Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 2

✨Come Back Home✨

"Kak Shey, naik ke punggung gue."

Aku membungkam. Cowok yang barusan menawarkan bantuan tersebut kini tengah berjongkok dan memunggungiku. Dia menepuk bahunya dua kali, menandakan bahwa aku harus naik ke sana.

"Buru Kak, entar Kak Hesa dateng malah ngelarang gue."

Aku hanya terdiam, tidak bergerak sedikit pun.

Dia berbalik dan menatapku. "Kenapa? Apa tangan lo masih sakit?"

Tanganku...? Aku rasa bukan tanganku yang sakit. Tapi kepalaku, terus-menerus berdengung.

"Tadi gue nanya dokter, katanya hari ini lo udah bisa pulang, dirawat di rumah." Dia beralih duduk di ranjang, sama sepertiku, tepatnya di sebelahku.

Dirawat di rumah? Boleh pulang? Apa aku sudah sembuh? Padahal kepalaku masih sering sakit.

"Kejadiannya gimana, sih? Sebelum lo jatuh, ada yang mencurigakan? Kayak semisal temen lo yang ngedorong, atau ada yang ngejebak lo?"

Jatuh? Dorong? Ngejebak? Aku tidak mengerti sama sekali. Bahkan ingatanku tidak ada yang menuju ke sana.

Dia memusatkan pandangannya ke arahku. Aku berubah kikuk sebab ditatap sebegitu intens oleh seorang cowok tak dikenal.

"Kalau ada apa-apa lo boleh cerita sama gue, gue siap ngelindungin lo dimanapun dan kapanpun. Jangan ragu sama gue, gue bisa datang kapan aja lo mau."

Ucapannya itu membuatku sedikit tersentuh, ditambah sorot matanya yang amat serius, seakan aku akan terhanyut di dalamnya.

Padahal bila dilihat ... dia begitu imut dengan tubuhnya yang mungil. Dan juga dia memanggilku 'Kak'. Tapi sikapnya terlihat begitu gentle.

Selanjutnya kami hanya berdiam diri, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sampai pintu inap dibuka dan datanglah segerombol cowok kemarin.

Bila diingat-ingat, aku benar-benar tidak mengenal mereka. Semalaman aku berpikir keras, menggali segala hal yang telah kulupakan, namun bukannya mendapat ingatan tersebut, kepalaku dipenuhi rasa sakit yang mendalam.

Sebenarnya ... apa yang terjadi?

Mereka semua berjalan ke arahku dan mengerubungiku.

"Ngapain lo di sini, ha?"

"Suka-suka gue. Semalam gue nggak sempet jenguk Kak Sheya, salah gue di sini?"

"Administrasinya udah diurus, belum?" Cowok berwajah asing lainnya bertanya, sedari kemarin ia tidak ada di sini.

"Lagi diurus Kak Hesa sama Kak Gian."

Dia mengangguk kemudian mendekatiku. Kupikir dia akan mengucapkan sesuatu, namun aku salah, dia hanya menatapku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Wajahnya tidak menunjuk ekspresi apapun. Hanya ... datar.

Aku tidak tahu seberapa banyak cowok yang menjengukku sejak kemarin, rasanya wajah mereka setiap hari berganti.

"Lo udah bisa dibawa ke mobil. Sini gue bantuin." Cowok yang kuingat bernama Azka menjulurkan tangan ingin membantuku, tetapi aku tidak bisa menerimanya dan memilih diam membatu. Tetapi tanpa disangka, dia malah menggenggam tanganku tanpa izin.

Aku terkesiap. Lantas kutepis lengannya kencang sampai terhempas jauh, terkejut dengan aksinya yang tiba-tiba. Kuusap lenganku yang ia sentuh ke baju, bermaksud menghilangkan jejaknya. Dia juga sepertinya terkejut akan responku, terbukti dari wajahnya yang menatapku penuh tanda tanya.

"Kenapa, Shey? Gue mau bantuin lo."

Rautku berubah kaku, aku menggeleng sebagai tanda penolakan.

Sebelum cowok lain menawar bantuan, aku turun dari ranjang menggunakan kekuatanku sendiri. Dan—berhasil tanpa celah. Aku mulai berjalan keluar ruangan tanpa bantuan seorang pun. Ya, memang benar. Aku tidak membutuhkan mereka, orang yang sama sekali tidak ada dalam ingatanku. Siapa tau mereka adalah orang asing yang memiliki niat jahat terhadapku? Benar, kan? Jaman sekarang tidak ada yang tidak mungkin.

"Shey."

Aku mendongak, cowok putih bernama Varo mendekat, berniat memapahku, tetapi aku lebih dulu menggeleng. Tanpa mengucap apapun, aku beranjak meninggalkan mereka yang kira-kira berjumlah empat.

"Dia kenapa, sih?" Saat aku masih tidak terlalu jauh dari ruangan, aku dapat mendengar salah satu dari mereka—sepertinya Varo—bersuara. Kemudian disusul suara lainnya.

"Dia marah sama lo doang. Sheya gue mana mungkin marah. Jelas dia lagi badmood."

"Halah, buktinya aja dia nggak mau natep lo."

Aku menahan napas. Apa yang dikatakan mereka tidak dapat kumengerti. Aku tidak dapat mengingat satu pun momen kejadian yang pernah kualami. Bagaimana bisa mereka meritikiku di belakang? Padahal aku sendiri tidak tau caranya bersikap kepada mereka.

Daripada pusing memikirkan hal-hal yang tak kumengerti, lebih baik aku pergi saja.

Langkah kaki membawaku menuju taman. Pandanganku meluas menyusuri setiap sudut taman. Banyak bunga tumbuh mekar di sekitar, berwarna-warni dan terlihat segar, sepertinya tengah musim semi.

Dibanding itu, tetap saja hatiku tidak tenang.

Siapa aku? Dimana aku? Mengapa aku...? Bagaimana aku...?

Kata-kata itu terus terngiang dalam benak. Berputar-putar hingga rasanya aku ingin berteriak keras.

"Loh? Kenapa di sini? Zino nggak bawa kamu ke mobil?"

Aku menoleh. Seseorang yang paling membuatku nyaman mendekat. Ya, hanya dia yang sanggup membuatku sedikit tenang.

"Kenapa? Apa kamu masih sakit? Mau dirawat di rumah sakit lagi?" Dia mendekat dan mengusap puncak kepalaku.

Aku menggeleng. Hanya dia yang bisa membuatku merespons. Sementara yang lain cuma bisa membuatku tidak nyaman maupun risih.

"Kalau gitu sini Kakak bantu."

Aku melihat tangannya terjulur, bermaksud membantuku berjalan. Sepertinya kali ini aku tidak bisa bertindak acuh. Tanpa kusadari tanganku sudah menerima juluran tersebut. Kami mulai berjalan menyusuri koridor rumah sakit, menuju pintu keluar. Di persimpangan lobi, kumpulan cowok di ruang inap tadi tampak menunggu kami.

"Dasar, tiba sama Kak Hesa baru mau," cibir Varo.

Kak Hesa? Ah ... akhirnya aku tau nama cowok yang membuatku nyaman. Hesa!

Kami melanjutkan langkah menuju parkiran. Hingga aku dibawa masuk ke dalam sebuah mobil.

Setiba duduk di dalam dapat kulihat cowok bernama Gian duduk di bagian kemudi dan satu cowok lagi yang tidak kuketahui namanya—berwajah datar—duduk di sebelahnya, sementara aku duduk di jok belakang. Hesa dan satunya lagi—yang memanggilku Kak—ikut masuk ke dalam mobil. Azka dan Varo tidak tau kemana.

Mobil mulai dijalankan. Aku tidak tau mereka mau membawaku kemana. Tetapi aku merasa sedikit tenang karena Hesa bersamaku.

"Masih pusing?" tanya Hesa.

Aku mengangguk kecil. Tidak berbohong, pusing memang masih melanda kepalaku.

"Kalau ngantuk kamu boleh tidur, nanti nyampe rumah Kakak banguni."

Tidur? Aku tersenyum tipis sebagai respons. Walau begitu aku tidak mau menuruti. Jika aku tidur maka aku tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya. Ini masih dikelilingi empat cowok asing!

Aku membuang muka dan melihat ke arah jendela, setahuku keberadaanku sekarang adalah kota Jakarta. Terbukti dari spanduk besar yang terpampang di tengah jalan, menyatakan ‘Jakarta is love more’.

Apa aku tinggal di Jakarta? Benarkah?

Dalam perjalanan hanya ada keheningan, tidak ada yang berniat membuka percakapan, apalagi aku, lebih memilih memperhatikan jalanan. Dua puluh menit berlalu, hingga mobil memasuki sebuah pekarangan rumah mewah.

Aku terpukau melihat rumah tersebut. Menakjubkan. Baru kali ini aku melihat rumah semewah ini secara nyata. Selama ini rasanya seperti mimpi. Mobil berhenti tepat di parkiran depan.

"Riki, bukain pintu buat Sheya dari luar," titah Hesa pada cowok mungil yang memanggilku 'Kak'.

Ah, jadi namanya Riki.

Riki langsung keluar, diikuti yang lainnya, meninggalkan aku dan Hesa di dalam.

"Ayo turun." Hesa mengajakku turun. Pintu telah dibukakan oleh Riki. Cowok itu tersenyum manis, mempersilakan aku turun.

"Welcome, Shey."

Perlahan aku keluar dari pintu mobil, teramat kikuk sebab Riki terus mengembangkan senyum. Dengan lekas aku mengikuti Hesa.

Saat berjalan ingin memasuki pintu utama, kepalaku terdongak, melihat betapa megahnya rumah ini. Berlantai empat dan halamannya begitu luas.

"Gue tinggal di sini?" ucapku, spontan.

Hesa terkejut, melihat diriku yang untuk pertama kalinya mengeluarkan suara sejak bangun dari koma. Aku juga terkejut akan spontanitasku. Baru kali ini aku mendengar suaraku secara langsung.

"Iya, kamu tinggal di sini. Masa lupa?"

Aku tersenyum sebagai respons, kemudian mengikuti langkahnya yang memasuki rumah mewah itu. Sesampai di dalam, kulihat cowok yang kemarin mengenakan hoodie biru berdiri kesal. Siapa namanya? Kee-nan?

Ia berdelik sinis padaku. "Cih."

Dahiku bergelombang, bingung. Baru pertama jumpa sudah menciptakan kesan buruk.

Mengabaikannya, aku mengikuti tuntunan Hesa, yaitu duduk di sofa bersama Riki dan seorang cowok berwajah datar, belum tau namanya. Sementara Gian, tadi kulihat ia langsung pergi ke lantai atas.

"Muka lo kenapa kayak kebingungan gitu?" Riki berceletuk.

Aku membungkam. Entah bagaimana raut wajahku sekarang, kuakui aku begitu kikuk.

"Zino, ambilin minum untuk Sheya," pinta Hesa pada cowok berwajah datar itu.

Oh, si datar ... Zino!

Aku belum mengetahui nama mereka lebih pasti, kalau begitu aku harus mencari tau nanti.

"Kak, gue mau ke kamar," ujarku tiba-tiba pada Hesa.

Riki tampak terkejut melihatku. Sementara satunya lagi hanya melirikku datar.

Ada jeda di antara kami, aku tidak tau apa yang terjadi? Hingga aku bangkit berdiri, menatap Hesa agar ia peka bahwa aku membutuhkan seseorang sebagai 'penunjuk jalan'.

"Oke, sini Kakak bantu." Hesa tersadar maksudku. Ia ikut bangkit, menggenggam lenganku lalu berjalan memimpin langkah.

Pandanganku tertuju pada genggaman tersebut. Hangat. Satu kata yang mendeskripsikan lengan dan hatiku. Kami mulai berjalan menyusuri koridor super mewah nan luas. Sebetulnya aku tidak tau dimana dan yang mana kamarku. Jelas saja. Aku tidak tau ini rumah siapa dan mengapa sangat luas?

"Kamu istirahat ya. Nanti malem kita ada pesta, tapi kamu nggak boleh ikut karena masih belum stabil."

"Pesta? Pesta apa?" tanyaku dalam hati.

Kami masih mengelilingi koridor, aku heran karena belum sampai juga, hingga langkah kami berhenti di sebuah pintu kamar berwarna merah muda, Hesa membuka dan membawaku masuk.

"Kalau kamu butuh sesuatu, bilang sama Zino, Gian, atau Riki. Jangan minta sama Varo, Azka atau Keenan. Kakak kuliah sekaligus kerja jadi jarang ada di rumah. Istirahat yang bener." Dia mengusap kepalaku dengan senyum menawannya.

Aku mengangguk.

Hesa berjalan keluar kamar, hilang di balik tembok. Dalam beberapa detik aku termenung, di detik selanjutnya aku tersadar dan segera mengunci pintu kamar.

Kuedarkan pandangan ke seisi kamar. Woah.

Menakjubkan.

Luasnya bisa dibilang seperti rumah sewa, perabotannya terlihat mahal. Yang menarik perhatianku adalah ranjangnya, berkasur pink serta bergambar hello kitty. Tidak hanya itu, dindingnya juga berwarna merah muda.

What the hell?—

Ini kamarku? Apa ini seleraku? Sungguh?

Aku merasa diriku sekarang bukanlah diriku sesungguhnya.

Sebenarnya—apa yang terjadi?

Apa aku mengidap amnesia? Bila iya, maka orang-orang itu pasti akan memberitahu, atau setidaknya menuntunku lebih baik, namun mereka tampak biasa saja seperti aku tidak mengalami apapun.

Lalu ... apa yang terjadi padaku?

••••••••••••••••••••••••••••••••••

Aku membuka pintu kamar secara perlahan, kusembulkan kepala melihat keadaan sekitar.

Sepi.

Satu kata yang mendeskripsikan suasana sekarang.

"Kayaknya lagi pergi semua," batinku. Lantas aku keluar dari kamar dan celingukan.

Apa yang ingin kulakukan? Aku kebelet pipis, dan aku berencana mencari kamar mandi atau toilet. Ini salah? Tentu saja tidak. Perlahan aku keluar, kakiku mulai melangkah tak tentu arah.

Demi apa, rumah ini sangat mewah! Aku tidak tau apa-apa mengenai denah maupun tata letak. Banyak koridor dan juga pintu, apa aku harus membuka setiap pintu? Sungguh, rumah ini teramat besar untukku.

Bagaimana, dong? Aku harus apa?

Sekelompok wanita yang sepertinya pelayan menyadari keberadaanku. Mereka mendekat dan menunduk sebagai hormat.

"Ada apa Nona Sheya?"

Aku merasa tidak enak melihat raut mereka yang kikuk dan ... ketakutan?

Apa aku semenakutkan itu?

"Ergh ...."

Haruskah aku bertanya dimana kamar mandi?

Tidak! Mereka akan curiga.

"Eum ... nggak ada, Bi." Aku memilih berjalan sendiri ke belokan koridor lain, bergegas menjauh. Tidak mungkin aku bertanya pada pelayan sementara aku notabene pemilik rumah.

Tunggu!

Seenaknya saja aku berkata pemilik rumah, mengenali diriku sendiri saja tidak bisa. Bagaimana mungkin aku mengatakan pemilik rumah? Eh, tapi, aku merasa begitu sebab pelayan tadi menyebutku dengan sebutan 'nona'. Itu artinya aku adalah tuan rumah, benar begitu?

Kakiku melangkah tanpa arah, hanya mengandalkan kata hati, hingga sampai pada sebuah ruangan berkaca, aku masuk lebih lanjut, rupanya kolam renang. Aku keluar dan mencari lagi.

Tanpa kuketahui aku malah memasuki ruang menonton. Di sana, terdapat Varo, Azka dan juga cowok yang kuyakini bernama Keenan ... mungkin.

Aku ingin pergi, tetapi—

"Shey! Lo mau nonton juga? Ayo sini!"

Terlambat.

Aku membatu di tempat.

Cowok bernama Varo menghampiriku lalu menarikku paksa.

"Nggak usah taat banget. Kak Hesa juga nggak bakal tau. Ayo kita nonton film biru kayak kemarin."

Film biru? Mataku melotot tak percaya. Dia terus menarikku, padahal aku sudah mencoba melawan.

Dia mendudukkanku di tengah-tengah sofa, atau lebih tepatnya duduk di antara mereka, dimana dia di sebelah kanan dan Azka di sebelah kiri.

"Nan, puter filmnya."

"Males ah, entar kena marah Kak Gian."

"Ck, dia kan nggak tau."

"Tetep aja nggak mau."

Aku melihat cowok itu memasang wajah ogah-ogahan.

"Azka." Varo beralih menatap cowok di sebelah kiriku. "Cepet putar."

Azka terdiam dalam beberapa saat, kemudian tersenyum miring sambil melirik ke arahku. "Sheya gue biasanya cerewet dan manis, tapi sekarang jadi pendiem. Mungkin kalau nonton film itu bakal balik lagi?" Dia bangkit dan bersiap memutar film biru.

Ha? Mereka ini gila?! Astaga. Siapa pun tolong aku. Lagipula, film biru? Kami akan menonton film biru?! Aku? Bersama tiga cowok ini? Yang benar saja!

Aku masih waras!

Otakku langsung berputar keras memikirkan cara keluar dari situasi ini. Apalagi perutku sudah tidak kuat menahan kebelet.

Lama berpikir, hingga satu hal terbesit dalam benakku.

"Kak Gian!"

Sontak Varo menoleh pada pintu sambil memasang wajah panik.

"Kak Gian? Mana Kak Gian?" celetuk Varo.

"Ergh ... sebenernya tadi gue disuruh ambil minum sama Kak Gian," jawabku ngawur.

"Ha? Gian nyuruh lo?" Azka menaikkan alis. Raut mereka seolah mengatakan bahwa itu adalah hal mustahil.

"I-itu, tadi gue sekalian mau ambil minum juga."

Mereka terbungkam, memikirkan ucapanku apakah benar atau tidak.

"Tetep aja nggak mungkin Kak Gian nyuruh lo." Keenan menimpali.

"Ah, gue tau nih, lo bohong ya?" tuding Varo, dia menunjukku menggunakan telunjuk sambil memicingkan mata.

"Bu-bukan gitu. Gue—gue...."

"Kayaknya Sheya udah balik lagi, dia udah bisa bohong." Azka tersenyum miring, bertos-ria bersama Varo dan Keenan.

Aku terpelongo melihat respons mereka.

"Tenang aja, Shey, kita nggak bakal aduin lo ke Kak Gian, Kak Zino bahkan Kak Hesa sekalipun. Kan yang ngajarin lo nakal itu kita." Varo menaik-turunkan alis, tersenyum menggoda ke arahku. Aku hanya bisa melongo tak percaya akan apa yang kusaksikan.

"Nggak pengen nonton?" tanya Keenan. Entah mengapa terdengar songong.

Aku langsung mengangguk cepat. "Iya! Gue lagi nggak pengen."

Lagi nggak pengen? Apa-apaan kalimatku itu!

"Harusnya bilang dari tadi dong, nggak usah sok bohong. Malah pake nama Kak Gian lagi." Varo bersidekap dan menyandarkan punggungnya di sofa.

"Oh iya, entar malem ada pesta. Lo ikutan nggak?" Azka menatapku.

"Ka-kata Kak Hesa, gue nggak boleh ikut, harus istirahat," alibiku.

"Mana boleh. Lo harus ikut! Kan udah sembuh. Kita harus seneng-seneng lah, Shey."

Aku kembali panik. Bagaimana caranya aku keluar dari keadaan ini?

"Lo bisa bujuk Kak Hesa biar ikut. Cuma lo yang bisa nakhlukin hatinya," bisik Varo.

"Gu-gue kebelet pipis! Gue ke toilet bentar." Aku bangkit lalu berlari mencapai pintu sebelum salah satu dari mereka menarikku lagi.

Apa-apaan mereka itu? Menyebalkan sekali, pura-pura sok dekat!

Aku kembali melangkah, ingin mencari kamar mandi. Rasanya perutku mengembang akibat dipenuni cairan. Aku terus mencari, dan malah tersesat untuk kesekian kali. Sepertinya aku berada di dapur.

"Ngapain?"

Celetukan mendadak itu membuatku terlonjak kaget. Aku berteriak tertahan saking terkejutnya. Kuusap dada dan menatap sesosok yang berdiri menjulang di depanku.

Si datar? En-zino?

"Ngapain?" tanyanya, lagi.

Wajahnya sangat tenang, tidak memiliki ekspresi sama sekali.

"Ergh ... gu-gue kebelet pipis."

Dia menaikkan satu alis ke atas, membuatku bertambah kikuk.

"Kenapa ke sini? Di kamar lo juga ada toilet."

"A-apa?" seruku spontan. Ja-jadi sedaritadi aku seperti orang bodoh yang mencari kamar mandi sementara di kamarku sendiri ada?!

Melihat responku yang sangat terkejut, dia tampak kebingungan. Jelas bingung, aku terlihat bak orang asing di matanya.

Refleks aku menutup mulut, lalu beralasan. "Ah! Sebenernya tadi gue mau ambil air minum juga, sekalian ke dapur, sekalian ke toilet."

"Tapi di kamar lo udah disediain air."

"Ha?" Aku kembali terpelongo. Sedetik kemudian aku berusaha menetralkan raut wajah. "Ma-maksud gue mau ambil susu."

Sebelum ditanya lebih lanjut, aku langsung berjalan meninggalkannya dan mendekati kulkas. Kubuka kulkas yang memiliki dua pintu itu. Seketika aku takjub melihat isi dalamnya.

"Woah," seruku tanpa sadar.

"Woah apa?"

Aku tersentak, cowok tak berekspresi itu kini berdiri tepat di belakangku.

"Bikin kaget tau nggak!" teriakku.

"Lo aneh."

Dadaku kembang-kempis. "Emang kenapa kalau gue aneh? Masalah buat lo? Hah?!"

"...."

Aku memicingkan mata, kemudian berlari menuju kamarku berada.

Kalian yang aneh!

Kalian semua!

Menyebalkan!

Berlari menaiki tangga, aku menyusuri koridor mewah itu hingga tak sengaja berpapasan dengan Gian. Tidak mau terlihat seperti orang kehilangan arah lagi, alhasil aku mengabaikan dia dan mengencangkan laju lari menuju kamar.

"Shey!" panggilnya, namun aku tidak menggubris dan terus berlari.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel