Bab 12: Biarkan Aku
Dua bulir cairan bening lolos menuruni pipi Vello. Pandangan gadis itu kini tampak kosong.
Seketika rahang Dexter mengeras. Sebelah tangannya yang bebas, meraih rahang Vello dengan mencengkeramnya, kemudian disentakkan dengan keras.
BRAAK!
Kepala Vello dibenturkan pada kaca mobil hingga menimbulkan bunyi yang mendobrak sunyi malam.
Vello tak merespons apa pun, seakan ia telah mati rasa, air matanya lagi-lagi luruh membuat Dexter menggeram.
Dengan sekali sentak, Dexter menghempaskan tubuh Vello hingga gadis itu terjerembap ke tanah. Dexter berdesis memalingkan muka.
Seketika tangis Vello pecah. Ia menekuk lutuhnya sendiri dengan terduduk di atas tanah. Ia menunduk, menyembunyikan wajah menggunakan tangannya.
Tubuh Vello bergetar seiring derasnya air mata. Tidak, ia sama sekali tak menangisi perilaku Dexter padanya, ia lebih menangisi dirinya sendiri. Ia benci pada dirinya sendiri.
Setiap tetes air mata itu seakan mengiringi derasnya segala beban hati yang ikut luruh menuruni wajah berbingkai kacamata itu. Dexter memasukkan pistolnya ke balik pinggang. Ia menyugar rambut dengan kasar. Napasnya menderu seiring kobaran amarah yang tak dimengerti olehnya telah menyelusup masuk ke rongga dada.
Ia memilih menjauh dari sang nona dengan berjalan ke bagian depan mobil. Dexter menjejalkan oksigen sebanyak mungkin untuk menyiram panas di dadanya.
Tangannya menarik sebuah bungkus rokok di saku depan, kemudian menyalakannya. Ia menghisap dalam lalu mengeluarkan perlahan dari sela bibir.
Dipandangnya api yang tengah membakar perlahan batang rokoknya. Ia masih mendengar isak tangis Vello yang begitu menderai. Mengusik pendengarannya, membuat sebelah tangan Dexter terkepal kuat.
Kepalanya menengok sesaat pada Vello yang masih berada di posisi yang sama. Bibir Dexter berdecap, kemudian kembali menghisap rokoknya.
***
Vello mengerjap beberapa kali, kemudian matanya berlarian mengamati sekitar. Guratan di kening seketika muncul saat Vello menyadari bahwa dirinya berada di mobil yang sedang berhenti di sebuah parkiran dengan Dexter yang tengah duduk di kursi pengemudi sembari memejamkan mata. Lengan pria itu ditumpukan pada kening dengan kepala menengadah.
Pikiran Vello berputar mencoba kembali mengingat kejadian yang mungkin ia lupakan karena seingatnya, ia masih terduduk di tanah sembari menangis, tetapi kini tiba-tiba ia sudah duduk di kursi penumpang mobilnya. Vello tak menyadari bahwa ia tertidur karena kelelahan menangis.
Vello kembali menoleh pada pria di sampingnya yang ternyata saat ini telah terbangun dan tengah memandangnya. Dexter memalingkan wajah sebelum akhirnya ia keluar dari mobil. Menyisakan Vello yang hanya mampu mengekori dengan matanya dari dalam mobil, hingga sosok Dexter menghilang dari balik pintu minimarket.
Vello kembali memutar tubuhnya menghadap depan. Ia membuka sun vissor di atas kepalanya dan melihat pantulan dirinya pada kaca kecil di sana.
Bibir Vello mendesah melihat wajahnya yang begitu berantakan dengan mata sembab dan masih menyisakan warna merah pada sklera dan ujung hidungnya karena terlalu lama menangis. Ia segera menutup sun vissor tersebut, tak ingin berlama-lama melihat wajahnya yang mengerikan.
Ketika menunduk, ujung mata Vello menangkap sarung setir berbahan bulu yang telah berpindah tempat di ruang penyimpanan dekat pintu kemudi. Pandangannya langsung menuju setir mobil yang kini tampak telanjang. Sudut bibir Vello berkedut geli.
Gadis berkacamata itu kembali menghadap depan sembari menggigit ujung kukunya. Tiba-tiba ia tersentak menyadari hal janggal. Ia terbangun dengan berada di kursi penumpang, tentunya ada seseorang yang membawa tubuhnya untuk berpindah tempat. Mungkinkah Dexter yang mengendongnya? Tiba-tiba tubuh Vello terasa gelisah, jantungnya berdetak begitu cepat, seakan ingin meledak dari rongga dadanya.
Vello belum dapat mengendalikan debaran jantung yang bertalu-talu ketika pintu di sampingnya tiba-tiba terbuka dan memunculkan sosok Dexter. Pria itu tampak sedikit melebarkan pupilnya ketika menemukan sang nona tengah memandangnya dengan semburat kemerahan yang menyebar pada pipi. Sebelah alis Dexter terangkat kemudian ia menyodorkan paper cup berisi kopi dan sebungkus roti. Sang nona tampak menerima dengan ragu-ragu.
Vello mengamati wajah datar Dexter yang kali ini terlihat cenderung dingin. Pria itu dengan cepat menutup pintu mobil yang membuat Vello sedikit tersentak, namun kemudian ia mengikuti pergerakan Dexter dari kaca, bodyguard-nya saat ini bersandar di belakang mobil.
Mendesah pelan, Vello mengembalikan pandangan pada kopi dan roti di tangannya. Bibir Vello tertarik tipis. Setelah menghabiskan roti dan meneguk kopinya sebagian, pintu mobil kembali terbuka, tetapi kali ini di bagian kemudi. Dexter segera masuk. Menjalankan mobil tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. Vello hanya mampu menundukkan kepala sepanjang perjalanan sembari sesekali meminum kopinya hingga benar-benar habis.
Ia kembali terbayang kejadian sebelum ia meraung dalam tangis. Vello melirik Dexter sekilas kemudian menyembunyikan wajah dengan menolehkan pandangan ke arah kaca di sampingnya.
Pria itu untuk kedua kalinya telah menodongkan pistol di kepalanya dan kali ini Vello dapat melihat dengan begitu jelas, kilatan merah di mata Dexter. Seperti terdapat api yang menyusuri tubuh pria itu dan berlabuh pada bibir yang menyunggingkan seringai mematikan.
Seketika tubuh Vello bergetar. Ingatan kembali membujuknya untuk melihat bagaimana Dexter memperlakukannya dengan kasar hingga ia berakhir terduduk di tanah.
Bulu lentiknya bergerak naik turun seiring ia mengerjapkan mata. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa ketika mengingat kejadian itu terasa lebih mencekam dibanding saat kejadian berlangsung. Nyatanya kesedihan telah begitu merenggut kesadaran logikanya.
Lagi, sebuah pertanyaan yang begitu sial karena tak mampu Vello jawab, merangkak naik memenuhi kepalanya. Kenapa pria tersebut tiba-tiba memperlakukannya demikian setelah Vello memintanya untuk menjadi teman?
Matanya kembali menyeret Vello untuk memandang sang bodyguard yang tengah fokus mengemudi. Pandangannya turun pada jemari yang tengah mencengkeram setir kemudi. Tangan itulah yang telah menodongkan pistol dan memperlakukan tubuhnya dengan kasar. Mata Vello naik pada wajah tegas Dexter dan turun lebih lama pada bibir itu yang sebelumnya telah menciptakan seringai yang membuat tubuh Vello bergetar.
Entah mengapa, harusnya saat ini ia ketakutan dan kembali menyembunyikan wajah, tetapi tidak, Vello justru berlama-lama memandang Dexter. Pandangan Vello menyentuh setiap inci wajah bodyguard-nya.
Tiba-tiba pria itu menoleh padanya, membuat Vello tersentak dan mengerjapkan bulu mata. Ia yakin kini wajahnya telah semerah kepiting rebus karena tertangkap basah memandangi Dexter.
Mesin mobil baru saja mati. Ia mengedarkan pandangan. Baru menyadari bahwa mereka telah sampai di mansion. Tak berapa lama kemudian, pintu di sampingnya terbuka, memperlihatkan sosok tegap sang bodyguard yang menjulang, membuat Vello sedikit mendongakkan kepala untuk membuat matanya kembali singgah pada wajah Dexter.
Jantung Vello berdebar. Namun, ketika pandangannya telah menjelajahi wajah itu, napas lega mengiringi sarafnya yang mengendur karena ia tak lagi menangkap raut dingin yang sempat dilihatnya. Meskipun wajah pria itu masih begitu datar, tetapi itu jauh lebih baik.
Ia melihat bodyguard tersebut mengangguk kecil. Memberi hormat untuk mempersilakan Vello keluar dari mobil.
Hati Vello berdenyut nyeri melihatnya. Pria itu telah menolak pertemanan yang Vello bentangkan. Dexter melihat bagaimana sang nona keluar mobil dengan menundukkan kepala. Membawa segenap jiwa yang tak berdaya. Setelah kaki jenjang itu menyentuh anak tangga terakhir menuju pintu utama mansion, Vello berbalik memandangnya.
“Terima kasih untuk kopi dan rotinya. Maaf sudah merepotkanmu hari ini. Aku harap tanganmu tak kelelahan karena harus menggendongku,” ujar Vello yang ditangkap Dexter hanya dengan sorotan tanpa kata. Vello tersenyum getir sebelum akhirnya ia berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya.
***
Hampir tengah malam ketika derap langkah Dexter menyusuri mansion dengan penerangan redup. Tubuhnya berbelok ke lorong yang akan mengantarkannya menuju dapur.
Desakan dari rasa haus membuat ia akhirnya merelakan diri untuk berjalan jauh dari kamar menuju dapur mansion. Jika ia berada di apartemennya di New York, tentu ia tak membutuhkan upaya untuk berjalan sejauh ini.
Langkah kaki itu melambat seiring pandangannya menangkap cahaya yang menerangi dapur, membuat ruangan itu terlihat lebih terang di antara yang lain. Rasa heran Dexter terjawab ketika ia sudah berdiri di bingkai pintu dapur dan menemukan tubuh sang nona tengah membelakanginya.
Gadis itu mengenakan sleepwear berbahan sutra rose gold berlengan dengan celana pendek setengah paha. Surai panjang yang biasa terlihat menutupi punggungnya itu kini ia ikat melingkar hingga menampakkan leher jenjangnya.
Kini Dexter yakin sang nona tengah memasak karena sebuah aroma pasta tomat yang bercampur kaldu, memenuhi indra penciumannya. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi Dexter, untuk apa gadis itu memasak tengah malam?
“Ehm!” Dexter sengaja berdeham agar sang nona muda tak lagi kaget seperti yang ditangkapnya selama ini, namun lagi-lagi gadis itu tetap terkejut. Terlihat bagaimana pundaknya tersentak dan bergetar.
Dexter melihat bagaimana sang nona berbalik dengan perlahan menghadapnya kemudian mengelus dada.
“Ka-kau membutuhkan sesuatu?” tanyanya dengan wajah memerah.
Satu alis Dexter terangkat. “Memasak di tengah malam, Nona?”
Bibir kemerahan apel itu berdecap sebelum menjawab, “Bukankah kau belum makan? Duduklah di counter stool. Spaghettinya matang sebentar lagi.”
“Tadinya aku akan mengantar ke kamarmu, tetapi karena kau sudah datang kemari, itu lebih baik,” imbuhnya dengan bibir yang saat ini melengkungkan senyum.
Dexter tak merespons, hanya memandang sang nona dengan datar dan kembali cenderung dingin. Ia lebih memilih membuka lemari pendingin untuk menuangkan air mineral pada gelas yang telah ia ambil sebelumnya. Dexter menegaknya hingga tandas.
Bertepatan dengan ia membalikkan badan, sang nona baru saja meletakkan sepiring spaghetti bolognese di countertop.
Vello berdiri memandang Dexter yang kini berjalan ke arahnya. Jantung Vello berdebar, tenggorokannya mendadak terasa kering. Ia melangkah mundur ketika sorot dingin di wajah Dexter menerpa mata kelabunya. Pria itu terus melangkah mendekatinya hingga tubuh belakang Vello menabrak meja bar.
Kedua tangan Dexter bertumpu pada meja bar, memerangkap tubuh Vello. Ia memiringkan wajahnya, menyapu setiap inci wajah sang nona.
Dada Vello terasa sesak melihat pandangan dingin bodyguard yang justru membakar tubuhnya.
“Apa yang ada di pikiranmu, Nona?” Suara Dexter terasa membuat saraf-saraf di tubuh Vello gemetar.
Belum cukup membuat tubuh sang nona, sesak. Jemari Dexter mencengkeram rahang gadis di depannya.
“Jawab,” pintanya datar, tetapi mampu membuat lutut Vello lemas.
Sorot hijau kecokelatan itu seakan mencekik Vello hingga membuatnya kesusahan bernapas. Dexter melihat bibir sang nona bergetar. Membuatnya menyeringai, tetapi ketika pandangannya naik bertemu manik kelabu Vello. Rahang Dexter berubah mengeras.
“Jawab!” bentak Dexter sembari mengeratkan cengkeramannya hingga menciptakan kemerahan di sekitar dagu berkulit putih itu.
Mata Vello memanas, kantong matanya berusaha keras menahan desakan jiwa yang meronta lara. “Bahkan kau juga?” Bibir itu bergetar di tiap kata yang terucap. Pupil Dexter membesar. Jemarinya merenggang tanpa sadar.
“Bahkan kau juga seperti mereka? Berlaku kasar pada seseorang yang bersikap baik padamu? Apa yang salah dengan aku yang mengkhawatirkanmu?”
Tak mampu, Vello menyerah. Air mata itu kembali luruh mencabik hatinya. Vello menunduk. Dengan lemah ia meraih kaus Dexter. Kedua tangannya mencengkeram kaus itu sebagai tumpuan tubuh karena kakinya yang sudah terasa tak bertulang.
Ia tertunduk, menangis dalam diam. Hanya pundak yang bergetar pilu, menunjukkan seberapa deras air mata itu jatuh. Dexter mengepalkan kedua tangannya. Tangis sang nona justru seperti bensin yang disiramkan pada api. Membuat amarahnya berkobar.
Dengan cepat tangan Dexter menyentak tubuh sang nona hingga cengkeraman pada kausnya terlepas. “Apa kau bodoh?” geram Dexter dengan wajah memerah dari percikan api yang telah mengaliri setiap darahnya.
Vello mendongak pada Dexter dengan pandangan buram. Ia menggigit bibir bawahnya menahan perih di hati.
Napas Dexter memburu. “Kau begitu bodoh dengan bersikap baik pada orang yang baru saja mengarahkan pistol di kepalamu. Aku sudah berusaha menyadarkanmu untuk tak berteman dengan pria sepertiku! Kenapa kau begitu bodoh, hah?”
“Aku tak peduli,” jawab Vello lirih, tetapi matanya begitu lekat memandang Dexter. Menerobos ruang gelap yang menyesakkan di dalam sana, hingga membuat nadinya terluka.
“Kau baru saja menawarkan diri untuk masuk ke dalam nerakaku,” desisnya.
“Then, let me in.”
Pupil Dexter kembali melebar. Darahnya berdesir. Manik hijau kecokelatan itu tampak tak percaya tetapi sorot kelabu Vello seakan berbicara bahwa tak ada bualan pada setiap ucapannya.
Tanpa Vello duga, kedua tangan besar Dexter naik, membingkai pipinya. Membuat tubuh Vello tersentak karena tiba-tiba merasa aliran hangat pada sentuhan jemari itu.
Ketika Vello mengerjap, sorot mata mereka kembali bertemu. Saling menarik dan saling menenggelamkan tanpa mereka sadari. Dengan perlahan, kedua ibu jari Dexter menghapus air mata di wajah Vello.
Perilaku sederhana itu sukses memorak-porandakan jiwa Vello. Jantungnya berdetak liar, tubuhnya gelisah dengan cara yang menyenangkan. Bagaimana bisa semudah itu Dexter membolak-balikkan keadaan hatinya.
“Kau yakin?” Pandangan Dexter mengunci tubuh dan mata Vello.
Vello mengangguk pelan.
“Katakan,” bisik Dexter menuntut.
“Ya, aku yakin.”
Dexter kembali meneruskan menghapus jejak air mata sang nona. Tubuh Dexter mendekat. Kepalanya menunduk semakin dalam, membuat hidung mereka nyaris bersentuhan.
Vello hanya mampu mendongak tanpa mampu berpaling dari benang pandangan yang tanpa mereka sadari telah saling mengikat.
Ia kembali meraih kaus Dexter. Mencengkeramkan jemarinya dengan erat di kedua sisi pinggang pria itu. Bodyguard-nya itu benar-benar mampu menyedot habis segala tenaga Vello. Menyisakan tubuh yang kini bersusah payah untuk tetap dapat berdiri tegak.
Bahkan Vello kesusahan hanya untuk membasahi bibir bawahnya yang mengering dan mengambil sisa-sisa tenaganya untuk bernapas.
Dexter mengangguk. “Jangan sesali keputusanmu.”
Gerakan lembut di pipi yang tak Vello sangka telah diciptakan oleh seorang pria seperti Dexter, mengalirkan keberanian dan keyakinan yang entah dari mana datangnya. “Tak akan.”
Dexter semakin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling menyentuh. Membuat darah Vello berdesir. Tanpa sadar Vello memejamkan matanya untuk menikmati setiap embusan hangat yang menerpa bibirnya.
Namun, matanya kembali terbuka ketika tangan kanan Dexter turun bertumpu pada countertop, membuat Vello dilanda kehilangan seketika.
Belum cukup membuat jiwa Vello tercerai berai, Dexter menyapukan hidungnya ke sepanjang pipi Vello. Meninggalkan jejak panas di sana, hingga hidung itu kini berlabuh menyentuh daun telinganya.
Embusan napas pria itu menyalurkan percikan listrik di setiap inci tubuh Vello. Membuatnya meremang dan tak berdaya.
Dexter berbisik tepat di depan telinga sang nona. “Baiklah, karena sekali kau masuk, kau takkan bisa keluar dari nerakaku.”
...To Be Continued...
Makasi banyak sudah baca chapter ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu ya. Segala info tentang karya dan visual bisa cek di IG @saltedcaramely_
