Lemah
"Jangan takut, aku bisa membuat pengecualian untukmu," ucap Larry sambil mendongakkan kepala nyonya Zhang.
"Cuuiihh ... Lebih baik aku mati daripada aku mendapatkan belas kasihan dari penghianat seperti dirimu," ucap nyonya Zhang tegas.
"Kita bisa memulai segalanya dari awal lagi, aku akan menerima putramu," rayu Larry pada nyonya Zhang.
"Jika aku mau menjadi istrimu, itu artinya kau siap untuk mati di—tanganku," ucap nyonya Zhang.
"Kau tahu benar seperti apa perasaanku padamu, ini kesempatan terakhir jadilah istriku yang penurut, seperti dirimu selama ini," pinta Larry masih belum menyerah.
"Daripada aku harus mengkhianati suamiku, lebih baik bunuh saja aku!" Teriak nyonya Zhang dengan penuh kekesalan.
Mata Larry mulai memerah dan berkaca-kaca.
"Kau benar-benar masih beranimenolakku?" uajrcap Larry sambil memegangi wajah nyonya Zhang. Nyonya Zhang enggan menatap Larry dan memalingkan wajahnya.
"Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran mu, bahkan saat seperti ini pun kau masih tetap keras kepala." Kesal Larry.
"Baiklah jika itu maumu, apa yang kau minta maka itulah yang akan kau dapatkan," ucap Larry sambil berdiri dan berbalik hendak meninggalkan nyonya Zhang.
"Habisi dia dengan sekali tembakan, jangan buat dia menahan sakit terlalu lama." Perintah Larry pada para pria bermasker dan bermata tajam itu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan, Larry meremas erat tangannya, hatinya begitu sakit atas penolakan yang kembali dia dapatkan dari Jian Tian, istri Zhang Fei itu.
Peluru itu menembus dada nyonya Zhang dan langsung mengenai jantungnya dan tembus sampai dibagian belakang tubuhnya. Seketika peluru itu menghentikan detak jantungnya dan membuatnya terlempar kedalam kolam ikan hias yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Periksa apa didalam rumah masih ada orang lain, jika ada segera habisi mereka," titah pemimpin kelompok itu.
"Ingat jangan sisakan seorang—pun yang berasal dari rumah ini untuk hidup," ucap salah seorang dari mereka lagi.
Mereka langsung berlarian memeriksa kedalam rumah setelah tidak menemukan siapapun, mereka segera pergi dari tempat itu.
Yixing lelah berdiri dan merasa kakinya mulai kesemutan, kemudian telinganya mulai sakit karena suara musik yang disetel ibunya pun terlalu keras Yixing pun membuka earphone-nya, dan mengusap telinganya sejenak. Beberapa saat kemudian Yixing membalikkan tubuhnya dan keluar dari semak-semak.
Betapa terkejutnya Yixing ketika menemukan semua orang tergeletak bersimbah darah dimana-mana, Yixing benar-benar ketakutan melihat ceceran darah dimana-mana, Yixing mulai mulai mencari keberadaan ibunya.
"Ibu ... Ibu ..." teriak Yixing,
Yixing berjalan menyusuri rumah pandangannya tertuju pada seorang pria paruh baya itu
"Paman Ji, bangunlah. Apa yang terjadi padamu? Di mana ibu?" tanya Yixing pada pria yang sudah tidak bernyawa dengan darah segar yang masih mengalir dari tubuhnya.
Zhang Yixing mulai benar-benar ketakutan, perlahan dia melebarkan pandangannya ternyata di sana tidak hanya paman Ji tapi juga semua pelayan mengalami hal yang sama seperti yang dialami paman Ji, beberapa saat kemudian pandangan Yixing terhenti pada kolam ikan hias kesayangannya.
Zhang Yixing menelan ludah pahit, dia masih ingat betul pakaian apa yang dikenakan ibunya pagi ini. Perlahan Yixing mendekati kolam itu , di sana terlihat seseorang dengan pakaian yang sama dengan apa yang ibunya kenakan pagi ini dengan tubuh telungkup mengambang diatas kolam ikannya dengan air yang berwarna kemerahan memenuhi air di dalam kolam.
"I—iibuuu...!?" seru Yixing memekik tertahan, tubuhnya terasa begitu lemas, dadanya terasa panas dan mual karena bau darah yang tersebar dimana-mana.
Dengan hati-hati Yixing menarik tangan itu dan mulai membalik tubuhnya.
"I... Ibu..." ucap Yixing lirih dengan hati yang rasanya seperti dicabik-cabik.
"Ibuuuu...!?" teriak Yixing mendongakkan wajahnya menatap langit, Yixing menangis meronta-ronta.
Perlahan langit menggulung, dan rintik hujan mulai turun membasahi bumi yang kejam ini bagi Zhang Yixing dengan begitu derasnya. Yixing menangis terisak di samping jasad ibunya yang terlihat pucat tak bernyawa dan tubuh ibunya terasa begitu dingin. Yixing mendekap tubuh Ibunya.
Beberapa saat kemudian terngiang di telinga Yixing apa yang ibunya ucapkan diakhir-akhir pertemuan terakhir mereka sebelum ibu Yixing memintanya untuk bersembunyi. Di mana beliau meminta Yixing untuk pergi dan berlari sejauh mungkin selagi ada kesempatan.
Sesaat kemudian Yixing mencium kening ibunya untuk terakhir kalinya dan menutupi jasad ibunya dengan kain.
Dengan hati yang hancur, Yixing menatap jenazah ibunya untuk terakhir kalinya.
"Ibu, aku berjanji akan mencari orang-orang yang telah dengan keji melakukan hal seperti ini pada keluarga kita," ucap Yixing sambil menitihkan air matanya.
Beberapa saat kemudian setelah Yixing memberikan penghormatan terakhir pada ibunya dia segera pergi berlari keluar dari rumahnya dengan hati yang hancur.
Setelah keluar dari rumah itu Zhang Yixing bersembunyi disebuah rumah kosong.
"Ibu, katakan padaku ... Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Yixing sambil duduk bersimpuh.
"Ayah, di mana ayah? Apa ayah tidak tahu apa yang terjadi pada Ibu?" tanya Yixing ditengah keputusasaannya.
"Aku harus menemui ayah dan mengatakan apa yang sudah terjadi pada ibu, dan betapa kejamnya mereka pada keluarga kita, aku yakin ayah tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja," ucap Yixing seperti mendapat udara segar.
Hujan deras yang turun disertai dengan angin kencang itu membuat beberapa pohon tumbang dan kilatan petir membuat Yixing ketakutan setengah mati.
Tubuh Yixing yang mulai merasakan kedinginan memaksanya untuk mencari apapun untuk bertahan dari rasa dingin ini. Yixing mengambil beberapa kayu di dekatnya dan berusaha membuat api untuk dirinya sendiri.
Namun, siapa dia? Dia selama hanyalah tuan muda Zhang Yixing yang seumur hidupnya selalu dilayani oleh para pelayan dan dipenuhi apapun keinginannya oleh kedua orang tuanya.
Yixing kembali sedih melihat ketidakmampuannya, dia merasa gagal dan sangat bodoh. Beberapa saat kemudian Yixing mencoba memejamkan matanya, dengan harapan jika ini tidaklah nyata terjadi. Ini hanyalah sebuah ilusi mimpi. Dan segalanya masih baik baik saja seperti sedia kala saat dia terbangun nanti.
Yixing tidur melingkup memeluk dirinya sendiri sambil merasakan dingin dan kerasnya lantai yang terasa begitu nyata terasa.
Perlahan dalam ketidakberdayaannya Yixing membuka matanya perlahan, masih hangat dalam ingatan Yixing bagaimana hangatnya cinta dan kasih sayang dari ayah dan ibunya.
Setiap pelukan, kecupan, dan kata pujian yang selalu tercurahkan untuknya seketika hilang begitu saja. Dunianya musnah seketika.
'Hmm ... Bagaimana bisa dulu mereka memuji dan mengatakan jika aku adalah seorang yang sangat hebat dan berbakat? Bahkan untuk sekedar membuat api untuk menghangatkan tubuhku sendiri saja aku tidak mampu,' kesal Yixing.
'Lantas, bagaimana aku bisa melindungimu Laura? Padahal aku sudah berjanji akan melindungimu, aku berjanji suatu hari nanti akan mencarimu dimana—pun kamu berada,' ucap Yixing.
'Lihat, bertahan untuk diriku sendiri saja aku tidak mampu.'
