3. Samar tapi Nyata
Sepulangnya dari menonton film di bioskop, Saghara mengajak Ervania untuk mampir minum kopi di salah satu kafe yang masih berada di dalam mal yang mereka kunjungi.
Ervania memesan moccalattte kesukaannya sementara Saghara memilih cappuccino hangat untuk menyegarkan pikirannya.
"Van, lain kali sebaiknya aku ajak kamu nonton drama romantis aja ya?" ujar Saghara sembari menyeruput cappuccino-nya dengan nikmat. "Nggak biasanya kamu tegang kayak tadi ..."
"Aku nggak tegang," bantah Ervania sambil menggeleng. "Aku mungkin lagi nggak konsen aja nontonnya tadi Gha, tapi menurutku filmnya bagus banget kok."
Saghara tidak begitu yakin dengan ucapan kekasihnya kali ini. Sejak Ervania pulang dari Mesir karena mengikuti program pertukaran pelajar selama tiga bulan, dia merasakan ada yang berbeda dari sikapnya akhir-akhir ini.
"Van, ceritakan tentang Mesir sama aku?" pinta Saghara sambil memandang Ervania dengan begitu serius. "Apa aja yang kamu lakukan di sana?"
Ervania mendadak tersenyum kecil.
"Ya belajarlah Van, namanya aja pertukaran pelajar." Dia berkomentar. "Tapi di sela-sela waktu belajar, aku sama temen-temen sempat jalan-jalan juga sih lihat pemandangan di sana. Kamu tahu kan kalau nggak sedikit bangunan bersejarah yang ada di sana?"
Sembari bercerita, Ervania membayangkan kembali suasana Mesir yang gersang tapi menantang dengan segala keindahan peradaban dan sisi misteri di dalamnya.
"Iya sih, kamu pernah cerita kalau kamu sempat lihat piramida di sana." Saghara menimpali. "Enak ya, belajar sambil sekaligus liburan?"
"Kita nabung aja yuk dari sekarang?" ajak Ervania antusias. "Abis itu kita liburan bareng ke sana?"
Saghara menyesap cappuccino-nya lebih dulu sebelum menjawab.
"Ke mana?" tanya Saghara yang belum konek.
"Ke Mesir," jawab Ervania kalem.
"Apa? Jauh banget!" komentar Saghara dengan wajah terkejut.
Ervania tertawa kecil, kemudian menikmati moccalatte-nya dengan tenang.
"Memangnya kenapa, Gha?" katanya. "Aku aja bisa ke sana, jadi pasti kamu bisa."
"Beda dong, kamu kan ke sana karena program sekolah dan nggak keluar biaya. Sementara aku?" ujar Saghara ragu. "Mesti nabung berapa tahun buat biaya ke luar negeri?"
Ervania memandang kekasihnya itu lurus-lurus.
"Kamu jangan pesimis dong," katanya. "Kalau kamu yakin, hal yang nggak mungkin bisa jadi mungkin lho Gha."
Saghara hanya meringis sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah Ervania dan Saghara menghabiskan kopi masing-masing, mereka segera meluncur pulang ke rumah sebelum melewati batas jam malam yang telah ditetapkan ibu Ervania.
"Mampir yuk?" ajak Ervania saat Saghara menepikan motornya di halaman rumah. "Masih ada waktu sebelum jam malam."
Saghara mengangguk setuju dan mengikuti Ervania memasuki halaman rumahnya.
"Malem Tante, masih sibuk aja?" sapa Saghara saat berpapasan dengan mama Ervania yang akan membuang sampah.
"Iya Gha, lagi banyak pesenan." Mama Ervania menyahut.
"Biar aku yang buang sampahnya, Tante." Saghara menawarkan diri saat melihat wajah mama Ervania yang kelihatan lelah.
"Maaf ya, jadi merepotkan kamu?" ucap mama Ervania.
"Nggak apa-apa," angguk Saghara sambil meraih kantong plastik hitam dari tangan ibu kekasihnya sementara Ervania sangat bangga dengan sikap maskulin yang ditunjukkan Saghara.
"Van, kamu bikinkan teh sana buat Ghara." Mama menyuruh.
"Kami udah ngopi kok tadi, Ma." Ervania memberi tahu.
"Ya udah, mama masuk kamar dulu ya?" ucap mama dengan wajah letih. "Jangan lupa sama jam malam."
"Siap, Ma!" sahut Ervania sambil melangkah ke sofa kemudian menjatuhkan tubuhnya yang sintal.
Tidak berapa lama kemudian Saghara muncul dan duduk di samping Ervania.
"Salut aku sama mama kamu," komentar Saghara dengan nada serius. "Perjuangannya membesarkan kamu benar-benar total."
Ervania menarik napas.
"Makanya itu, aku membalasnya dengan giat belajar biar dapet beasiswa." Dia menyahut. "Seenggaknya itu bisa mengurangi beban mama aku, Gha."
"Iya, aku juga bangga sama kamu." Saghara menimpali. "Kamu pinter, pantas dapet beasiswa. Aku nggak heran kalau suatu saat kamu bisa kuliah di luar negeri ..."
"Amin!" sahut Ervania antusias. "Kamu juga harus ikut ya kalo aku kuliah di sana? Aku nggak mau pisah sama kamu, endingnya LDR selalu nggak menyenangkan."
Saghara tersenyum tipis sambil memandang Ervania.
"Aku akan berusaha," katanya. "Kalau kita setia, mau LDR atau nggak tetep aja kita langgeng terus ke depannya."
Ervania mengangkat bahunya.
"Yang penting kita berusaha dulu demi masa depan," katanya penuh optimis.
Saghara mengangguk setuju kemudian terdiam sejenak.
'Datanglah ... kembalilah ke sini ...'
Ervania tersentak, mendadak telinganya menangkap desisan samar itu lagi.
'Aku menunggumu ... di sini ...'
Ervania menoleh memandang Saghara yang sedang sibuk dengan ponselnya.
'Bebaskan aku ...'
Perlahan, penglihatan Ervania menangkap sesuatu yang terjadi di sampingnya. Sosok Saghara lambat-lambat mengabur dan menjelma menjadi sosok lain yang bukan dirinya.
Kemeja yang dikenakan Saghara lenyap digantikan kulit cokelat eksotis yang indah dab berkilat memantulkan cahaya seakan sedang berjemur di terik matahari yang panas.
'Mendekatlah padaku ...'
Mendadak Ervania seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Dia menggeser duduknya semakin dekat dengan sosok yang ada di sampingnya.
'Ucapkan sesuatu ... aku ingin dengar suaramu yang indah ...'
Ervania refleks membuka mulutnya dan secercah suara lolos dari sana. Kalimat yang terasa asing di lidah Ervania tapi telinganya seakan mampu memahami apa yang tengah dia ucapkan.
"Van?" Ada suara lain yang kini tumpang tindih dengan suaranya. "Vania?"
Ervania masih nyerocos di luar kendalinya.
"Van, sadar!" Saghara menyentakkan kedua tangan Ervania dan kekasihnya itu segera tersadar sepenuhnya.
"Apa sih yang kamu lakukan?" tuntut Saghara dengan nada agak gusar. "Kalau mama kamu sampai lihat kejadian ini bagaimana?"
Ervania terpaku saat menyadari jika dia baru saja hendak mencoba mencium Saghara yang kini memandangnya dengan tatapan bingung.
"Ya ampun, maaf!" Ervania langsung bergerak mundur hingga dia nyaris jatuh terjengkang dari sofa. "Aku nggak bermaksud ..."
"Hati-hati," seru Saghara sambil menangkap lengannya.
"Aku benar-benar minta maaf!" seru Ervania tertahan. "Aku ... aku nggak tahu apa yang udah aku lakukan."
Saghara menarik napas.
"Tadi kamu sempat bicara aneh," katanya memberi tahu dengan wajah tidak biasa. "Bahasa asing yang nggak aku pahami."
Ervania tertegun dalam posisi duduknya.
"Aku juga ... sempat merasakan kalau aku bicara yang lidahku nggak biasa mengucapkannya ..." Dia mengakui. "Tapi telingaku rasanya nggak asing mendengarnya."
Saghara menatap Ervania dengan wajah shock, dia masih ingat bagaimana kekasihnya itu tiba-tiba mendekat dan nyaris menciumnya saat dia sedang asyik bermain ponsel.
Saat Saghara bermaksud menegurnya, Ervania justru mengeluarkan suara-suara yang aneh.
Seperti bahasa asing yang belum pernah Saghara dengar dan pelajari seumur hidupnya.
"Maaf," ucap Ervania saat menyadari kebisuan Saghara di sampingnya. "Kamu pasti berpikir kalau kelakuanku tadi kayak cewek murahan ..."
"Enggak," geleng Saghara cepat-cepat. "Sepertinya kamu capek, aku pulang dulu ya?"
Ervania diam saja, dia tidak kuasa menahan kepergian Saghara yang malam itu tampak seperti sosok lain di matanya.
Bersambung -
