6. Yang dilihat Saghara
Ervania tidak sempat berpikir macam-macam dan segera mandi untuk kemudian bersiap-siap ke sekolah.
Hampir setiap pagi Saghara datang ke rumah Ervania untuk menjemputnya. Saat duduk di sofa, dia seperti melihat siluet seorang pemuda yang baru saja menghilang di ruangan dapur.
"Gha, mari sarapan dulu?" ajak mama Ervania saat dia keluar dapur dan melihat kekasih anaknya sudah duduk di sofa.
"Aku sudah sarapan kok, Tante." Saghara mengangguk sopan. "Oh iya, apa Tante sedang ada tamu?"
Mama Ervania menggeleng perlahan.
"Siapa lagi kalau bukan kamu tamunya?" komentar mama Ervania sambil tersenyum tipis, setelah itu dia berlalu pergi ke depan rumah.
"Saghara?" panggil Ervania begitu turun ke bawah. "Kamu datang pagi sekali, sarapan sama-sama yuk?"
Saghara menggelengkan kepala.
"Aku sudah sarapan," katanya menyahut.
Ervania mengangkat bahunya kemudian berlalu pergi ke dapur dan sarapan secepat kilat karena tidak ingin kekasihnya itu menunggu lama.
"Van, aku boleh tanya sesuatu?" ucap Saghara ragu-ragu saat Ervania mendatanginya setelah selesai sarapan.
"Apa?" tanya Ervania sambil menganggukkan kepala.
"Kamu lagi ada tamu, ya?" tanya Saghara balik.
Betapa herannya Saghara saat wajah Ervania perlahan memerah seakan malu untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya.
"Kamu apa-apaan sih, masa hal pribadi seperti itu kamu tanyakan sama aku?" komentar Ervania rikuh.
"Pribadi apanya?" sahut Saghara bingung. "Aku kan cuma tanya."
"Habisnya pertanyaan kamu privasi," ujar Ervania dengan wajah masih memerah. "Buat aoa coba kamu tanya-tanya soal tamu? Apalagi kalau bukan tamu bulanan ..."
Saghara bengong sejenak, setelah itu dia mengangguk paham apa maksud ucapan Ervania sedari tadi.
"Aku enggak tanya soal tamu bulanan kamu," ucap Saghara, ikut merasa rikuh. "Aku tanya soal tamu betulan, alias orang."
Ervania terpaku selama beberapa detik.
"Nggak ada siapa-siapa selain aku sama mama di rumah ini," katanya lambat-lambat.
Kali ini giliran Saghara yang terpaku diam.
"Berangkat sekarang, yuk?" ajak Ervania. "Aku mau mampir ke perpustakaan."
Saghara menganggukkan kepalanya dan tidak lagi memikirkan soal sekelebat sosok pemuda yang sempat dia lihat menghilang di dapur tadi.
Setibanya di sekolah, Ervania membelokkan langkahnya ke perpustakaan karena masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum bel masuk kelas berbunyi.
"Mau pinjam buku apa?" tanya Saghara ingin tahu.
"Sejarah Mesir kuno, peradaban Mesir ..." jawab Ervania sambil mencari di rak buku. "sejenis itu, Gha."
Saghara tidak berkomentar, tapi dia jelas mulai merasa ada yang aneh dengan Ervania sejak dia pulang dari pertukaran pelajar di Mesir.
Setelah mencari selama beberapa saat lamanya, Ervania menemukan buku yang dia incar dan segera membawanya ke meja petugas perpustakaan untuk didata.
"Harusnya kan kamu pinjam buku ini saat istirahat," komentar Saghara sambil berjalan di samping Ervania.
"Itu keliru," sahut Ervania sambil tertawa kecil. "Istirahat nanti aku justru mau baca buku ini."
Saghara diam saja saat melihat Ervania yang begitu antusias menunjukkan buku hasil pinjamannya dari perpustakaan sekolah.
Saat jam istirahat tiba, Ervania tidak ingin ikut Saghara dan teman-temannya yang akan jajan di kantin. Dia membelokkan langkahnya ke taman setelah sang kekasih berjanji akan membelikannya cemilan dan juga jus buah.
"Mesir, aku datang!" seru Ervania tertahan sambil duduk di bangku yang ada naungan pohon besarnya. Dengan sangat antusias, dia membuka buku yang baru saja dipinjamnya dan gambar ilustrasi piramida yang megah dan misterius langsung menyambut matanya.
Ervania membolak-balik halaman buku untuk mencari tema yang paling menarik hatinya, dia sangat antusias untuk mencari tahu tentang peradaban Mesir kuno termasuk tentang para mumi yang menjadi legenda di sana.
"Ini dia!" gumam Ervania dengan mata melebar penuh gairah dan segera fokus untuk membaca.
Cuaca hari itu seolah mendukung Ervania untuk terus terhanyut dalam nuansa kekaguman tentang situs-situs piramida yang ada di Mesir dan juga mumi yang pernah ditemukan para arkeolog di sana.
Semilir angin membuat apa yang sedang dibaca Ervania seolah menjelma nyata dalam imajinasinya.
"Navarin ..."
Sayup-sayup Ervania mendengar suara itu memanggilnya lagi.
"Berpalinglah padaku, Navarin."
Ervania seakan berhenti bernapas untuk sejenak. Dia tidak berani bergerak satu sentipun, hingga hanya kedua matanya saja yang mampu bergeser ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara berdesis yang beberapa waktu ini mengganggunya.
"Navarin, aku di sampingmu."
Seperti ada yang berbisik tepat di telinga kanan Ervania, dengan ngeri dia menoleh ke samping dan ....
***
"Kenapa Vania nggak mau ke kantin sih?" tanya Neyfa penasaran kepada Saghara yang makan sendirian di kantin sekolah.
"Dia mau kebut baca buku di taman," kata Saghara memberi tahu.
Neyfa mengangguk paham dan melanjutkan makannya. Selesai makan, Saghara pergi mendahuluinya untuk mengantarkan pesanan Ervania ke taman.
Setibanya di sana, Saghara heran karena tidak menemukan keberadaan sang pacar selain hanya sebuah buku yang terbuka di bangku taman.
"Van?" panggil Saghara sambil celingukan ke sana kemari. "Vania?"
Tidak terdengar sahutan sama sekali. Saghara meletakkan cemilan dan jus di atas bangku kemudian berjalan memasuki area taman sekolah lebih dalam.
"Vania, kamu di mana sih?" panggil Saghara lagi. Dia mengecek arlojinya dan semakin panik saat melihat sisa jam istirahat yang tersisa hanya tinggal lima menit saja.
Tidak putus asa, Saghara tetap menyisir setiap sisi taman untuk mencari keberadaan Ervania.
Tidak berapa lama kemudian, telinga Saghara menangkap desisan yang tidak dia kenal. Namun, dia yakin kalau dirinya pernah mendengar suara itu sebelumnya.
Dan kali ini, ada dua warna suara yang saling bersahutan di sekitarnya.
"Van?" seru Saghara dengan suara lebih keras. "Vania? Kamu di mana?"
Tidak ada sahutan yang menjawab panggilan Saghara, tapi desisan itu justru semakin keras terdengar di telinganya dan saling bersahutan.
Saghara melanjutkan langkah menuju arah suara mendesis itu. Dari balik sebuah pohon besar, dia melihat kepala Ervania menyembul dan ternyata dia tidak sendirian.
Saat Saghara datang mendekat, dia melihat ada orang lain yang menemani Ervania dan itu membuat langkahnya terhenti seketika.
"... jadi, sebenarnya kamu ini nyata atau enggak?"
"Tergantung bagaimana pemikiran kamu terhadapku ... kalau kamu percaya, aku nyata ..."
Saghara terperangah ketika melihat Ervania berbincang dengan penampakan wajah yang berlatarbelakang cahaya keemasan yang menyilaukan matanya.
Yang jadi masalah adalah, percakapan itu tidak dimengerti sedikitpun oleh Saghara meskipun di saat yang sama Ervania merasa kalau dia berdialog dalam bahasa Indonesia seperti yang biasa dia gunakan dalam percakapan sehari-hari.
"... aku nggak tahu kamu siapa ..."
"Aku Ahmose, cinta dari masa lalu kamu ..."
Dalam pendengaran Saghara, Ervania berbicara dengan bahasa asing bersahutan dengan ucapan yang dilontarkan lawan bicaranya. Tidak ada satupun kalimat yang Saghara mengerti, kecuali hanya sesekali desisan dan bisikan atau seruan tertahan yang menunjukkan ekspresi terkejut.
"Vania!" panggil Saghara sekali lagi sambil melangkah maju.
Ervania menoleh, dan wajah yang berselimut cahaya keemasan itu lenyap seketika.
Bersambung -
