Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Menjelma Nyata (1)

Ervania harus membayar denda karena dia terlalu lama meminjam buku perpustakaan yang seharusnya sudah dia kembalikan satu minggu yang lalu.

"Tumben kamu bisa lupa?" tanya Saghara penasaran karena dia tahu betul bagaimana tepat waktunya Ervania dalam hampir segala hal.

"Anggap aja kali ini aku kecolongan," jawab Ervania sambil tersenyum sambil menghitung uang jajannya yang masih tersisa. "Mungkin aku bisa cari di perpustakaan daring."

Ervania memasukkan uangnya ke saku dan berjalan pergi meninggalkan perpustakaan.

"Kamu mau cari apa di perpus daring?" tanya Saghara sembari berjalan di samping Ervania.

"Segala hal tentang peradaban Mesir," jawab Ervania dengan nada antusias. "Nggak tahu kenapa, aku jadi suka banget sama ... semua yang ada di sana, Gha."

Saghara terdiam, dia masih menganggap bahwa kesukaan Ervania masih dalam batas normal.

"Ma, aku belajar di taman belakang!" seru Ervania kepada mamanya yang sedang sibuk berkutat di dapur.

"Iya!" sahut mama.

Ervania membawa laptop dan beberapa bukunya ke taman belakang rumah. Cuaca yang sedikit mendung tidak menyurutkan niatnya untuk tetap belajar di luar ruangan.

Pertama-tama Ervania mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dengan lancar sambil menikmati semilir angin yang sesekali berembus menerpa rambutnya. Setelah itu dia membereskan buku-bukunya ke tepi dan beralih mengotak-atik laptop yang berada di pangkuannya.

"Navarin ..."

Ervania bersenandung kecil dan tidak begitu mempedulikan apa yang terjadi pada sekitarnya.

"Navarin ... aku ada di dekatmu ..."

Ervania mengjentikan gerakannya yang ada di atas keyboard.

"... sangat dekat ..."

Ervania memandang sekelilingnya dengan penuh tanda tanya, sedari tadi dia merasa ada suara yang telah lama tidak menyapa telinganya lagi.

"Navarin ..."

"Ahmose?" panggil Ervania ragu-ragu. "Itu kamu?"

Suara angin yang berembus lembut menerpa rambut Ervania yang hitam legam seakan ingin bermaksud memberinya jawaban yang hanya dia saja yang mampu mengerti.

"Ahmose, tunjukkan ... tunjukkan keberadaanmu ..." pinta Ervania ragu-ragu, antara takut dan juga rasa penasaran. "Jangan mempermainkan aku terus ... jangan menggangguku seperti ini ..."

Ervania menutup laptonya yang masih dalam keadaan menyala, dia berbalik dan terkejut saat menatap cahaya keemasan dari seraut wajah paling tampan yang pernah dia lihat seumur hidupnya.

Alih-alih takut, Ervani justru terpaku pada sesuatu yang nampak di depannya.

"Ahmose ...?" ucapnya pelan. "Itu ... itu kamu?"

Paras tampan itu mengedipkan matanya beberapa kali sebelum menjawab.

"Aku akan menjelma nyata di hadapanmu," katanya perlahan. "selama kamu percaya bahwa aku ini adalah nyata."

Ervania mengedipkan matanya tanpa sadar.

"Kamu ini ... hantu atau ...?" tanya cewek itu tidak mengerti.

"Kelak kamu akan mengerti ... siapa sebenarnya diriku dan dirimu," jawab Ahmose sambil tersenyum, perlahan wajahnya semakin terlihat nyata hingga batas kedua bahunya yang tertutup cahaya keemasan itu.

"Kamu ... kamu ini nyata atau nggak?" tanya Ervania menegaskan.

"Seperti yang tadi aku bilang," jawab Ahmose. "Semakin kamu yakin akan keberadaanku, aku akan semakin menjelma nyata di hadapan kamu."

Ervania menarik napas, dia tidak bisa jika harus takut terhadap sesuatu yang indah ini.

"Oke," katanya setelah menarik napas panjang. "Kamu ... apa hanya aku yang bisa melihat kamu?"

Ahmose tidak segera menjawab.

"Saghara bisa melihat kamu ..."

"Tidak sepenuhnya," potong Ahmose sebelum Ervania menyelesaikan ucapannya. "Dia hanya bisa melihatku sekilas, tapi dalam ruang dan waktu yang terbatas."

Ervania mengernyitkan keningnya.

"Lalu untuk apa kamu mencariku?" tanya Ervania ingin tahu. "Bagaimana caranya kamu ... sebenarnya kamu berasal dari mana sih?"

Ahmose mengukir senyuman di wajahnya yang supertampan.

"Aku akan menunjukkannya kepadamu secara bertahap, Navarin. Tapi tidak sekarang," katanya. " Tidak sebelum aku bisa menjelma nyata di hadapanmu."

Ervania terpaku.

"Aku berasal dari negeri yang jauh," kata Ahmose lambat-lambat. "Aku menemukanmu sedang melihat penggalian salah satu situs kuno yang ada di wilayah kehidupanku sebelumnya, dan seketika aku bebas untuk pergi ke manapun yang aku mau."

"Apa?"

"untuk mencarimu," lanjut Ahmose sambil menatap Ervania. "Apa kamu tidak ingat apa pun tentang kehidupanmu sebelumnya, Navarin?"

Evarin tidak perlu berpikir lama untuk menggelengkan kepalanya.

"Aku baru tujuh belas tahun!" ucap Ervania sambil menunjuk dirinya sendiri. "Aku nggak tahu kehidupan yang bagaimana yang kamu maksud."

"Kelak aku akan membuatmu ingat," kata Ahmose lagi. "Teruskan kehidupanmu, Navarin. Aku akan segera kembali dengan wujud yang lebih sempurna lagi. Asalkan kamu percaya kalau aku memanglah nyata."

Ervania tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya. Ahmose tidak menunggu jawabannya untuk perlahan memudar dan benar-benar lenyap dari hadapan Ervania.

***

"Jam yang sama nanti malam?" tanya Saghara di hari Sabtu saat menjemput Ervania di rumahnya.

"Nggg ... kita lihat nanti, ya?" jawab Ervania sambil tersenyum ragu.

"Kenapa?" tanya Saghara heran karena tidak biasanya Ervania menggantungkan jawabannya seperti itu.

"Aku agak ... kecapekan aja sih, Gha ..." jawab Ervania buru-buru. "Ayo kita ke sekolah sekarang."

Saghara mengangguk tanpa mengatakan apa-apa kepadanya, dia tidak pernah mau memaksa jika memang Ervania sedang tidak ingin pergi ke luar.

"Kalau begitu, aku bikin acara sama teman-teman basket aku ya?" kata Saghara ketika sampai di sekolah.

Ervania menganggukkan kepalanya.

"Kirim kabar aja kalau kamu butuh sesuatu," mata Saghara saat mereka berdua berjalan ke kelas.

Ervania tersenyum dan tidak berkata apa-apa.

Selama pelajaran berlangsung, pikiran Ervania melayang memikirkan Ahmose. Dia sangat penasaran dengan sosoknya yang misterius dan memesonanya dalam waktu yang bersamaan.

"Apa kamu percaya sama ... hantu?" tanya Ervania kepada teman sebangkunya, Neyfa.

"Percaya nggak percaya sih ..." jawab Neyfa setelah berpikir sebentar.

"Jadi sebenarnya kamu percaya apa nggak?" tanya Ervania memastikan.

Neyfa meringis.

"Percaya ... biarpun aku nggak pernah lihat," jawabnya jujur. "Tapi aku percaya kalau hantu itu ada."

Ervania mengetuk-ngetukkan bolpoinnya di atas meja sementara beberapa anak di kelasnya mulai pergi ke kantin. Sekali lagi pikirannya melayang kepada Ahmose.

Apakah dia hantu? pikirnya.

Tidak dapat dipungkiri, ketampanan wajah Ahmose telah membuat Ervania semakin penasaran dengan wujud lengkapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Ahmose?" panggil Ervania dalam gumaman pelan dan hanya dia sendiri yang mendengarnya.

"Ayo jajan?" ajak Neyfa sambil berdiri dari duduknya. "Keburu bel masuk nanti."

Ervania mengangguk dan ikut berdiri, untuk sementara waktu dia melupakan pikirannya dari sosok Ahmose.

Begitu ada kesempatan sedang berada sendirian, Ervania kadang memanggil Ahmose lagi sekadar untuk dapat memuaskan rasa keingintahuannya.

Berkali-kali dia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa Ahmose memanglah nyata.

"Ahmose ...?" panggil Ervania untuk kesekian kalinya. "Aku percaya ... kamu nyata ... muncullah ..."

Ervania menunggu dengan wajah tegang bercampur penasaran. Dia sangat ingin melihat wujud Ahmose untuk meyakinkannya bahwa semua ini benar terjadi.

"Ahmose?" Ervania tak bosannya memanggil.

"Aku akan segera datang ..." Jawaban yang sedari tadi Ervania tunggu akhirnya terdengar. "Pejamkan matamu sebentar ..."

Meskipun ragu-ragu, Ervania tetap memejamkan matanya rapat dan menunggu apa yang akan terjadi setelahnya.

Bersambung -

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel