Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

19. Dia Manusia atau Bukan

Ervania tetap melanjutkan kehidupannya seperti biasa, apalagi Ahmose sudah tidak pernah lagi menampakkan dirinya baik di alam mimpi maupun di alam nyatanya lagi.

Hingga Ervania berpikir bahwa apa yang dialaminya mungkin hanya sejenis gangguan iseng saja.

Sementara itu di rumahnya, Saghara juga sempat berpikir tentang kutukan yang mungkin bisa mengenai siapa saja.

“Di tempar-tempat yang biasanya disakralkan atau memang wingit,” kata salah seorang yang paling dituakan di lingkungan tempat tinggal Saghara.

“Contohnya bagaimana, Pak?” tanya Saghara yang jadi penasaran.

“Misalnya kamu sembarangan mengambil barang yang bukan milik kamu,” jawab orang itu. “Kelihatannya sepele, tapi kamu tidak pernah tahu ada apa di dalamnya. Jadi lebih jaga-jaga, tinggalkan.”

Saghara mengangguk mengerti.

“Selain itu menjaga sikap dan tutur kata juga penting,” lanjut tetua. “Di manapun, jaga ketajaman lisan kita. Sikap sombong sangat tidak disukai dan kalau kebetulan di tempat itu ada sesuatu yang tidak suka, bukan tidak mungkin sikap sombong itu akan menimbulkan petaka.”

“Saya paham, Pak.” Saghara menganggukkan kepalanya. “Saya akan selalu ingat apa yang Bapak nasehatkan kepada saya.”

Besoknya ketika bertemu Ervania di sekolah, Saghara menyempatkan diri untuk bertanya kepadanya.

“Kamu ada ambil barang atau apa mungkin saat di Mesir?” Saghara memandang Ervania dengan wajah serius.

“Kamu kenapa bahas itu lagi?” tanya Ervania jengah. “Aku sudah hampir melupakannya karena Ahmose nggak pernah muncul lagi.”

“Aku baru kepikiran,” jawab Saghara. “Aku sebenarnya juga sulit percaya, tapi ... misal kamu pernah tanpa sengaja ambil sesuatu yang ada di sana, bisa jadi kan?”

“Kok kamu jadi berubah pikiran sih, Gha?” tanya Ervania tidak mengerti. “Bukannya dulu kamu sempat nggak setuju soal nalar gimana caranya ‘sesuatu’ yang ada di Mesir membuntuti aku sampai ke Indonesia?”

Saghara menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis.

“Aku sebenarnya juga bingung ...” kata Saghara dengan nada tidak enak. “Tapi kalau memang kamu sudah nggak diganggu lagi, oke. Kita nggak perlu membahasnya.”

Ervania memandang Saghara dengan tatapan tidak mengerti.

Setibanya di rumah, Ervania segera berganti pakaian dan turun untuk makan. Kehidupannya sejauh ini telah berjalan dengan normal seperti dahulu kala, sebelum Ahmose menampakkan dirinya.

“Aku nggak gila,” gumam Ervania sembari mengunyah nasi. “Ahmose memang sempat muncul ... dan sekarang menghilang.”

Ervania menghabiskan makanannya dengan lahap, setelah itu dia masuk kamar untuk bersantai. Dia sudah tidak memikirkannya dengan terlalu berat, sejauh Ahmose tidak melakukan hal-hal yang menerornya, Ervania tidak akan ketakutan tanpa sebab.

Meskipun begitu, cita-cita Ervania untuk bisa melanjutkan kuliah di Mesir tidak pernah padam. Dia berharap mimpinya itu akan terwujud, karena dirinya sudah telanjur jatuh cinta dengan Mesir.

“Tugas lagi, tugas ...” keluh Neyfa saat berada di samping Ervania. “Aku pengin liburan ini ....”

Ervania tertawa kecil mendengar keluhan sahabatnya.

“Kita mau kelas tiga, ayo yang semangat!” ajak Ervania antusias.

“Siap, Bu Guru.” Neyfa terkekeh. “Baiklah, aku harus cari penyemangat.”

“Mungkin pacar baru,” komentar Ervania sambil tersenyum.

“Entah deh, aku nggak mau kayak kamu sama Sagha. Serius banget hubungannya,” sahut Neyfa. “Bisa-bisa lulus sekolah, kalian langsung menikah.”

“Ngawur, aku kan punya mimpi kuliah di Mesir!” ucap Ervania. “Saghara mendukungku kok, harus.”

Ervania mengerling sang pacar yang sedang asyik membaca buku.

“Apa?” tanya Saghara sambil menoleh ketika dia merasa kalau Ervania sedang memandangnya.

“Nggak apa-apa, kamu belajar aja yang rajin.” Ervania menyahut buru-buru sementara Neyfa tertawa kecil melihat Saghara mengernyit.

Saat membonceng motor Saghara menuju rumah, Ervania tanpa sadar teringat dengan mimpinya yang terasa nyata. Bedanya orang yang bersamanya sekarang adalah Saghara, bukannya Ahmose.

Ervania ingat bagaimana Ahmose mengajaknya pergi diam-diam dengan naik kuda berdua, dan dia yang membonceng di depan sementara Ahmose duduk di belakang sambil mengendalikan kuda yang mereka tunggangi.

“Van, sudah sampai!” Saghara menyadarkan Ervania yang tidak segera turun dari motornya.

“Ah iya!” sahut Ervania buru-buru sambil beringsut turun.

“Lagi mikir apa sih?” tanya Saghara penasaran. “Sampai nggak sadar sudah sampai rumah.”

“Ujian besok,” jawab Ervania mencari alasan. “Mampir yuk, Gha?”

“Boleh deh,” angguk Saghara sembari turun dari motornya.

Ervania dan Saghara mengobrol sambil minum dan makan cemilan, setelah itu Saghara pamit pulang karena harus latihan basket bersama teman-temannya.

“Lho, Sagha sudah pulang?” tanya Santy sambil celingukan.

“Iya Ma, ada kegiatan ekstra.” Ervania memberi tahu.

“Padahal mama baru coba resep kue baru,” tutur Santy sembari menunjukkan satu piring kecil berisi beberapa iris roti ke hadapan Ervania.

“Aku aja yang nyicipin,” kata Ervania sambil menyomot satu iris kue buatan mamanya. “Pasti enak.”

“Bawa saja semuanya ke kamar kamu,” suruh Santy sambil menyodorkan piring kecilnya.

Ervania mengangguk dan kembali ke kamarnya dengan senang. Sambil duduk di lantai kamarnya, dia menyalakan televisi dan memakan kue yang diberikan sang mama.

“Kok aku jadi ingat Ahmose ....?” gumam Ervania, dia terkenang saat dia dan Ahmose makan bersama di kamar. Bahkan tingkah konyol Ahmose yang terkejut melihat televisi yang menyala, membuat Ervania tidak dapat lagi menahan senyumnya.

“Ahmose?” panggil Ervania sambil menyandarkan kepala di tepi tempat tidurnya. “Aku kenapa jadi kepikiran sama kamu?”

Ada perasaan aneh yang sangat sukar Ervania jelaskan saat dia terkenang kembali dengan kebersamaan singkatnya bersama Ahmose. Terlepas apakah dia manusia atau bukan, Ervania tidak bisa melupakannya begitu saja.

Apalagi Ervania sempat membelikannya baju, kemudian mereka jalan-jalan bersama keliling komplek perumahan ....

“Kamu merindukan aku?”

Ervania termenung sendirian tanpa menjawab.

“Apa kamu merindukan aku, Navarin?”

Suara itu! Ervania memejamkan matanya, tetapi suara itu begitu dekat. Bahkan amat sangat dekat seakan bergaung di dalam kepala Ervania sendiri.

“Aku akan berada di dekatmu saat kamu merindukan aku.”

“Siapa ka ...” Ervania mendongakan kepalanya dan terkejut. “Ahmose?”

Laki-laki muda misterius itu tersenyum sambil memandang ke arah Ervania.

“Kamu ... ke mana saja?” tanya Ervania saat Ahmose duduk di sampingnya.

Untuk sesaat, Ahmose diam saja dan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ervania kepadanya.

“Kenapa kamu diam?” tanya Ervania lagi. “Sebenarnya ... kamu ini siapa? Apa hubungannya sama aku?”

Ahmose menarik napas.

“Kamu tidak akan percaya kalau hanya mendengar dari ceritaku,” ucapnya lambat-lambat. “Di jaman itu, hubungan kita telah ditentang alam semesta ....”

“Nggak mungkin!” bantah Ervania tak percaya. “Kita ini beda jaman, aku ... aku hidup sekarang, aku nyata, tapi kamu ... aku bahkan nggak tahu kamu ini hantu atau bukan.”

Ahmose menatap Ervania lekat-lekat, perlahan wajah rupawannya mengendur dan digantikan oleh tulang yang terbungkus belitan kain putih hingga ke sekujur tubuhnya yang semula terlihat kuat dan gagah.

“AAAARRGGGGHHHH!” Ervania menjerit sejadi-jadinya.

Bersambung –

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel