14. Kita Ditakdirkan Berjodoh
Akhir pekan tiba dengan begitu cepat, membuat Ervania yang biasanya hanya malas-malasan saja di rumah menjadi mandi lebih awal dan bersiap untuk menunggu kedatangan Saghara.
Ahmose muncul mendadak ketika Ervania baru saja selesai bersolek.
“Kamu cantik sekali,” komentar Ahmose ketika melihat Ervania yang petang itu mengenakan celana jins panjang dan kaos berkerah.
“Terima kasih,” sahut Ervania sambil tersenyum manis.
“Apa kita jadi jalan-jalan hari ini?” tanya Ahmose sambil memandang Ervania dengan penuh harap.
Senyuman Ervania berubah menjadi senyuman yang tidak enak.
“Maaf ya, tapi aku mau pergi sama Saghara dulu.” Dia mencoba memberikan pengertian.
“Saghara? Siapa dia?” tanya Ahmose lagi.
“Aku pernah cerita kan kalau aku punya pacar?” sahut Ervania sambil memandang Ahmose. “Jadi Saghara itu pacar aku.”
Terjadi kesunyian panjang setelah Ervania menjawab pertanyaan Ahmose.
“Aku ikut,” kata Ahmose kemudian. “Saghara itu pasti tidak bisa melihatku.”
Ervania langsung menggeleng tegas.
“Jangan, aku nanti pulang lagi. Kita masih bisa bertemu,”sahut Ervania. “Kamu di rumah saja, diam dan tenang. Ingat, jangan menampakkan diri kepada siapapun.”
Ahmose tidak menjawab.
“Aku tidak bisa hanya diam di sini sementara kamu pergi sama orang lain,” katanya menggerutu. “Aku harus ikut, Navarin.”
“Namaku bukan Navarin,” bantah Ervania, mulai kurang suka karena Ahmose dengan seenaknya mengganti namanya. “tapi Vania.”
Ahmose mendadak menatap tajam Vania.
“Kamu adalah Navarin, dan kamu hanya akan menjadi jodohku.” Dia menekankan setiap suku katanya sehingga menimbulkan efek intimidasi yang cukup membuat Ervania tidak nyaman.
“Apa sih kamu bicarakan? Aku itu sudah punya pacar,” kata Ervania memberi tahu. “Kamu nggak bisa seenaknya mengklaim kalau aku ini jodoh kamu, karena rahasia jodoh itu nggak ada yang tahu ....”
“Tapi kita memang ditakdirkan berjodoh,” potong Ahmose tegas. “Kisah tentang kita bahkan sudah diabadikan dalam satu manuskrip kuno yang dikubur dalam ....”
“Ahmose, cukup. Tolong jangan bersikap kalau seolah-olah aku ini hidup di jamnmu.” Ervania balas memotong. “Kalau kamu mau tahu, aku lahir dan besar di sini. Umurku juga baru tujuh belas tahun, kita ini beda masa!”
Ervania lama-lama bingung juga menghadapi sikap Ahmose yang mulai ingin menggerecoki kehidupannya yang semula tenang.
“Kalau kamu masih mau berteman sama aku, tolong hargai hidupku sama privasiku.” Dia mendongak menatap Ahmose. “Tapi kalau kamu seperti imi terus, lebih baik kita nggak usah bertemu lagi.”
“Apa?” ucap Ahmose terkejut. “Itu terlalu kejam ....”
“Masalahnya kamu nggak pernah ngerti,” sahut Ervania sembari menarik napas panjang. “Kamu itu sedang berada di jaman aku, jadi kamu harus menyesuaikan diri sama kebiasaan aku. Paham?”
Ahmose terdiam.
“Kalau kamu nggak mau ngerti juga, silakan kamu cari teman lain yang bisa kamu atur-atur sesuka hati kamu.” Ervania melanjutkan dengan tegas.
Ahmose mengerjabkan matanya.
“Kamu benar-benar sudah berubah,” katanya, sebelum emosi Ervania semakin meninggi dia memilih untuk menghilang detik itu juga.
Begitu Ahmose berlalu, Ervania sedikit merasakan rasa bersalah karena memarahinya. Masalahnya dia tidak pernah tahan setiap kali Ahmose memanggilnya Navarin, bahkan berpikir kalau mereka berdua adalah jodoh di masa lalu.
Di mana nalarnya coba?
Meskipun masih kesal, Ervania tetap menerbitkan senyumnya saat menyambut Saghara yang baru saja tiba di rumah.
“Mendung banget di luar,” ujar Saghara sambil melepas helm yang bertengger di kepalanya.
“Kamu nggak kehujanan, kan?” tanya Ervania sambil mengamati motor Saghara yang licin berkilat memantulkan cahaya lampu teras.
“Enggak,” geleng Saghara sambil tersenyum simpul. “Mama kamu mana?”
“Lagi istirahat di kamar,” jawab Ervania memberi tahu. “Masuk dulu, yuk?”
Saghara mengangguk dan mengikuti Ervania masuk ke ruang tamu.
“Van? Kamu di sini ternyata?” Santy muncul dan berpapasan dengan putrinya. “Mama kira kamu di atas, kok tumben berisik?”
Ervania mengerutkan keningnya, sementara Saghara tersenyum hormat ke arah Santy.
“Aku cek sebentar, mungkin kucing tetangga sebelah naik sampai kamarku dan mengacak-acak barang!” seru Ervania sambil buru-buru menaiki tangga.
“Duduk dulu, Gha?” suruh Santy ramah.
“Iya, Tante.” Saghara mengangguk sopan.
Sementara itu Ervania membuka pintu kamarnya dan terbelalak saat menyaksikan meja dan kursi terangkat dari lantai, botol-botol skincare beterbangan, dan tempat tidur miliknya juga melayang beberapa senti dari tempatnya semula.
“Ya ampun!” pekik Ervania tertahan. “Apa yang terjadi? Ahmose?”
Ervania cepat-cepat masuk dan menutup pintu kamarnya.
“Ahmose, pasti kamu yang bikin ini semua!” seru Ervania sambil memandang berkeliling kamarnya. “Kamu menguasai sihir di jaman kamu, kan?”
Semua benda yang tadinya beterbangan di udara, mendadak tenang meskipun posisinya masih melayang-layang di atas lantai.
“Ahmose, kalau kamu bikin yang aneh-aneh seperti ini, aku nggak mau lagi bertemu sama kamu!” Ervania memperingatkan.
Sontak saja, semua benda yang melayang seketika mendarat kembali ke lantai dengan diiringi suara keras seperti benturan.
Sesaat kemudian, cahaya emas yang sudah dikenali Ervania memancar sampai Ahmose menampakkan dirinya di hadapan cewek itu.
“Ini semua gara-gara kamu,” kata Ahmose datar sembari menatap Ervania.
“Gara-gara aku?” Ervania membulatkan matanya. “Kamu ini ... kenapa mendadak jadi seperti anak kecil?”
“Karena kamu tidak mengizinkan aku ikut pergi sama kamu,” ucap Ahmose tajam. “Kamu jodohku, sudah seharusnya aku ikut ke manapun kamu pergi. Bahkan ketika kamu sedang bersama orang lain ....”
“Saghara itu bukan orang lain, tapi dia pacar aku.” Ervania berusaha memberikan pengertian. “Aku kan sudah pernah bilang ini sama kamu.”
Ahmose tidak menanggapi.
“Tolong deh, kamu jangan bersikap seperti anak kecil.” Ervania memberi naseahat. “Jangan juga kamu mulai mengatur-atur aku, atau kamu boleh cari teman selain aku.”
“Tapi aku cuma menginginkan kamu, Navarin. Aku tidak mau sama orang lain,” geleng Ahmose. “Maafkan aku, tolong jangan buang aku ....”
“Kalau begitu, bereskan ini. Aku nggak mau kamar aku berantakan lagi,” suruh Ervania tegas, setelah itu dia berbalik pergi dan meninggalkan Ahmose sendirian di kamarnya.
“Beneran ada kucing?” tanya Saghara ingin tahu ketika Ervania muncul di depannya.
“Oh, sudah aku bereskan kok tadi ...” jawab Ervania sambil tersenyum salah tingkah. “Aku pikir beberapa hari kamarku kotor dan belum sempat dibersihkan, makanya banyak tikus dan itu yang mengundang kucing jadi berdatangan.”
Saghara tersenyum saja menanggapinya.
“Setelah kucing, sekarang tikus?” Dia berkomentar, membuat Ervania merasa tersindir tapi pura-pura tidak mendengarnya.
Karena mendung semakin menggelayut, Ervania dan Saghara membatalkan rencana mereka untuk pergi ke luar. Sebagai gantinya mereka duduk di teras rumah sambil menikmati satu cup mie rebus dan secangkir kopi untuk masing-masing.
“Sebentar lagi hujan,” komentar Saghara. “Kamu nggak kecewa kita batal pergi jalan-jalan?”
“Mau gimana lagi,” sahut Ervania sambil mengangkat bahunya. “Daripada nanti kita kehujanan?”
Saghara mengarahkan pandangannya ke langit malam yang sesekali terang benderang karena sambaran kilat, padahal seharusnya hari itu cerah sesuai prakiraan cuaca.
Bersambung –
