Kasar
Dalam kehidupannya yang sulit Yuki masih saja tetap berusaha untuk selalu bersyukur, karena dia masih di bisa mendapatkan pendidikan yang bisa dikatakan sangat baik. Saat studi tour Yuki pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri jika di luar sana ternyata sangat banyak anak terlantar yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan seperti dirinya. Jadi meskipun Yuki makan dengan nasi basi setidaknya perutnya tidak pernah kelaparan dan masih merasakan kasih sayang orang tuanya meskipun itu hanyalah drama keluarga dihadapan orang lain.
Meskipun Yuki telah merasakan perlakuan buruk kedua orangtuanya selama bertahun-tahun, tapi bukan berarti rasa sakit itu sudah tidak terasa di tubuhnya. Terkadang pukulan itu membuatnya hingga kehilangan sadarnya, si bibik pelayan terakhir yang bertahan di mansion itu dengan sabar menolong dan merawatnya. Hanya dia satu-satunya orang yang merasa iba pada keadaan Yuki.
Perlahan saat kesadarannya kembali, Yuki membuka matanya perlahan, air mata menetes di pelupuk matanya. Dia manusia biasa yang bisa mengingkari nikmat yang Tuhan berikan padanya.
'Hahaha, nikmat apa? Nikmat di siksa? Nikmat di pukuli? Bercanda anda ...' batin Yuki.
Rasa syukur itu tiba-tiba hilang ketika rasa sakit sekujur tubuhnya benar-benar membuatnya tidak bisa bergerak, namun dia masih harus melakukan perintah dari sepasang manusia yang seharusnya jadi malaikat pelindungnya. Setiap Yuki selesai mendapatkan siksaan yang membuatnya hingga kehilangan kesadarannya itu air mata Yuki selalu sulit untuk berhenti mengaliri pipinya. Dia selalu mengingat dengan jelas perkataan kedua orang tuanya yang mengatakan jika Yuki tidak pantas untuk hidup karena Yuki hanyalah pembunuh, pembunuh, dan pembunuh. Anak yang terlahir dengan kutukan, anak pembawa keburukan untuk keluarga Yamasaki, perkataan itu benar-benar menghancurkan hatinya, membuatnya kehabisan akal dan putus asa. Terkadang bahkan membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya yang tidak beruntung itu.
Sore hari di hari minggu, dimana pekerjaan si Yuki sangat padat hari itu. Hingga hari menjelang pukul enam sore tugas yang harus dia kerjakan belum usai.
"Aduh ..." keluh Yuki sambil duduk sejenak di lantai merasakan kaki dan perutnya yang sakit karena seharian ini sibuk berlalu lalang.
"Nona Yuki? Apa anda baik-baik saja nona?" tanya wanita paruh baya, satu-satunya pelayan di mansion itu.
Bik Nunik, adalah seorang pelayan wanita paruh bayah yang bekerja sebagai tukang memasak di mansion besar milik keluarga Yamasaki, karena bagaimanapun kedua orang tua Yuki tidak bisa membiarkan Yuki memasak untuk mereka. Selain tidak enak, mereka juga takut jika tiba-tiba Yuki meracuni mereka. Hanya Nunik-lah yang selalu menjadi keluarga untuk Yuki, Nunik sebenarnya memiliki alasan mengapa dia memilih bertahan di mansion terkutuk itu, yaitu karena tidak tega jika dia harus meninggalkan Yuki seorang diri. Nunik sudah bekerja sejak Yuki masih belum lahir jadi dia merasa berat jika harus meninggalkan Yuki di tempat itu sendirian. Meskipun setiap hari Nunik harus mendengarkan tangisan dari Yuki yang di perlakukan kasar oleh mereka, dia masih berusaha untuk menahannya untuk Yuki.
Katakan padaku! Siapa yang sudah melakukan ini?!" tanya Ibu Yuki dengan mata melotot sambil menunjuk noda darah itu dengan kuku-kukunya yang panjang dan di cat merah itu.
"Ibu, ta-tadi tanpa sengaja tiba-tiba hidung Yuki berdarah dan tanpa sengaja ..." ucap Yuki jujur sambil menundukkan kepalanya, dan terhenti saat melihat Ibunya terdiam.
Yuki perlahan mengangkat kepalanya dan ternyata sang Ibu terlihat bahkan lebih menyeramkan dari seorang nenek sihir dengan bibirnya yang merah menyala hampir serasi dengan warna matanya.
Melihat itu membuat Yuki pasrah dengan apa yang mungkin akan dilakukan oleh Ibunya padanya, karena tidak ada istilah masalah kecil bagi mereka untuk Yuki.
"Dasar tidak tahu diuntung! Tidak tahu diri! Pembawa sial! berani-beraninya merusak pakaian mahalku?!" tangan Ibunya langsung mendarat pada rambut Yuki, meraih rambut Yuki untuk kesekian kalinya. Entah tinggal beberapa helai tersisa.
"Ai, ada apa? Mengapa sangat berisik?" tanya Ryujin Yamasaki ayah Yuki dengan lembut.
*Ai dalam bahasa Jepang berarti Sayang/Cinta.
Ryujin Yamasaki*, ayah Yuki adalah pria yang dikenal sebagai pria yang sangat lembut, hangat dan pandai dalam berbisnis. Di hadapan semua orang, dia selalu bersikap tenang seolah-olah dia adalah dewa yang ingin selalu di puja oleh semua orang. Namun nada bicaranya akan berbeda saat berbicara dengan Yuki, hanya saat itulah dia menunjukkan wajah aslinya.
"Suamiku, lihat apa yang dilakukan oleh anak terkutuk ini. Dia merusak pakaian mahalku, aku harus mengantri panjang untuk memesannya. Dia bahkan begitu saja mengotorinya," Ibu Yuki mengadu sambil menunjuk-nunjuk Yuki dengan jari telunjuknya tepat di dahinya
“Anak sialan!" jerit Ryujin memekikkan telinga Yuki yang membuatnya hampir beranjak dari tempatnya berdiri karena terkejut.
"Apa aku terlalu baik sudah membiarkanmu tinggal di rumah mewah kami?! Apa kau sudah bosan hidup! Hah!" teriak Ryujin sambil mencekik leher Yuki dengan keras.
Ryujin mengangkatnya tinggi-tinggi, Yuki hampir kehabisan nafasnya. Bik Nunik bingung setengah mati melihatnya dan berusaha memutar otak untuk menolong nonanya itu. Beruntung telepon rumah berdering saat itu juga.
Bik Nunik mencoba menguasai dirinya dan bertingkah tenang berusaha terlihat tidak ikut campur dalam urusan tuan besarnya itu dengan Yuki.
"Permisi tuan Ryujin, tuan Haruno menelpon."
Ryujin langsung menjatuhkan tubuh gadis kecil itu ke lantai dengan kerasnya tanpa rasa iba.
"Ai, maafkan aku ... Ini mendesak ..." pamit Ryujin dengan nada lembut pada istrinya.
Ibu Yuki mengangguk dan tersenyum manis pada suaminya. Beberapa saat kemudian Ibu Yuki mendorongnya masuk ke dalam gudang dengan keras membuat wanita muda itu terjatuh dan kepalanya terbentur ke lantai, dan hendak meninggalkannya.
"Ibu, Yuki mohon jangan lakukan ini pada Yuki, Yuki takut gelap ..." keluh Yuki menahan pintu dengan tubuhnya.
"Lepaskan ... Lepaskan!" teriak Ibu Yuki.
"Katakan pada Yuki, kenapa kalian selalu memperlakukan Yuki dengan buruk seperti ini?" Yuki terisak.
."Kau bertanya padaku? Kau masih bertanya kenapa? Apa perlu aku keluarkan seluruh isi kepalamu agar kau ingat dengan jelas bagaimana kau merenggut putra kami?!"
"Putra penerus keluarga ini, dengan lancangnya kau membawanya pergi dengan tidak mematuhi perintah kami?!"
"Dan kau lihat sendiri hasil dari ketidakpatuhanmu itu, kau membunuh putraku! Kau pembunuh!" jerit Ibu Yuki lagi.
"Atau kau memang sengaja melakukannya? Kau takut jika adikmu mendapatkan semua harta milik Ayahmu? Ahh, melihatmu tanpa penyesalan kau pasti sudah merencanakannya kan? Aku benar! Matilah saja kau!" ucap Ibu Yuki sambil meraih pintu dengan kuat dan mengunci pintu gudang.
Di dalam gudang Yuki terdiam mencoba mencerna setiap kata dari apaa yang Ibunya katakan.
"Bagaimana mungkin anak umur tujuh tahun sudah memiliki pikiran jahat sehebat itu? Apa otakku saat itu benar-benar melakukan apa yang dikatakan oleh Ibu?"
