10. Menampakkan Diri
Saghara bukannya tidak menyadari keanehan yang mulai ditunjukkan Ervania kepadanya, tetapi dia tidak ingin menyimpulkan apa-apa sebelum kekasihnya itu terbuka dengan sendirinya tentang keadaan yang sebenarnya.
"Van, nanti malam jalan yuk?" ajak Saghara saat akhir pekan tiba. "Sudah lama banget kita nggak pergi sama-sama."
Ervania yang saat itu sedang merapikan mejanya, perlahan menoleh dan menatap Saghara yang duduk di belakangnya.
"Boleh deh," sahut Ervania ringan. "Memangnya mau ke mana kita?"
Saghara menarik napas lega, awalnya dia berpikir kalau Ervania akan menolak ajakannya itu mentah-mentah.
"Bagaimana kalau kita ke pasar malam?" tanya Saghara mengusulkan. "Bosen sih kalau nonton film di bioskop terus, sekali-kali kita jalan-jalan di alam terbuka."
Ervania mempertimbangkan usul Saghara sebelum akhirnya setuju.
"Jam yang sama ya?" kata Ervania sambil tersenyum. "Atau kamu nunggu chat dari aku saja."
"Tumben?" Saghara menaikkan alisnya dengan heran. "Biasanya kamu senang-senang saja kalau aku jemput lebih awal."
Ervania tidak segera menjawab dan memilih menanggapinya dengan tersenyum.
Setibanya di rumah, Ervania langsung pergi ke kamarnya dan melihat seorang laki-laki muda sudah berbaring di tempat tidurnya dengan santai.
"Ahmose!" Hampir saja Ervania menjerit saat melihatnya.
"Hai," sahutnya sambil tersenyum tipis.
Ahmose kelihatan tenang-tenang saja saat Ervania buru-buru menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
"Kapan kamu muncul?" tanya Ervania tajam.
"Kapan ya? Mungkin beberapa jam yang lalu,' jawab Ahmose tenang. "Itu karena aku bingung mau ngapain tanpa kamu ...."
"Tapi kamu nggak sempat ngapa-ngapain, kan?" tanya Ervania lagi, dia heran melihat Ahmose bisa sesantai itu berbaring di tempat tidurnya seakan sedang berada di rumah sendiri.
"Tidak, aku terlalu bingung dengan semua hal yang ada di sini." Ahmose menggelengkan kepalanya. "Untungnya aku tidak merasakan haus atau lapar."
"Nggak mungkin ..." desis Ervania tak percaya. "Kamu ini sebenarnya makhluk apa, sih? Kamu manusia atau ....?"
"Bukankah yang penting aku bisa menjelma nyata di hadapan kamu?" sahut Ahmose sambil bangkit dari posisinya dan memandang Ervania lekat-lekat. "Apa perlu aku menampakkan diriku di hadapan ibu kamu juga?"
Ervania menggelengkan kepalanya dengan terburu-buru.
"Jangan!" cegahnya, dia tentu saja takut tentang pikiran ibunya kalau sampai ketahuan ada seorang laki-laki asing yang berada di kamarnya.
"Memangnya kenapa?" tanya Ahmose penasaran. "Barangkali aku bisa lebih akrab sama ibu kamu ..."
"Nggak usah!" tolak Ervania tegas. "Jangan sembarangan menampakkan diri di depan orang-orang, atau kamu akan dijadikan obyek penelitian!"
Ahmose memandang Ervania dengan heran.
"Untuk apa mereka menjadikanku obyek penelitian?" tanya Ahmose agak heran. "Memangnya aku aneh?"
Ervania berdecak tidak sabar.
"Kamu nggak akan paham," katanya sambil menarik napas. "Kalau kamu mau hidup tenang di tempat ini, jangan pernah menampakkan diri kamu sembarangan."
"Oh, oke." Ahmose mengangguk paham. "Apa karena ... pakaianku yang tidak seperti baju yang kamu pakai?"
Tatapan mata Ahmose terarah kepada Ervania yang mengenakan kemeja warna putih dan rok abu-abu di depannya.
Melihat Ahmose menatapnya sedemikian rupa, mau tak mau Ervania menerbitkan seulas senyum di wajahnya.
"Seragam ini jelas nggak cocok kalau kamu yang pakai, ada-ada saja." Dia terkikik geli, refleks dia mengamati Ahmose yang mengenakan kain keemasan yang dililitkan untuk menutupi bagian bawah tubuhnya sampai ke betisnya, sedangkan untuk bagian bahu terhampar berbagai perhiasan yang menjulur hingga ke dadanya yang bidang.
"Begitu, ya?" sahut Ahmose sambil memegang dagunya sendiri. "Di tempatku ini adalah pakaian kebesaran pada umumnya, karena kami yang laki-laki harus banyak bergerak aktif dibandingkan para perempuan."
Ervania meletakkan tas sekolahnya di kursi, kemudian dia berputar menghadap Ahmose.
"Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan," ucap Ervania lambat-lambat. "Bergerak aktif yang bagaimana maksud kamu ... berperang? Berburu? Atau semacamnya?"
Ahmose menggeleng perlahan.
"Saat itu sebenarnya di tempatku suasananya sedang begitu damai," katanya dengan pandangan menerawang. "Tidak ada perang kecuali perang sesama saudara sendiri."
"Oh ya? Kamu pasti sedih sekali," komentar Ervania. "Aku nggak bisa bayangkin seandainya aku tinggal di tempat kamu ... pasti aku nggak akan bisa belajar dengan tenang."
Ahmose tersenyum samar.
"Sebaliknya, tempat tinggal kamu ini sangat ... membingungkan." Dia berkomentar. "Aku bahkan nggak tahu apa yang sedang ibu kamu lakukan di bawah."
"Jangan bilang kalau kamu mengintip mama aku?" tanya Ervania dengan nada menyelidik. "Jujur sama aku, kamu ngapain saja di rumah selama aku belajar di sekolah?"
Ahmose mengangkat bahunya.
"Aku tidak ngapa-ngapain," jawab Ahmose kalem. "Seperti yang kamu bilang kalau aku tidak boleh menampakkan diriku kepada sembarang orang ...."
"Jelaskan kamu ngapain saja seharian ini?" desak Ervania curiga. "Apa yang kamu lihat dari mamaku?"
Ahmose terdiam sebentar.
"Dari tadi kamu sebut 'mama' ... Mama apa?" tanyanya.
"Ibu!" jawab Ervania tidak sabar. "Jadi apa penjelasan kamu soal ini, Ahmose?"
"Aku sempat muncul sebentar saat wanita itu memutar sesuatu, dan secara cepat ada api yang keluar dari benda itu." Ahmose menjelaskan lambat-lambat. "Hebat sekali ibu kamu, bisa sihir dan memanggil api."
Ervania melongo sejenak, nyaris saja tawanya tersembur setelah mendengar ucapan Ahmose.
"Kenapa?" tanya Ahmose heran. "Apa yang kamu tertawakan?"
"Enggak!" geleng Ervania geli. "Aku cuma ... nggak nyangka kamu polos banget."
Ahmose mengangkat bahunya sekali lagi dan tidak berkata apa-apa.
"Mamaku pasti sedang memasak sesuatu untuk makan siang," kata Ervania memberi tahu. "Dan itu bukan sihir, tapi kompor gas. Tekan dan putar tombolnya, maka akan muncul api."
"Luar biasa," komentar Ahmose. "Di tempatku tidak ada yang seperti itu."
"Benarkah?" tanggap Ervania lelah. "Aku mandi dulu, ya. Ingat, kamu nggak boleh ngintip-ngintip mamaku lagi."
"Apa kamu bisa memberikan aku sesuatu yang bisa aku kerjakan?" tanya Ahmose saat Ervania berjalan pergi meninggalkannya. "Aku bisa mati saking bosannya ..."
"Nanti aku akan mengajak kamu jalan-jalan!" sahut Ervania keras.
***
Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Ervania turun mengendap-endap untuk mengambil sepotong kemeja dan celana panjang milik almarhum papanya. Dia berpikir bahwa setidaknya Ahmose harus mengenakan baju sesuai jamannya saat jalan-jalan nanti.
"Sementara kamu pakai ini dulu," suruh Ervania sambil mengulurkan sepotong kemeja pria berwarna biru laut kepada Ahmose yang menerimanya dengan mengernyit. "Lepas dulu perhiasan kamu."
Ahmose menurut dan mulai melucuti beberapa perhiasan yang dia kenakan dari bahu sampai dadanya, setelah itu dia mengambil kemeja dari tangan Ervania dan memakainya dengan kikuk.
Tanpa rasa canggung, Ervania membantu Ahmose untuk merapikan kemeja ayahnya dengan benar, termasuk mengaitkan kancingnya satu per satu.
"Lalu ini?" tanya Ahmose saat Ervania mengulurkan sepotong celana panjang warna hitam kepadanya.
"Kamu pakai ini, dijamin kamu akan lebih leluasa bergerak bebas." Ervania menjelaskan sambil menghamparkan celana milik almarhum sang ayah.
"Oh ..." angguk Ahmose sembari bersiap melucuti kain yang menutupi bagian pusar sampai betisnya.
Bersambung –
