9. Menjelma Nyata (2)
Beberapa saat kemudian Ervania membuka matanya, tanpa menunggu Ahmose menyuruhnya lebih dulu.
Yang pertama kali masuk dalam penglihatan Ervania adalah sesosok jasad terbungkus lipatan kain yang bergulung-gulung.
"Aaarrgghhh!" Ervania tidak tahan jika tidak menjerit, dia berbalik dan hampir melangkah pergi ketika sebuah lengan kokoh membelit pinggangnya dengan erat.
"Navarin, tenanglah!" Sebuah suara memutus teriakan Ervania yang ketakutan. "Aku tidak akan menyakitimu!"
Ervania masih meronta dengan ketakutan, meskipun dia tidak dapat mengendurkan belitan lengan yang melingkari pinggangnya.
"Tolong, jangan sentuh aku!" Ervania masih terus meronta dengan sekuat tenaga. Dia tidak berani menoleh karena teringat dengan perwujudan yang telah dilihatnya tadi.
"Navarin, tidak apa-apa ... aku tidak semenakutkan itu, berbaliklah ... lihat aku ..."
Ervania perlahan berhenti meronta, dengan ketakutan dia menolehkan kepalanya perlahan.
Seraut wajah paling tampan yang pernah dilihatnya di waktu-waktu tertentu kini memandangnya dengan raut khawatir.
"Kamu ... Ahmose?" tanya Ervania dengan suara bergetar.
"Ya, aku Ahmose. Aku tidak semenakutkan yang kamu pikirkan," jawab Ahmose sambil memandang Ervania dengan tatapan menghanyutkan.
Ervania tidak berkata apa-apa, dia hanya berpikir bagaimana bisa Ahmose menjelma nyata di hadapannya sampai senyata ini.
"Bisa tolong lepaskan aku?" tanya Ervania lagi.
"Baiklah," jawab Ahmose singkat, perlahan dia menarik lengannya dan berdiri tegak di hadapan Ervania.
"Kenapa ... sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ervania memberanikan diri bertanya.
Ahmose tidak segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ervania, melainkan dia hanya memandangnya dengan tatapan yang menyiratkan rasa rindu mendalam.
"Kamu ... bukan hantu, kan?" tanya Ervania untuk kesekian kalinya.
Ahmose tersenyum samar, bahu dan dadanya tidak tertutup pakaian sebagaimana mestinya. Melainkan ada seperangkat perhiasan terbuat dari perak yang menempel menutupi sebagian kulitnya sementara bagian pusar ke bawah ada sehelai kain sutra yang menutupinya hingga ke batas betisnya.
"Yang penting adalah sekarang aku bisa menjelma nyata di hadapan kamu," jawab Ahmose akhirnya. "Kamu tidak takut lagi padaku kan, Navarin?"
Ervania menarik napas, masih bingung dengan apa yang sedang terjadi dengannya.
"Asal kamu nggak menyakiti aku saja ..." ucap Ervania sambil menggelengkan kepalanya. "Apa ... tujuan kamu datang ke sini? Aku sama sekali nggak kenal sama kamu ... siapa kamu sebenarnya?"
Ahmose melipat kedua tangannya di dada dan tidak segera menjawab pertanyaan Ervania.
"Aku secara khusus meminta semesta untuk mengizinkanku mengejarmu sampai ke sini," jawab Ahmose lambat-lambat. "Untungnya hari itu aku melihatmu saat berada di sekitar penggalian makam kuno."
Ervania terpaku, ingatannya langsung melayang kepada momen saat dia dan teman-temannya coba-coba melihat proses penggalian salah satu situs kuno di Mesir dulu.
"Kamu melihatku? Bagaimana bisa ...?" tanya Ervania bingung. "Dan ... kamu ini ... berasal dari Mesir? Tapi kenapa kamu bisa mengerti bahasaku? Bahasa Indonesia?"
Ahmose tidak segera menjawab.
"Kamu akan segera tahu, tapi bertahap." Dia menyahut. "Soal bahasa, bukan aku yang mengerti bahasamu. Tapi kamu yang memahami setiap ucapanku."
Ervania jelas terbengong-bengong mendengar penjelasan Ahmose.
"Aku nggak ngerti," katanya sambil menggelengkan kepala. "Buat aku, kita sekarang ini sedang bicara dengan bahasaku sehari-hari ..."
"Tapi bukan itu yang didengarkan orang lain," sahut Ahmose sambil tersenyum tenang. "Yang mereka tahu adalah kamu bicara dalam bahasa asing yang tidak mereka pahami. Ingat?"
Ervania terdiam. Ada beberapa momen yang dia ingat ketika Saghara memberi tahu bahwa dirinya pernah berbicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti orang lain.
Mungkinkah ini adalah bahasa asal Ahmose?
"Kenapa bisa begini?" tanya Ervania sambil mendongak menatap Ahmose yang berdiri tegap di hadapannya.
"Apa kamu percaya kalau aku bilang kalau aku ini adalah pangeran yang dikutuk?" tanya Ahmose balik sambil menatap manik mata Ervania.
"Tentu saja enggak," geleng Ervania segera.
Sebelum Ahmose sempat menanggapi, terdengar ketukan pintu yang cukup keras di belakang Ervania.
"Van? Kamu bisa bantu mama sebentar?" Suara mama Ervania merambat ke seantero ruangan dan mengejutkan mereka.
"Aku ingin berkenalan dengan ibumu," kata Ahmose kalem. "Bisa, kan?"
"Enggak!" sahut Ervania tegas dengan suara rendah. "Kamu nggak boleh menampakkan dirimu di depan siapa pun kecuali aku, paham?"
Ahmose mengerjabkan matanya dengan heran.
"Kenapa?" tanya Ahmose ingin tahu.
"Mereka akan sangat terkejut melihat wujud kamu," jawab Ervania segera. "Belum lagi penampilan kamu ..."
"Apa menurutmu aku begitu buruk rupa?" tanya Ahmose seakan tersinggung dengan ucapan Ervania.
"Enggak, bukan begitu juga ... " jawab Ervania dengan pandangan menilai. "Kamu ... hanya saja dandanan kamu nggak pantas berada di jaman sekarang, Ahmose. Itu maksudku."
Ahmose merenung sebentar.
"Van?" panggil mama lagi.
"Sebentar lagi aku turun, Ma!" sahut Ervania sambil menoleh ke arah pintu. "Aku sakit perut!"
"Mama tunggu di dapur!" seru mama lagi.
Ervania cepat-cepat memandang Ahmose lagi.
"Tolong kamu sembunyi dulu," pintanya dengan sangat. "Jangan sampai mama melihatmu di sini."
"Memangnya kenapa?" tanya Ahmose heran. "Pakaian ini adalah baju kebesaranku pada jamannya, memangnya orang-orang akan terganggu melihatnya?"
"Kamu nggak akan mengerti," jawab Ervania sambil menggeleng frustrasi. "Mereka akan mengajukan banyak pertanyaan seperti siapa namamu, asal kamu dari mana, kenapa kamu bisa ada di sini ... masalahnya aku harus jawab apa?"
Ahmose kelihatan berpikir keras.
"Tolong kamu sembunyikan diri kamu dulu, bisa kan?" tanya Ervania dengan nada mendesak. "Kamu hanya boleh muncul saat bersamaku saja, usahakan begitu. Atau aku harus pura-pura nggak mengenalmu dan kamu akan tersesat selamanya di sini, paham?"
Ahmose perlahan menganggukkan kepalanya.
"Menghilanglah dulu," pinta Ervania. "Aku harus turun untuk membantu mama di dapur."
Tanpa menunggu jawaban apa-apa dari Ahmose, Ervania bergegas keluar dari kamarnya dan turun ke dapur menyusul sang ibu.
"Sudah enakan perutnya?" sambut mama saat Ervania muncul di dapur.
"Sudah Ma, aku balur pakai minyak kayu putih tadi." Ervania menjawab dusta. "Ada yang bisa aku bantu, Ma?"
Mama menunjuk beberapa kotak kue yang harus Ervania rapikan. Kegiatan ini sedikit menyibukkan pikiran Ervania dari keberadaan Ahmose di kamarnya. Dia berharap laki-laki itu akan mendengarkan permintaannya tadi dengan tidak menampakkan dirinya kepada orang lain.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Saghara saat dia merasa jika Ervania menjadi lebih pendiam akhir-akhir ini. "Apa ada masalah?"
Ervania menoleh dan tersenyum untuk meyakinkan Saghara bahwa dirinya baik-baik saja.
"Aku hanya belajar terlalu keras akhir-akhir ini," jawab Ervania. "Terkadang itu bikin capek."
"Kamu harus mengimbanginya dengan istirahat dan tidur yang cukup," sahut Saghara. "Kita belum ujian kok, jadi santailah sedikit."
Ervania menganggukkan kepalanya tanda setuju. Dalam hati dia masih merasa bimbang untuk menceritakan keberadaan Ahmose di sekitarnya. Siapa yang menjamin kalau Saghara akan percaya padanya?
Seorang manusia antah berantah yang tiba-tiba muncul begitu saja dengan pakaian kebesaran jaman dahulu kala, Ervania bisa habis diejek jika dia nekat menceritakannya kepada orang lain.
Bersambung -
