Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

15. Cuaca yang Berubah

“Sepertimya mau turun hujan deras,” komentar Saghara sambil memandang ke arah langit malam.

Ervania mengangguk setuju.

“Kamu bawa jas hujan kan, Gha?” tanyanya ingin tahu. “Kilatnya seram banget.”

Saghara menggelengkan kepalanya.

“Bahaya lho, apa sebaiknya kamu pulang sekarang?” tanya Ervania khawatir. “Bukannya aku mengusir kamu, Gha. Tapi kamu lihat sendiri kan kalau cuaca lagi nggak bagus?”

Saghara terdiam sebentar.

“Iya juga sih,” angguknya setuju. “Maaf ya Van, kita terpaksa batal jalan dan aku malah harus buru-buru pulang ....”

“Nggak apa-apa, aku malah takut kalau kamu pulang saat hujan turun diselingi petir.” Ervania menarik napas. “Risiko di jalan juga lebih besar, makanya aku sarankan kamu pulang sebelum hujan benar-benar turun.”

Saghara membereskan sampah sisa mie kemudian mengenakan jaketnya.

“Mama kamu sudah tidur belum, ya?” tanya Saghara sembari menarik ritsleting jaketnya. “Aku mau pamitan.”

“Nanti aku sampaikan,” jawab Ervania. “Kamu yang hati-hati ya Gha nyetirnya? Kalau tiba-tiba hujan turun sama petir, mendingan kamu berteduh dulu. Jangan nekat, takutnya ....”

“Iya Van,” angguk Saghara sambil tersenyum hangat. “Aku senang kamu khawatir sama aku.”

Ervania balas tersenyum dengan agak salah tingkah.

“Ya kan wajar ...” katanya membela diri. “Sudah sana, hawa-hawa hujan sudah sampai ke sini.”

“Kamu cepat tidur ya?” pesan Saghara penuh sayang. “Aku pulang dulu.”

Ervania mengangguk dan menunggui Saghara sampai motornya melaju kemudian menghilang ditelan mendung yang semakin menghitam.

“Masuk ah, dingin banget ...” gumam Ervania, dia buru-buru berjalan masuk ke dalam rumah karena udara dingin semakin terasa menggigit tulangnya.

“Sagha sudah pulang, Van?” tanya Santy ketika melihat putrinya duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

“Lho, aku kira mama sudah tidur!” sahut Ervania sambil menoleh. “Aku suruh pulang Ma, sebelum hujan turun. Itu kan mendungnya tebal banget, petirnya juga seram.”

Santy mengangguk paham.

“Ya sudah, kamu tidur sana. Jangan main ponsel terus,” tegur Santy. “Bahaya.”

“Iya, Ma.” Ervania mengangguk patuh kemudian berjalan pergi ke kamarnya.

Setibanya di kamar, Ervania meletakkan ponselnya kemudian mengecek jendelanya yang masih terbuka. Saat tangannya bergerak untuk mengunci, dia melihat bahwa langit malam tak segelap seperti sebelumnya.

“Kok ada bintang?” gumam Ervania. “Tadi kan mendung banget, kok sekarang cerah?”

Bepikir jika dirinya salah lihat, Ervania setengah berlari menuruni tangga dan pergi sampai ke depan rumah untuk memastikan sendiri.

“Kok aneh banget sih?” komentar Ervania pada dirinya sendiri. “Cuacanya nggak jelas, kasihan Saghara jadi cepat-cepat pulang ....”

Ervania mengembuskan napas keras, kemudian berbalik dan masuk ke rumahnya.

“Seaneh itu ya?” komentar Saghara ketika dia bertemu Ervania di sekolah pada hari pertama weekday. “Sampai di rumah, aku langsung diam di kamar nonton film. Jadi aku nggak tahu kalau ada perubahan cuaca di luar.”

Ervania termenung sebentar, tapi kemudian dia menganggapnya sebagai fenomena alam yang biasa dan mengajak Saghara untuk segera masuk kelas.

“Aku rasanya mau cepat-cepat lulus biar bisa kuliah ke Mesir,” ucap Ervania sementara mereka menunggu bel masuk berdering.

“Jangan deh, tabunganku belum cukup banyak.” Saghara menggelengkan kepala.

Ervania tertawa kecil.

“Kamu kan nggak harus ikut aku ke Mesir juga,” sahutnya. “Kamu bisa kuliah di Indonesia ....”

“Terus kamu keluyuran sendirian di Mesir, begitu?” tebak Saghara. “Aku nggak bisa bayangin kalau kamu nanti di sana diam-diam masuk ke piramida, iseng bongkar makam, atau ... tersesat di gurun pasir?”

Ervania tambah kencang tertawa.

“Doanya yang baik-baik dong, Gha!” komentarnya. “Lagian di sana aku kuliah, bukan keluyuran. Mana bisa kita sembarangan masuk piramida sih?”

Saghara mengerutkan keningnya.

“Bukannya dulu kamu malah sempat melihat penggalian salah satu situs kuno kalau nggak salah?” tanya Saghara sambil berusaha mengingat-ingat. “Benar nggak, sih?”

Ervania mengangguk membenarkan.

“Iya, tapi saat itu ... sebentar, aku juga agak lupa.” Ervania memejamkan matanya seolah sedang mengingat sesuatu yang sangat penting. “Jadi saat itu aku pergi rombongan sama teman-teman Indonesia, kita mau nonton piramida niatnya ....”

“Tapi?” pancing Saghara ketika melihat Ervania menggantung kalimatnya. “Gimana bisa kalian lihat penggalian yang seharusnya bersifat rahasia?”

Ervania tersenyum salah tingkah.

“Duh ... aku lupa, Gha. Tapi yang jelas salah satu temen aku itu ngarahin kita ke sana ramai-ramai,” katanya. “Para petugas penggalian sama keamanannya diam terus saat aku sama teman-teman datang, ya aku pikir nggak apa-apa.”

“Kamu lihat nggak apa yang sedang mereka gali atau mereka temukan?” tanya Saghara yang menjadi luar biasa ingin tahu. “Maksudku, mereka menemukan mumi baru, artefak, atau apalah namanya itu.”

Ervania mengangkat bahu.

“Itu yang aku belum sempat lihat,” katanya seolah menyesal. “Padahal seru kan kalau aku lihat apa yang saat itu mereka gali.”

Herannya, Saghara sama sekali tidak berpendapat demikian.

“Menurutku nggak seru deh Van,” komentarnya. “Masalahnya peradaban Mesir jaman kuno itu kan berbahaya, kita nggak tahu ada kutukan apa di baliknya.”

“Kutukan?” ulang Ervania sambil mengernyit.

“Katanya sih begitu,” angguk Saghara. “Aku pernah baca kalau makam-makam raja Mesir kuno itu dilengkapi sama mantra-mantra kutukan yang konon bakalan menjangkit siapa saja orang yang berani membongkar apa pun.”

“Kenapa aku dengarnya seperti wabah?” kata Ervania.

“Bukan wabah, tapi kutukan.” Saghara menarik napas. “Jadi risikonya besar kalau kita main masuk-masuk piramida apalagi membongkar situs kuno yang kita nggak tahu ada kekuatan gaib apa di dalamnya.”

Ervania termenung, mendadak pikirannya melayang pada sosok Ahmose yang tiba-tiba muncul di hadapannya hanya berselang tak lama setelah dia pulang dari program pertukaran pelajar di Mesir.

Siapa sebenarnya Ahmose? Apakah dia merupakan salah satu mumi yang dikutuk?

“Itu cuma mitos,” kata Ervania akhirnya. “Aku juga pernah baca yang semacam itu, Gha.”

“Tetap saja, kita yang bukan orang asli Mesir lebih baik menghormati.” Saghara menyahut. “Karena yang namanya makam, di manapun itu berada, adalah tempat peristirahatan orang-orang yang sudah tidak hidup lagi di dunia ini. Jadi, kita harus hormati.”

Ervania menganggukan kepala untuk menyederhanakan masalah.

“Kamu memang bijak,” pujinya kepada Saghara, yang hanya tersenyum mendengarnya.

Setelah pembicaraan itu, Ervania terus memikirkan tentang kemungkinan asal usul Ahmose yang sebenarnya.

Sampai sekarang, Ervania tidak pernah tahu bagaimana dan mengapa Ahmose bisa muncul di hadapannya. Apakah ini ada hubungannya dengan mitos kutukan yang akan mengenai siapapun yang berani mengusik situs kuno?

Malam itu tidur Ervania begitu gelisah, sementara di luar kilat sedang sibuk saling menyambar bumi dengan gagahnya hingga menimbulkan percikan cahaya terang yang merambat hingga ke kamar cewek itu.

Keesokan paginya Ervania terbangun dari tidurnya yang kurang nyenyak, dan ternyata dia sudah berada di tempat lain yang tidak dikenalnya.

Bersambung –

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel