Chapter 2: Terbukanya Mata Batin
Hari ini hari kamis, hari yg tidak akan bisa aku lupakan. Sebelum pergi ke sekolah, kepalaku sudah sangat pusing. Mataku terasa berat dan sakit tapi tidak memerah seperti orang sakit mata. Diriku terlihat normal sampai temanku berpikir bahwa aku hanya pura-pura sakit. Saat jam istirahat, aku makin sempoyongan dan memilih untuk tetap berada dikelas. Walaupun aku sangat lapar, aku tidak punya keberanian untuk meminta tolong pada orang dikelasku yg ingin ke kantin dan menitip makanan. Mereka semua tidak suka padaku, mungkin karena aku adalah orang yg sangat tertutup.
Sejak aku di sekolah dasar, kepercayaanku pada orang-orang sudah lenyap. Aku tidak mau lagi berteman terlalu akrab dengan siapapun, aku tidak mau ditipu untuk yg kedua kalinya. Lebih baik diam dan merasa tenang daripada banyak bicara tapi tak ada yg benar-benar tulus. Dunia penuh kebohongan dan Truth itu tidak ada. Selama ini aku hanya fokus belajar saat disekolah. Yah, walaupun tidak jadi juara kelas yg pertama, aku tetap bertekad untuk selalu masuk 3 besar. Itu semua agar aku tidak memerlukan bantuan orang lain. Aku bahkan masuk setiap hari dan menjadi murid dgn absen paling bersih agar tak ketinggalan pelajaran, agar aku tidak perlu meminjam catatan orang lain, agar aku tidak perlu menyontek dan lain-lain.
Tapi hari ini, aku sadar bahwa sehebat apapun kita, pada akhirnya manusia tidak bisa hidup sendiri. Aku butuh bantuan, tubuhku sangat lemah dan rasanya aku mau muntah. Aku tau tak ada apapun untuk aku muntahkan tapi aku benar-benar mual. Mataku tambah sakit dan perih, bibirku kering dan pecah-pecah. Tidak ada pilihan lain, aku terpaksa harus meminta tolong pada salah satu teman sekelasku.
"Lydia, bisa bantu aku ke toilet?" Ucapku lirih kepada gadis yg duduk dibangku depanku. Dia sedang mengobrol dengan teman-temannya, dan percakapan mereka berhenti. Mereka menatapku dengan tatapan seolah merendahkan.
"A-apa? Apa aku tidak salah dengar?" Jawab Lydia. Dan beberapa detik kemudian teman-temannya yg lain mulai menertawaiku. Aku tau, ini memang lucu bagi mereka, tapi aku benar-benar butuh butuh seseorang utk membopongku ke toilet karna kepalaku sangat pusing.
"Aku mohon, bantu aku. Lydia." Ucapku sekali lagi dan memegang tangannya. Mereka tiba-tiba menghentikan tawanya dan mendegus ke arahku.
"Apa-apaan sih… Dasar cari perhatian. Ayo kita pergi saja..." Ujar teman-temannya. Lydia terlihat kebingungan, aku tau dia anak yg baik. Tapi gengsinya sangat tinggi. Aku kembali menarik tangannya saat ia hendak berdiri untuk meninggalkanku.
"Lydia, aku mohon. Aku tidak punya tenaga untuk melakukannya sendiri, sekali ini saja. Aku tidak akan meminta bantuanmu lagi setelah ini." Bujukku dgn wajah yg memelas, aku tak peduli lagi dengan tatapan sinis dari teman dibelakangnya.
"Tidak perlu Lydia, dia hanya pura-pura. Seorang Olivia yg sombong mau minta bantuan sekedar ke toilet? Aku yakin dia punya maksud tertentu. Coba kau lihat, dia terlihat baik-baik saja, wajahnya tidak pucat sama sekali." Ucap salah satu temannya.
" Sumpah aku benar-benar sakit dan aku tidak punya maksud jahat. Jika aku sanggup aku tidak akan meminta bantuan kalian. Tolonglah, hanya ke toilet saja." Bujukku sekali lagi.
Lydia menurunkan alisnya dan berpikir sejenak. Ia menepis tanganku dan berdiri. "Ba-baiklah, aku hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar sakit." Ucapnya kepada teman-temannya. Dia sedikit membuang muka saat menatapku.
"Kau yakin? Dia ini pasti pura-pura..." Sahut temannya.
"Ini yg pertama dan terakhir aku membantunya. Dan aku akan memastikannya sendiri apakah dia benar-benar sakit atau tidak." Ucap Lydia. “Ayo cepat..”
Aku tersenyum tipis ke arahnya dan dia membantuku berjalan. Ia membopongku dengan pelan menuju ke toilet. Sedangkan teman-temannya yg lain hanya menggelengkan kepala dan menatap sinis ke arahku.
***
Aku memuntahkan semua yg bisa aku keluarkan, yg hanya berupa air. Setidaknya sampai rasa mualku hilang. Lydia berdiri diambang pintu toilet dengan tangan yg disilangkan. "Via lama sekali sih!" Teriaknya yg mulai bosan menunggu.
"Iya, sebentar lagi." Jawabku lirih dari dalam toilet. Aku bisa mendengar Lydia menghentak-hentakan kakinya.
Aku menatap cermin, ku lihat kantung mataku tebal dan menghitam. Seperti orang yg tidak tidur semalaman. Aku yakin, terakhir kali aku bercermin saat masuk ke toilet tidak ada kantung mata sehitam ini. Aku tidur teratur. Wajahku tiba-tiba memucat dan aku terlihat seperti orang dehidrasi. Aku benar-benar berantakan. Segera aku merapikan rambutku dan seragamku lagi.
Saat aku hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba terdengar suara melengking entah dari mana. Suara itu benar-benar berisik dan memekakkan telinga. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan dan meringkuk selama beberapa detik sampai suara itu menghilang. Aku sempat berteriak sehingga Lydia mengetuk-ngetuk pintu toiletku.
"Olivia ada apa? Buka pintunya?!" Teriaknya. Aku masih sibuk melindungi telingaku dari suara aneh itu. Suaranya seperti engsel pintu rusak yg diseret dan deret pintu yg dibuka. Kepalaku benar-benar sakit dan aku hanya bisa menutup rapat mataku. Saat suaranya menghilang, aku menghela nafas lega dan langsung berdiri. Aku sadar Lydia beberapa kali menggedor-gedor pintuku dan aku segera membukanya.
"Apa yg terjadi? Kenapa kau berteriak?!" Ucap Lydia, telihat lebih panik dariku.
"Kau dengar tadi? Suara aneh itu? Kau dengarkan?" Tanyaku tergesa-gesa.
Lydia mengeryitkan dahi dan menggelengkan kepala. "Aku tidak mendengar apapun selain teriakanmu. Ada apa? Kenapa wajahmu tiba-tiba jadi sepucat ini? Tadi kau terlihat baik-baik saja." Ucapnya cemas.
Aku tersentak dan termenung sejenak. Memikirkan hal apa yg barusan terjadi padaku. Kenapa hanya aku yg mendengarnya? Suara apa itu? Apa aku benar-benar mendengarnya atau itu hanyalah halusinasiku? Lydia menepuk pundakku dan aku tersadar dari lamunanku.
"Ti-tidak, tidak ada. Aku hanya, hampir tergelincir." Ucapku, sedikit terkekeh. Lydia mendengus dan mendorong kecil tubuhku. Dia terlihat jengkel dan mem-poutkan mulutnya.
"Menyebalkan." Keluhnya dan berjalan keluar dari toilet dgn hentakan kaki yg kuat.
Aku ingin menyusulnya tapi aku teringat sesuatu, aku meninggalkan jepit rambutku di wastafel, itu adalah hadiah dari Ibu saat aku berumur 6 tahun. Saat aku membuka pintu toilet, saat itu juga kakiku terasa keram, jantungku berdegup kencang, mataku melotot dan tubuhku gemetar dipenuhi dengan rasa ketakutan yg luar biasa. Aku melihatnya.
Seorang wanita dengan rambut panjang berantakan sampai menyentuh lantai, dia sedang bermain dengan jepit rambutku. Pakaiannya putih tapi kotor dgn banyak bercak darah yg kering. Bisa dibilang kepalanya hampir seperti lempengan, kurus dan menjulang ke atas, kulitnya berwarna kebiru-biruan dengan kuku-kuku hitam yg panjang dan berkerut, matanya hitam, serba hitam dan besar seperti lorong yg gelap gulita dan menakutkan, dia tersenyum saat aku memergoki dirinya.
Saat itu juga aku langsung pingsan. Ketika dia tersenyum lebar kearahku, gigi-gigi tajam dan runcing miliknya keluar, garis senyumnya sangat lebar mencapai ujung mata, garis senyumnya itu mengeluarkan banyak darah gelap seolah mulutnya barusan dirobek oleh pisau tajam. Giginya sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk. Terlihat menjijikan dan sangat mengerikan. Suaraku tak bisa keluar saking takutnya, mulutku benar-benar terkatup rapat. Dan aku hanya bisa pingsan.
Lydia yg menyadari diriku tak kunjung keluar dari toilet merasa tambah jengkel dan menghampiriku. Makhluk itu tak bisa dilihat olehnya. Lydia terkejut saat melihatku tergeletak di lantai toilet yg dingin dan basah. Dia menepuk pipiku beberapa kali untuk membangunkanku.
"Olivia bangun, hey bangunlah! Apa yg terjadi?!” Teriaknya. “Oh tidak..”
Aku bisa mendengarnya. Tapi aku masih berada di alam bawah sadarku. Dia berlari dan mencari bantuan untukku.
