12. Baju untuk Ahmose
Sejak kejadian itu, Ervania tidak mau lagi memberi tahu Ahmose setiap kalao dirinya berencana pergi dengan Saghara.
Tidak sampai satu minggu setelah pemesanan online yang dilakukannya, Ervania mendapati sebuah paket sudah teronggok pasrah di meja ruang tamu rumahnya begitu dia pulang sekolah.
"Ahmose?" panggil Ervania ceria sambil menenteng paket itu di tangannya. "Coba lihat aku bawa apa buat kamu!"
Ahmose tidak memperlihatkan wujudnya meskipun Ervania sudah memanggil namanya berulang kali.
“Ahmose?” panggil Ervania lagi. “Aku sudah dapat baju bagus buat kamu, mungkin kita bisa jalan-jalan setelah ini?”
Ervania meletakkan paketannya di atas meja belajarnya kemudian mengambil setumpuk pakaian bersih dari dalam lemarinya.
Saat Ervania melepas kemeja putihnya, sebuah siluet cahaya lembut keemasan muncul entah dari mana dan Ahmose menjulurkan wajahnya yang rupawan.
“Aaarrgghh!” jerit Ervania sembari menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya. “Ahmose! Sudah berapa kali aku bilang, jangan suka muncul mendadak seperti ini!”
Ahmose muncul sepenuhnya seiring cahaya keemasan itu memudar di sekelilingnya. Dia menoleh dan tersenyum tipis.
“Maaf, aku terlalu bersemangat.” Dia menyahut kalem.
Ervania mendelik kesal ke arahnya tanpa berkata apa-apa.
“Aku mungkin sangat senang saat kamu bilang kalau kita bisa pergi jalan-jalan,” sambung Ahmose lagi. “Jadi, apa yang kamu bawa untukku?”
Ervania menunjuk satu buah paket yang berada di meja belajarnya dengan lirikan matanya.
“Kamu coba dulu sana di kamar mandi,” suruh Ervania tegas. “Jangan keluar sebelum aku panggil.”
“Baik, aku pergi dulu.” Ahmose menerbitkan senyumnya, kemudian dia mengambil paketan yang dipesan Ervania kemudian membawanya ke kamar mandi.
Ervabia mengembuskan napas dengan keras, kemudian secepat kilat dia mengganti seragamnya sebelum Ahmose muncul mendadak lagi.
Selesai mengganti bajunya, Ervania turun ke dapur untuk mengambil minum.
“Van, kamu kenapa sih teriak-teriak?” tanya Santy heran ketika melihat putrinya muncul di dapur.
“Ada kecoak terbang, Ma.” Ervania beralasan sambil membuka lemari es. “Kaget nggak sih?”
Santy geleng-geleng kepala sambil meneruskan pekerjaannya membuat kue pesanan.
“Mama lebih kaget lagi dengar suara kamu teriak-teriak,” komentar Santy. “Makan dulu sana.”
“Sebentar Ma,” sahut Ervania setelah menenggak sebotol air mineral dingin. “Aku mau makan di kamar saja sambil nonton tivi.”
Santy hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Ervania mendekati meja makan dan mengambil sepiring nasi, tak lupa dia menambahkan perkedel kentang sayur dan ayam goreng, sambal dan sedikit kuah sop daging yang terhidang. Setelah itu dia mengangkut piringnya ke kamar untuk memakannya di sana.
“Ahmose?” panggil Ervania saat memasuki kamar. “Kamu sudah selesai belum?”
Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka dan Ahmose muncul dengan mengenakan baju yang Ervania pesankan untuknya. Selembar kemeja kotak-kotak dan celana jins panjang membalut tubuh atletis Ahmose dengan gagah.
“Kamu ...?” Ervania ternganga sebentar, kemudian dia segera mengalihkan pandangannya karena dia sadar kalau dirinya sudah memiliki kekasih.
“Pakaian ini aneh sekali,” komentar Ahmose. “Tapi kalau menurutmu bagus, aku akan sangat senang memakainya.”
Ervania menarik napas dengan sabar.
“Baju yang kamu pakai itu busana masa kini,” katanya menjelaskan. “Ayo, kita makan dulu.”
Ahmose memandang piring yang dibawa Ervania.
“Kamu dulu makan nasi juga kan?” tanya Ervania ragu-ragu.
“Aku nggak pernah tanya apa nama makanan yang biasa disajikan para pelayan,” jawab Ahmose sambil menggeleng. “Seringnya mereka menghidangkan daging asap, roti madu ....”
“Tapi di sini makanan pokoknya adalah nasi,” sela Ervania sambil duduk di lantai. “Ayo makan sama aku.”
Dengan ragu-ragu, Ahmose berjalan mendekat dan duduk di depan Ervania yang meraih remot televisi.
Begitu layar di sampingnya menyala tiba-tiba, Ahmose melompat hingga nyaris terjengkang karena kaget.
“Sihir apa lagi itu?” ucapnya waspada sambil pasang kuda-kuda. “Kenapa banyak sekali sihir di sini?”
Ervania melongo sebentar, setelah itu dia harus susah payah menahan tawanya.
“Ini bukan sihir,” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Jadi santai saja ....”
“Itu apa yang kamu pegang?” tanya Ahmose sambil menunjuk remot yang ada di tangan Ervania. “Itu pasti pengganti tongkat sihir jaman dulu ....”
“Ahmose, ini alat untuk menyalakan tivi dan mengganti saluran.” Ervania menjelaskan dengan kesabaran yang mengagumkan.”
“Saluran ...? Bukankah seharusnya kalian membuat saluran untuk mengalirkan air?” tanya Ahmose heran.
Ervania hanya menghela napas.
“Terserah kamulah,” katanya. “yang penting sekarang kita makan dulu.”
Setelah agak tenang, Ahmose duduk lagi di depan Ervania.
“Ini sendoknya,” kata Ervania seraya mengulurkan sepasang alat makan kepada laki-laki misterius itu. “Begini cara makannya.”
Alih-alih membuat Ahmose heran dengan segala macam hal yang terjadi di masa kini, Ervania lebih memilih untuk menunjukkannya secara langsung dengan bertahap.
Awalnya dia menyendokkan makanannya kemudian menyuapkan ke mulutnya sendiri.
“Sama saja dengan cara makan di jaman kamu kan?” tanya Ervania sembari mengunyah.
Ahmose tidak menjawab dan dengan kagok menggerakkan sendoknya untuk mengambil butiran nasi putih yang telah tercampur kuah.
“Bisa nggak?” tanya Ervania geli sambil memandang Ahmose. “Jaman dulu pasti kamu makannya pakai tangan ya?”
Ervania meletakkan sendoknya dan mengambil alih sendok Ahmose, kemudian dengan baik hati dia menyendokkan sedikit nasi dan menyuapkannya.
“Coba makan,” suruh Ervania sambil mendekatkan sendoknya ke mulut Ahmose yang terkatup rapat.
Awalnya Ahmose ragu-ragu, tapi kemudian dia membuka mulutnya sedikit sesuai instruksi Ervania.
“Enak, nggak?” tanya Ervania antuasias ketika melihat Ahmose mengunyah dengan gerakan santun. “Masakan mama aku terkenal enak.”
Ahmose mengangguk tanpa berkata apa-apa, sampai kemudian Ervania memberinya suapan kedua, ketiga dan seterusnya sampai dia menggeleng karena kekenyangan.
Setelah makan, Ervania menepati janjinya kepada Ahmose untuk mengajaknya jalan-jalan ke luar rumah.
“Kamu jangan bareng aku,” cegah Ervania saat Ahmose hendak mengikutinya turun keluar kamar. “Kamu pakai saja jurus menghilang seperti biasanya, nanti kita ketemu di pinggir jalan yang nggak ada orang.”
Ahmose menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.
“Ingat ya, jangan sampai kamu muncul mendadak di depan orang yang nggak kamu kenal!” bisik Ervania mengingatkan.
“Baiklah,” sahut Ahmose menurut.
Ervania berbalik dan berjalan menuruni tangga seperti biasanya.
Setibanya di luar, Ervania menoleh mencari titik yang menurutnya paling aman untuk digunakan sebagai tempat munculnya Ahmose.
“Belakang pohon mangga,” gumam Ervania sembari menjentikkan jarinya, setelah itu dia berlari dengan penuh semangat ke salah satu pohon berusia belasan tahun yang ditanam oleh almarhum papanya saat dia masih kecil.
“Ahmose?” panggil Ervania dengan berbisik sambil bersembunyi di balik batang pohon. “Ayo muncul.”
Ervania berdiri menunggu sambil celingukan ke sana kemari dengan wajah sedikit tegang.
“Ahmose?” panggil Ervania lagi. “Munculnya jangan mendadak ya? Aku bisa jantungan nanti.”
Baru saja Ervania menutup mulutnya, cahaya keemasan itu muncul dan menerangi riak dedaunan yang ada di atas kepala Ervania. Sesaat berikutnya, Ahmose muncul sempurna dengan celana dan pakaian yang Ervania belikan untuknya.
Bersambung
