Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Call Me, Sean

Lelaki itu marah sekali, namun detik berikutnya dia tersenyum, keluar dari apartemen Anjel sambil menggeret koper Anjel dan masuk ke apartemennya.

Anjel berteriak, “Hei, kembalikan koperku!”

“Panggil aku, Sean, dan pergi makan malam denganku, akan aku kembalikan koper kamu!” balas Sean, terus melangkah menuju unitnya.

Anjel mendengus sebal, dia bahkan belum mandi dan berganti underwear. Anjel menggigiti kukunya, berpikir bagaimana cara agar kopernya bisa kembali padanya.

“Brengsek, dia terlalu licik. Sean, Sean, sialan, bisa-bisanya dia membawa koperku lagi, setelah menerima kopernya,” gerutu Anjel menghembuskan nafas kasar, menutup pintu apartemen dan menjatuhkan diri di ranjang.

Anjel menatap langit-langit di kamarnya, ingin menjerit dan berteriak sepuasnya, dia lelah sekali, lelah hati, lelah jiwa dan raganya. Dia merasa bahwa dirinya pengecut yang lari dari kenyataan yang harus dia hadapi.

“Kapan hidupku tenang,” teriaknya frustrasi.

Anjel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mengusapnya kasar, bergegas menghampiri koper-kopernya yang berserakan. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia mulai menata pakaiannya di walk in closet dalam kamarnya. Ponsel Anjel bergetar, pesan masuk dari sahabatnya, Nadia.

Moodnya sedang memburuk, dia masih enggan membalas pesan dari Nadia. Melanjutkan pekerjaannya menata semua barang-barang bawaanya. Untungnya Anjel bukan tipe yang bergantung pada orang lain, dia terbiasa melakukan apa pun sendiri, jadi tak perlu repot-repot menyuruh orang membantunya.

Selesai berberes dan berbenah, dia merasakan tubuhnya yang penuh keringat. Ya, di Paris sedang musim panas saat ini. Suhu panas membuatnya kegerahan meskipun Air conditioner sudah dia nyalakan.

Anjel mengambil handuk, detik berikutnya, dia baru ingat kalau koper yang berisi barang uniknya masih berada di tangan Sean, tetangganya yang menyebalkan itu.

“Apa iya, aku harus ke sana mengambil koperku? Tapi, aku malas bertemu dengan makhluk astral itu,” gumamnya. “Tapi, aku butuh keluar, aku butuh makan malam dan juga belanja barang-barang yang aku perlukan.”

Anjel berjalan mondar-mandir, berpikir agar menemukan cara yang lain.

“Sebaiknya aku turun sekarang juga, membeli semua apa yang aku butuhkan, baru setelahnya, aku mandi.” Anjel mengambil tas dan ponselnya, dalam hati dia berdoa, agar tidak berpapasan dengan tetangganya itu. Untungnya Anjel pernah ke Paris jadi dia lumayan tahu situasi dan kondisi di daerah dekat apartemennya.

Anjel menyusuri jalan, masuk ke sebuah Minimarket, mengambil troli dan mulai berkeliling. Anjel agak lega ketika melihat semua barang yang dia perlukan ternyata ada semua di sana, termasuk underwear.

“Nggak apa-apa, pakai ini, daripada tidak sama sekali, besok-besok, baru aku ke Victoria Sucret,” ucapnya menenteng beberapa dalaman.

Sayangnya takdir tak berpihak dengannya, suara seseorang menginterupsi di samping telinganya.

“Wah, selera kamu mendadak, jadi rendah sekali.”

Anjel menoleh dan tak sengaja mencium pipi manusia astral di belakangnya. Sean berdiri di belakang Anjel. Anjel membeku di tempatnya. Ingin mengeluarkan sumpah serapahnya, tapi kemudian, dia ingat, jika saat ini dia berada di tempat umum.

Anjel tak menyahut, dia pergi begitu saja, mengabaikan Sean. Sean yang masih penasaran dengan Anjel mengikutinya.

“Seharusnya tadi, kamu mengetuk pintu apartemenku dan aku pastikan, Victoria Sucret itu akan kembali padamu, beserta piyama tidurmu yang menggoda itu,” ejek Sean di belakang Anjel.

Anjel masih diam, dia tak membalas perkataan Sean, dia menganggap Sean itu hanya setan yang berkeliaran di dekatnya.

Dia tidak mau terjebak dalam lautan emosi. Apalagi dia sama sekali belum makan malam. Emosi juga butuh energi, dan energi didapatkan dari makanan.

“Hei, Kamu tuli? Ngomong-ngomong, aku boleh memanggilmu Anjel, aku tahu namamu dari kopermu.” Sean masih saja merecoki Anjel dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat emosi Anjel makin mendidih.

Anjel berhenti dan berbalik menatap ke arah Sean.

“Sean atau setan, dengarkan baik-baik, telingaku baik-baik saja, masih normal, bahkan lebih normal dari pada telingamu itu, jangan memancing kemarahanku, ambil koperku buatmu dan anggap kita tidak pernah bertemu, jangan menggangguku lagi!”

Anjel pergi meninggalkan Sean. Sean termangu di tempatnya. Dia sungguh heran dengan Anjel. “Dasar wanita keras kepala.”

Anjel menuju kasir, dia melirik Sean dari ekor matanya, salahkan saja matanya yang tanpa sengaja menatap belanjaan Sean. Sean, si brengsek itu membeli beberapa pengaman dengan berbagai merk. Membuat Anjel mengatupkan bibir, seandainya dia tidak melihatnya sendiri, dia pasti tak percaya dengan apa yang di lihatnya. “Pantas saja dia begitu sombong memamerkan wanita-wanita yang melemparkan dirinya di ranjangnya.”

Anjel fokus membayar barang-barang belanjaannya, kemudian keluar dari Minimarket dan kembali ke apartemennya. Dia berjalan terburu-buru, dia tidak mau satu lift dengan tetangganya yang omes itu.

Lain halnya dengan Sean, dia ingin berada satu lift dengan tetangga barunya itu, tetangganya yang cantik dan luar biasa judesnya. Sean berjalan cepat, menghampiri Anjel yang membawa barang-barang belanjaannya dengan kerepotan.

“Apa perlu saya membantumu, Nona Anjel? Tampaknya, kamu sangat kerepotan membawanya?” Sean menawarkan bantuan.

Anjel mencebik, dia tahu pasti, tetangganya itu hanya mengejeknya, “Tidak, terima kasih. Saya tidak mau merepotkan orang lain, apalagi orang itu seperti kamu, Tuan Sean.”

Sean tertawa mendengar penolakan Anjel. Wanita di depannya ini memang luar biasa sombongnya. Mereka berdua masuk ke lift, tak ada suara apa pun di dalam lift, semua sibuk dengan pemikiran masing-masing, Anjel acuh tak acuh. Mengeluarkan ponselnya dan membalas pesan Nadia sahabatnya.

Sean berdeham, “Boleh, aku tahu nomor ponselmu?”

Anjel menoleh, “Untuk apa? Saya rasa, kamu tidak membutuhkan nomor ponsel saya, kita bukan teman, apalagi rekan kerja. Kita cuma bertetangga, tetangga rasa musuh!”

Sean tertawa terbahak-bahak, “Benarkah? Kamu yakin dengan perkataan kamu, barusan? Tetangga rasa musuh? Jangan salahkan aku, jika nanti kamu jatuh cinta dengan tetangga rasa musuhmu ini. Bagaimana kalau kita coba menjadi, tetangga rasa teman? Sepertinya itu lebih bagus dan lebih nyaman.”

“Dalam mimpimu, Tuan,” ujar Anjel kesal.

Sean memang menyebalkan, bagaimana bisa ayahnya mencarikan apartemen tanpa menyelidiki lingkungan sekitarnya. Meskipun tak di pungkiri Anjel, lelaki yang bernama Sean ini, memang cukup tampan. Lelaki tampan dengan bola mata biru, bibir penuh dan merah, sepertinya dia bukan perokok.

Namun, karena sejak awal Anjel sudah kesal dengan sikapnya yang menyebalkan dan sombong itu, Anjel enggan mengakui, bahwa Sean adalah lelaki tampan. Sean sejenis dengan Mark, Anjel yakin sekali kalau ada darah Indonesia, di tubuh Sean, sama seperti dirinya, meskipun dia lebih menyerupai ibunya dari segi tampilan wajahnya.

“Kenapa menatapku seperti itu? Apa kamu baru sadar, kalau aku ini tampan? Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta padaku.”

Sean meledek Anjel. Tanpa basa basi Anjel menendang tulang kering Sean dan keluar dari lift.

“Aduh, dasar wanita gila!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel