18. Beda Dimensi Waktu
Saghara memandang Ervania sambil mengernyit sedikit.
“Kamu ngomong apa sih, Van?” tanya Saghara tidak mengerti. “Kamu mimpi mungkin.”
Ervania menatap Saghara, orang yang paling diharapkannya akan mampu memahami apa yang sedang dia rasakan sekarang.
“Sagha, aku serius ini!” bisik Ervania. “Aku belum berani cerita sama mama, cuma kamu yang pertama kali aku kasih tahu ... Benar-benar ada yang muncul sejak aku pulang dari pertukaran pelajar di Mesir itu, Gha ....”
Saghara mulai cemas saat melihat Ervania hampir menangis di depannya.
“Van, kamu tenang dulu ya?” kata Saghara tidak enak. “Kamu yakin kalau kamu nggak mimpi? Orang yang lagi sakit itu kadang tidurnya nggak nyaman, bisa jadi pengaruh juga terus bikin kamu mimpi yang aneh-aneh.”
Ervania terdiam. Sebelumnya dia tidur di kamar, tahu-tahu dia berada di tempat asing yang tidak dia kenal bersama Ahmose. Kemudian saat dia dan Ahmose naik kuda bersama, tahu-tahu dia sudah berada di kamarnya lagi.
“Mimpi ...?” gumam Ervania dengan wajah bingung. Kalau yang baru saja dia alami itu adalah mimpi, lalu bagaimana dengan kejadian sebelum-sebelumnya? Saat dia membelikan baju cowok untuk Ahmose dan bahkan mereka berdua sempat jalan-jalan bersama.
“Nggak semua yang aku alami itu mimpi,” ujar Ervania, mencoba untuk meyakinkan Saghara. “Kamu ingat saat aku mengigau di kelas? Atau mungkin ada saat-saat di mana aku ... bicara dalam bahasa yang kamu nggak paham, itu sebenarnya aku lagi ngomong sama Ahmose!”
Saghara terdiam sebentar.
“Siapa itu Ahmose?” tanyanya bingung.
“Dia itu adalah orang ... nggak, dia bukan orang. Aku bingung gimana menjelaskannya sama kamu ...” Ervania nyaris putus asa. “Yang pasti dia itu bukan berasal dari sini, dia bilang kalau aku adalah jodohnya di masa lalu!”
Saghara memandang Ervania dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Van, mana ada orang yang berjodoh sama masa lalunya?” komentar Saghara tidak percaya. “Semua orang memiliki jodoh dari masanya sendiri-sendiri. Kalau kamu berpikir punya jodoh sama salah satu raja Mesir kuno, aku juga bisa berjodoh sama Cleopatra ....”
“Sagha, aku serius!” rajuk Ervania. “Dia bukan raja Mesir kuno, Ahmose itu adalah pengawal kepercayaan ayahku, tapi dia jatuh cinta sama aku. Kami berdua melarikan diri bersama, tapi ... tahu-tahu aku ada di kamar.”
Saghara menarik napas.
“Itu artinya kamu cuma mimpi,” katanya menyimpulkan. “Kamu lupa kalau kamu ini jodohnya sama aku?”
“Sagha ...” keluh Ervania sambil menutup wajahnya sebentar. “Kamu pasti nggak mau percaya sama ceritaku tadi.”
Saghara tidak berani berkomentar banyak, karena jelas dia sulit mempercayai apa yang Ervania ceritakan kepadanya.
“Jangan dipikir lagi, kamu cuma butuh banyak waktu buat istirahat.” Saghara menyarankan. “Kalau kamu butuh teman ngobrol nanti, kamu bisa telepon aku.”
Ervania diam saja, karena dia tahu kalau Saghara tidak mempercayai sedikitpun tentang apa yang baru saja diceritakannya.
Begitu Saghara pulang, Ervania kembali ke kamarnya dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Dia bahkan masih ingat setiap detail kejadian yang dialaminya dalam mimpi itu.
Ervania yakin dia tidak sedang bermimpi, karena dia bisa merasakan kehadiran Ahmose di dekatnya. Dari mulai dia diantar pergi menggunakan kereta kuda dengan Ahmose yang mengawal perjalanannya hingga pulang.
Hingga kemudian, malam itu mereka kabur berdua dengan menunggang kuda karena tidak ada alat transportasi lain saat itu.
“Bisa gila aku kalau begini,” keluh Ervania sambil memejamkan kedua matanya.
***
“Kamu sudah sehat, Van?” Neyfa mengembangkan senyumnya ketika melihat Ervania muncul di kelas. “Sagha bilang kalau kamu sakit, maaf ya aku belum sempat jenguk ....”
“Aku sudah nggak apa-apa kok,” sahut Ervania sambil tersenyum.
“Syukurlah, tapi kamu kayak kurang tidur begitu?” komentar Neyfa. “Kalau belum sehat, jangan dipaksa masuk sekolah Van.”
“Iya, cuma nggak bisa tidur aja sih ...” Ervania beralasan. Begitu dia duduk, Saghara muncul memasuki kelas dan tersenyum saat bertatap muka dengannya.
“Kamu nggak mimpi buruk lagi, kan?” tanya Saghara ingin tahu.
Ervania menggeleng sambil tersenyum singkat, dia sedang tidak ingin membahas tentang apa pun lagi jika Saghara belum bisa mempercayai ceritanya.
Sesudah pengalaman aneh itu, Ervania semakin rajin ke perpustakaan sekolah untuk riset. Tak jarang dia meminjam beberapa buku tentang sejarah peradaban Mesir kuno termasuk raja-raja yang pernah berkuasa.
Namun, sayangnya Ervania tidak menemukan satu data tentang Ahmose maupun Navarin dalam petunjuk buku manapun.
“Siapa sebenarnya mereka itu?” gumam Ervania sembari menutup buku setebal kamus. “Ahmose, Navarin ... siapa sebenarnya kalian dan apa hubungannya sama aku?”
Merasa pikirannya buntu, Ervania berjalan pergi meninggalkan perpustakaan kemudian menyusul Saghara yang sedang berada di kantin.
“Kok cemberut begitu?” sambut sang kekasih ketika Ervania duduk di kursi kosong yang ada di depannya.
“Aku nggak dapat satupun info tentang Ahmose,” keluh Ervania lesu. “Aku jadi merasa ... apa aku kena kutukan ya, Gha?”
“Apa sih, kok kamu ngomong begitu?” tegur Saghara kurang suka.
“Itu karena aku sempat lihat penggalian situs itu sama teman-teman,” kata Ervania sambil mengangkat bahunya.
“Memangnya teman-teman kamu yang lain gimana?” tanya Saghara ingin tahu. “Masa iya mereka kena kutukan juga?”
“Ah iya!” sambar Ervania seakan teringat sesuatu. “Aku lupa, seharusnya aku tanya juga sama mereka, apa mereka diikuti sesuatu sejak pulang dari Mesir itu.”
Saghara memandang Ervania tapi tidak tahu mau berkomentar apa.
“Van, bisa nggak sih kamu berpikir positif dulu?” tanya Saghara hati-hati. “Masa iya kamu percaya sama kutukan itu?”
Ervania menarik napas.
“Kamu ini gimana, bukannya kamu sendiri dulu yang sempat bilang sama aku soal kutukan di situs kuno yang ada di Mesir?” komentarnya. “Kamu lupa sama ucapan kamu sendiri, Gha?”
Saghara tersenyum dengan agak bersalah.
“Aku cuma masih ragu apakah kutukan itu termasuk mitos, legenda, atau apa ...” kilahnya sambil mengangkat bahu. “Yang aku sulit percaya itu adalah tentang Ahmose yang kamu sebut-sebut telah mengikuti kamu sampai ke Indonesia. Nalarku nggak nyampai ke sana, Van.”
Ervania terdiam, dia sendiri bingung bagaimana menjabarkannya.
“Sekarang begini,” kata Saghara dengan wajah serius. “Kalau kita tinggal di Mesir, aku masih bisa terima kalau ada yang menghantui kita gara-gara memasuki suatu situs terlarang atau semacamnya. Tapi masalahnya kita sudah beda negara, Van. Masa iya hantu itu membuntuti kita sampai ke sini?”
“Dimensi mereka kan beda sama dimensi kita, Gha.” Ervania membantah. “Siapa tahu bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menemukan di mana kita berada?”
Saghara menarik napas.
“Jangankan cuma beda negara. Beda dimensi ruang dan waktu saja bisa mereka tembus,” sambung Ervania lagi, membuat Saghara terdiam membisu cukup lama.
Bersambung –
