13. Menyembunyikan Ahmose
Selanjutnya Ervaania mengajak Ahmose berjalan-jalan di sekitar perumahannya yang padat penduduk.
“Udara sekarang tidak terlalu bagus,” komentar Ahmose di sela-sela perjalanan mereka. “Di sini juga terlalu sempit, banyak orang berkerumun ... aku heran kamu bisa betah berada di sini.”
Ervania memutar matanya ke arah Ahmose.
“Memangnya di tempatmu seperti apa?” tanyanya ingin tahu.
“Di sana luas, udara bersih meskipun gersang ...” jawab Ahmose lambat-lambat. “Ada banyak kereta, hewan seperti unta, kuda ... tapi kenapa aku tidak melihat satupun hewan di sini?”
Ervania tersenyum simpul.
“Aku nggak tahu kamu ini hidup di jaman kapan, tapi yang jelas kehidupan kamu terlalu kuno.” Dia berkomentar. “Unta sama kuda masih ada sampai hari ini, tapi jelas kedua hewan itu nggak lagi jadi alat transportasi utama. Kebanyakan orang bahkan punya kendaraan pribadi seperti motor, mobil ....”
“Mo – tor?” ulang Ahmose sambil menghentikan langkahnya.
Ervania ikut berhenti.
“Iya, motor itu ibarat kuda besi kalau jaman sekarang.” Dia mengangguk. “Sebentar, biasanya jam-jam segini sering ada motor yang lewat ... nah itu!”
Ervania menunjuk ke ujung jalan, di mana ada beberapa anak sekolah yang muncul sambil mengendarai motor.
“Luar biasa sihir jaman sekarang,” komentar Ahmose, kedua matanya tanpa berkedip menatap motor-motor yang berseliweran di dekatnya.
“Ayo jalan lagi,” ajak Ervania sembari melangkahkan kaki.
Selanjutnya mereka berdua melanjutkan perjalanan hingga ke lapangan bola yang ada di tengah komplek.
“Itu arena apa?” tunjuk Ahmose dengan pandangan matanya.
“Buat main bola,” jawab Ervania tanpa merasa risi. “Hari Minggu nanti aku akan ajak kamu naik angkutan umum, seperti taksi. Kita juga bisa jalan-jalan di mal kalau aku ada waktu.”
“Kapan?” tanya Ahmose memastikan.
“Kalau aku ada waktu,” jawab Ervania sambil mengangkat bahunya. “Masalahnya kegiatan sekolahku sedang banyak-banyaknya.”
“Baik,” sahut Ahmose singkat.
“Sekarang kita pulang dulu,” ajak Ervania karena dia belum pamit kepada sang mama.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ervania sempat berpapasan dengan beberapa orang warga yang melihat keberadaan Ahmose dan tatapan mereka seakan penuh dengan tanda tanya.
‘Gawat,’ batin Ervania dalam hatinya. Yang bisa dia lakukan selanjutnya adalah menganggukkan kepala sambil melemparkan senyuman ke arah mereka.
“Ahmose, sebaiknya kamu cepat menghilang ...” bisik Ervania sambil mendongak menatapnya.
“Sekarang?” tanya Ahmose sambil mengernyitkan keningnya.
“Nanti!” balas Ervania dari sudut bibirnya, dia mempercepat langkah ke arah pohon mangga besar tadi.
“Kenapa aku tidak bisa berlama-lama di samping kamu?” tanya Ahmose ingin tahu.
“Karena itu nggak baik,” jawab Ervania tegas.
Kini mereka berdua sudah sampai di belakang batang pohon mangga besar yang menjadi target Ervania.
“Kenapa?” kejar Ahmose. “Apa aku sangat buruk?”
“Eh?” Ervania menoleh menatapnya. Kalau masalah penampilan, jelas sekali jika Ahmose mendekati sempurna sebagai seorang cowok masa kini.
Postur tubuhnya yang tinggi dan berisi membentuk fisik yang begitu proporsional di matanya. Belum lagi warna kulitnya yang eksotis, menambah nilai tambah tersendiri bagi Ervania yang melihatnya.
“Anu ...!” Ervania cepat-cepat menghalau pikiran yang tidak-tidak dari kepalanya. “Masalahnya adalah kamu bukan berasal dari sini, kamu bukan keluargaku, bukan saudaraku juga, jadi ... kamu belum bisa lama-lama berada di dekatku.”
Kemudian Ervania teringat Saghara, pacarnya yang begitu baik dan perhatian. Apa jadinya kalau dia tahu bahwa Ervania menyimpan seorang cowok asing di kamarnya?
“Tapi ... aku menginginkan kamu,” kata Ahmose lirih dengan pandangan duka cita yang teramat dalam. “Sudah berabad-abad aku menantikan pertemuan kita kembali.”
“Apa?” Ervania berpikir jika dirinya salah dengar. “Berabad-abad? Ahmose, jangan bercanda!”
Jika memang benar Ahmose sudah menghabiskan waktu hingga berabad-abad lamanya, lalu berapa usia Ahmose yang sekarang?
“Kapan kita bisa bersama sepanjang hari?” tanya Ahmose lagi.
Ervania mengatupkan bibirnya rapat-rapat, terus terang dia juga tidak tahu kapan saatnya membiarkan orang-orang mengetahui keberadaan Ahmose.
“Kapan-kapan kita bicara lagi,” jawab Ervania akhirnya. “Sekarang yang penting kamu sembunyikan dulu diri kamu. Aku harus kembali ke rumah dengan jalan kaki.”
Mau tak mau Ahmose menganggukkan kepalanya, dan sekejap kemudian cahaya keemasan yang dikenal Ervania muncul, menyelimutinya penuh hingga menggulungnya sampai sosoknya tidak kelihatan lagi.
“Huft!” Ervania mengembuskan napas lega, dia sudah mulai terbiasa dengan cara Ahmose datang dan menghilang seperti tadi.
“Dari mana kamu, Van?” tanya Santy ketika melihat Ervania muncul di teras.
“Habis jalan-jalan di luar, Ma.” Ervania menjawab sambil nyengir.
“Kok mama nggak lihat kamu pergi?” Santy mengerutkan keningnya.
“Iya, tadi aku nggak pamit sama mama. Maaf ya, Ma?” ucap Ervania merasa bersalah.
“Ya sudah, kamu sudah makan?” tanya Santy perhatian sembari merangkul putrinya masuk ke dalam rumah.
“Sudah,” jawab Ervania puas. “Masakan Mama tetap yang terbaik pokoknya.”
Santy hanya tertawa kecil mendengar ucapan putri semata wayangnya.
***
Saghara beberapa kali sempat mencuri pandang ke arah Ervania yang duduk di sampingnya, dia merasa sudah beberapa waktu ini sang pacar kurang memedulikannya.
“Van, kamu ambil les tambahan?” tanya Saghara saat jam istirahat.
Ervania menggelengkan kepalanya.
“Enggak, aku belum butuh.” Dia menyahut sambil tersenyum lebar. “Aku masih bisa belajar sendiri, Gha. Kenapa memangnya?”
Saghara memandang Ervania yang sedang meminum es jeruknya.
“Aku merasa kamu agak berubah sekarang,” komentar Saghara dengan wajah serius. “Kamu kelihatan lebih sibuk daripada biasanya.”
Mendengar komentar Saghara, Ervania menyedot habis es tehnya tanpa sadar.
“Masa sih, Gha?” tanya Ervania sambil menyingkirkan gelasnya. “Mungkin itu cuma perasaan kamu aja.”
Saghara menggeleng, dia sangat mengenal Ervania selama ini dengan baik dan bisa merasakan jika perlahan pacarnya itu mulai berubah.
“Aku serius Van,” sahut Saghara. “Ya kalau kamu memang lagi ada kesibukan tambahan yang aku nggak tahu, aku sih maklum.”
Ervania menggaruk-rambutnya yang tidak gatal.
“Mungkin karena aku lihat akhir-akhir ini mamaku sibuk sama pesanan kuenya,” kata Ervania mencari-cari alasan.
Saghara yang mengira jika Ervania sibuk membantu ibunya membuat kue, akhirnya mengangguk memaklumi.
“Jangan sampai kamu atau mama kamu jatuh sakit, ya?” kata Saghara dengan sorot mata yang memancar tulus. “Kalau perlu, kalian bisa panggil aku untuk membantu.”
Ervania tersenyum dengan dada sesak mengharu biru.
“Terima kasih, Gha.” Dia memandang Saghara dengan sedikit merasa bersalah.
Setibanya di rumah, Ervania langsung masuk kamar dan merebahkan diri di tempat tidurnya.
Rasa bersalah karena telah menutupi sesuatu dari pacarnya membuat Ervania semakin merasa tidak adil pada Saghara. Sudah bertahun-tahun mereka pacaran sejak SMP, dan Ervania hampir tidak pernah menyembunyikan rahasia sekecil apa pun darinya.
“Sagha, maafin aku ...” gumam Ervania dengan wajah tertutup bantal. Biar bagaimanapun, dia terpaksa menyembunyikan keberadaan Ahmose untuk sementara waktu ini.
Bersambung –
