tetapi sebelum tubuhnya benar-benar melewati pria itu, tangan Dexter menahan lengannya.
Vello mendongak, menemukan sorot tajam Dexter yang membuat tubuhnya meremang. “Anda akan menyesal jika memilih berteman dengan saya.”
Bibir Vello bergetar melihat rahang pria itu yang kini tengah mengeras. Ucapan yang menyelusup pendengarannya itu seakan membawa tubuh Vello pada sisi gelap yang asing.
Dexter turun dari cap mobil dan langsung menyeret lengan Vello, kemudian mendorongnya hingga punggung Vello menabrak pintu mobil. Kedua lengan kokoh Dexter memerangkap sisi kepala Vello. Tubuhnya sedikit menunduk untuk dapat melihat wajah nona muda yang memang lebih pendek darinya.
Sesaat kemudian, wajah keras Dexter berubah menjadi seringai. Bola mata Vello membulat seketika, tubuhnya bergetar. Mata Dexter berlari turun mengamati tubuh sang nona yang tengah ketakutan, seringainya semakin lebar, kemudian sebelah tangannya segera meraih pistol dari balik kemeja belakangnya dan langsung mengarahkan monjong itu ke pelipis Vello.
Dinginnya moncong pistol itu seakan mengalirkan es yang membuat tubuh Vello terbujur kaku, tetapi Dexter saat ini justru merasakan setiap sarafnya diguyur oleh percikan lava yang membangkitkan iblis dalam tubuhnya.
Ia semakin melebarkan seringai mematikan di wajahnya, hingga sang nona muda tiba-tiba membuatnya membelalakkan mata.
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
