2. Bayangan di Distrik Loji
Hujan deras mengguyur Kawipura, menghantam gedung pencakar langit tertinggi dan deretan rumah mungil di sepanjang Kawi Wetan. Hujan berderai-derai di kisi-kisi saluran pembuangan, mengalir turun dan mengendap membentuk rangkaian genangan di seluruh kota.
Distrik pergudangan kota paling merasakannya. Gumpalan awan menggantung selama berjam-jam setelah matahari terbenam. Cahaya terang dari klub malam di dekatnya membendung derasnya tetesan air hujan. Di distrik pergudangan Kawipura yang kegelapannya tak kunjung hilang, hujan berarti awan, yang berarti lebih banyak bayangan.
Mpaon Rimba membenci hujan. Hujan membekukan tulang-tulangnya, menghantam puncak kepalanya seperti palu godam. dan tak melewatkan kesempatan untuk menjatuhkannya ketika dia tak mendapatkan pertolongan.
Dia bisa merasakannya di sepatu ketsnya. Dia bisa merasakannya membasahi celana jinsnya yang robek.
Dia membenci hujan.
Namun, malam ini dia lebih membenci bayangan. Setiap sudut yang dilewatinya, setiap gang, adalah ancaman. Bayangan mengelilinginya. Mengkhianati kebutuhannya untuk bersembunyi.
Air memercik di bawah tumitnya, semakin membasahi celananya. Dia tetap maju. Gerakannya lambat, kakinya berat dan lesu. Keringatnya bercampur tetesan air hujan.
Sudah sejauh mana dia melangkah? Dia bertanya-tanya, tetapi takut melihat jalan yang telah dilaluinya. Takut pada kegelapan yang mengepungnya dari segala penjuru.
Kegelapan itu masih menghampirinya. Dia bisa merasakan napasnya di tengkuknya. Bisa mendengar tawanya yang menyeramkan mengalahkan debaran jantungnya. Dia membutuhkan pertolongan dan berada di tempat terburuk untuk menemukannya.
Distrik pergudangan itu tidak dikenal sebagai pusat aktivitas di siang hari. Sebagian besar bangunan di sekitar kompleks perumahan kecil di dekat depo kereta api telah lama ditutup atau ditinggalkan. Beberapa di antaranya direkondisi menjadi ruang kantor, tetapi tidak ada yang beroperasi di malam hari. Hanya sedikit yang melakukannya. Itu adalah aturan kota yang tak terucapkan.
"Sialan," umpatnya lirih karena rasa sakit yang menusuk perutnya.
Dia merogoh saku dan menemukan ponselnya. Ponsel sialan. Alasan dia keluar sejak awal. Gadis itu menunggu teleponnya.
“Apa pun demi seorang gadis,” Mpaon selalu berkata. Dia ingin membantu gadis itu, tetapi malah menemukan hal lain.
Sekarang dia yang butuh bantuan. Menatap layar yang retak, dia tahu pertolongan takkan datang.
Sesuatu memecah kesunyian di belakangnya dan jantungnya berhenti berdetak. Dia merunduk ke gang terdekat, berputar kembali ke jalan yang kosong.
Apakah itu dia?
Sebuah tong sampah logam menggelinding di trotoar di seberang jalan. Tutupnya yang terlepas terbanting di jalanan. Suaranya bergema, tetapi tak seorang pun di dekatnya.
"Tikus," gumamnya. "Tikus raksasa sialan. Pasti."
Tangan kirinya terlepas dari perutnya untuk pertama kalinya sejak dia berlari. Secara naluriah, dia mengulurkan tangan ke dinding bata di dekatnya untuk menopang tubuhnya yang letih. Mmemanfaatkan momen itu, membiarkan napasnya melambat dan jantungnya kembali tenang. Kepalanya tertunduk.
Ludah bercampur dengan air hujan mengalir di dagunya. Air itu jatuh ke genangan di bawahnya. Genangan air yang keruh mengalir dalam pusaran gelap dan menyebar.
Darah.
Matanya melirik tangan kirinya, melihat zat merah tua yang menetes dari ujung jarinya, menuruni dinding bata.
Darahnya.
Petir membelah langit memancarkan cahaya tipis sehingga Mpaon bisa melihat luka yang dideritanya. Penyerangnya cepat tetapi efektif. Lima luka sayatan tebal menyebar di dada dan perutnya, mengucurkan darah merah kental yang kemudian menyebar di tanah, menyusuri jalan-jalan kota agar siapa pun dapat mengikutinya.
Dia berharap ada orang baik yang akan menyelamatkannya dan membawanya ke suatu tempat yang aman. Mungkin seorang kuntilanak berambut merah yang gemar menggoda pria muda yang terluka, mengenakan sesuatu yang sedikit terbuka dan berbicara dengan logat daerah. Tidak terlalu eksotis. Mungkin Indrayu.
Tentu saja, Mpaon tahu lebih baik. Versinya tentang siapa pun yang mengikuti berarti monster itu melacak setiap gerakannya.
Bunyi tong sampah akhirnya mereda, tetapi ada sesuatu yang masih terasa aneh bagi Mpaon.
Bayangan bergeser di seberang jalan, semakin gelap. Saat petir kembali membelah langit, dia bersumpah melihat sesuatu berayun lebih jauh hingga tak terlihat. Lelaki yang terluka itu melangkah lebih dalam ke gang, meninggalkan huruf-huruf besar yang tercetak di sepanjang sisi bangunan. Sebuah nama.
Loji.
Di ujung gang, terdapat tangga darurat kebakaran yang besar.
Mpaon mencengkeram luka-lukanya erat-erat, berharap air hujan akan membantunya tetap bersih cukup lama hingga dia bisa berteduh. Harapan memang sulit diraih, tetapi itu mencegah kakinya terpeleset di trotoar. Harapan mencegah tangannya jatuh dari tangga darurat yang curam saat dia memanjat. Harapan membuatnya tetap waras.
Di lantai pertama tangga darurat kebakaran terdapat sebuah jendela besar, hancur berkeping-keping seperti banyak jendela lain yang berjejer di sepanjang jalan. Pecahan kaca berserakan di dalam bingkai tebal dan dia berhati-hati agar tidak menambah luka di tubuhnya yang babak belur. Sesaat dia merasa tak berbobot. Tubuhnya melayang di udara terbuka sebelum menghantam lantai kayu.
Mpaon melihat ruang terbuka yang luas. Sebuah ruangan membentang ratusan meter. Dia tidak tahu apa yang dulu ada di ruangan itu dan jendela kaca yang pecah telah menghilangkan bau busuk yang pernah terperangkap di dalamnya.
Laba-laba adalah penghuni utama gudang itu. Mpaon mencoba menemukan pijakannya sekali lagi, melangkah perlahan. Setiap langkah bergema keras di lantai.
Di seberang ruangan, sebuah tangga tunggal mengarah ke deretan kantor di lantai dua. Mata Mpaon melirik ke arah jendela yang pecah setiap kali petir membelah kegelapan, menunggu kesempatan untuk melihat penyerangnya, berdoa agar dia tak pernah datang.
Tidak ada siapa-siapa.
Perasaan gelisah itu tetap ada, bahkan saat dia menaiki tangga yang berderit begitu keras pada anak tangga pertama, mebuat Mpaon berpikir seluruh gedung akan runtuh. Anak tangga kedua pun sama.
Menarik napas dalam-dalam, lelaki itu menenangkan tubuhnya yang gemetar. Dia mengangkat kakinya perlahan dan meluncur di sepanjang anak tangga berikutnya. Dia menggerakkan tangannya yang bebas di sepanjang pagar dan mengangkat tubuhnya yang lelah hingga kaki kirinya menyentuh kaki kanannya.
Tidak ada suara benturan keras kali ini. Mpaon menarik napas dalam-dalam, menatap selusin anak tangga di depannya, dan terus maju.
Kantor terbesar tampaknya berada paling jauh dari tangga. Itu adalah tempat yang sempurna untuk mencari perlindungan di malam hari. Tangga itu sendiri sudah cukup memberi peringatan. Gema-gema itu merekam setiap gerakan di seluruh gedung yang telah lama terlupakan itu.
Kantor itu sendiri menyimpan semua perabotan aslinya, tidak seperti lantai utama di bawahnya. Lemari-lemari arsip yang berdebu berjajar di dinding kanan dengan meja besar yang didorong di depannya. Di seberang ruangan dari pintu, membentang deretan jendela yang pecah dan tirai yang robek.
Mpaon menutup pintu di belakangnya dan memasuki ruangan itu, bernapas lebih lega.
Dia melepas kemejanya yang basah kuyup dan memeras darah serta hujan, membasahi lantai kayu di bawahnya. Gerakan itu terasa menyiksa baginya, tetapi itu harus dilakukan.
Dia kemudian mengambil kemeja itu dan melilitkannya erat-erat di perutnya, mengikat lengan bajunya menjadi simpul.
Dia menjerit, merasakan darah mengalir dari bibirnya. Rasa sakit itu membuat lututnya lemas dan tubuhnya jatuh dengan keras. Rasa sakit itu berlanjut untuk waktu yang lama. Bercak darah segar memenuhi kemeja itu. Namun, Mpaon Rimba bertekad untuk tersenyum karena telah sampai di tempat yang aman.
Perasaan yang hanya sesaat.
Perasaan itu datang bersama angin dingin awal musim panas. Bau abu dan kematian. Bau sesuatu yang kuno.
Mata Mpaon terbuka lebar, mengamati ruangan sambil tetap melacak aromanya.
Bayangan-bayangan mengelilinginya. Bayangan yang beberapa saat sebelumnya tampak tak begitu mengancam.
Dalam kegelapan dinding kiri dekat sudut kantor, dia melihatnya. Melihat dan tahu tak ada lagi harapan baginya. Dia melihat dua titik cahaya dan tahu akhirnya telah tiba. Titik-titik itu kecil dan bulat, satu berwarna merah tua dan yang lainnya biru langit.
Mata.
"Itu kau, kan?"
Mpaon menyeru dua cahaya tak serasi yang dikelilingi bayangan. Suaranya menggema hingga ke lantai utama gedung.
"Aku bisa merasakanmu. Aku bisa mencium aroma kematian di tubuhmu."
Lututnya gemetar saat dia berjuang untuk bangkit kembali. Dia berteriak ke dalam kegelapan.
"Kau di sana, kan?"
Petir menyambar di luar. Cahaya tipis itu menampakkan sesosok di balik bayangan. Bayangan itu menjawab Mpaon dengan lembut.
"Ya."
Pria yang terluka itu menggosok pelipisnya mencoba berkonsentrasi di tengah rasa nyeri di perutnya dan denyutan di kepalanya. Dia memandang sekeliling ruangan dan melihat dengan jelas untuk pertama kalinya. Ada bekas lecet baru di lantai tempat meja awalnya diletakkan. Namun, bekas lecet itu diolesi sesuatu yang lain. Sesuatu dengan warna merah di semua sisi.
Merah darah.
"Kau membawaku ke sini," kata Mpaon pada kegelapan. Dia akhirnya mengerti bahwa pengejaran itu hanyalah untuk mengarahkannya ke momen ini. Momen terakhirnya.
"Kau menginginkanku di sini."
"Ya."
Momennya tiba. Datang dalam keheningan di antara mereka. Datang tanpa sambutan dan kemegahan, atau jeruji kebun binatang, atau sirkus yang dibayangkan Mpaon menggetarkan setiap pikirannya.
Mpaon Rimba melihat momen di hadapannya di mata makhluk yang telah memburunya sepanjang malam. Dia memikirkan ponselnya dan panggilan yang tak pernah sempat dia lakukan. Dia memikirkan gaids di ujung ponsel itu dan batu abu-abu aneh yang selalu dibawanya, dan dia tak akan pernah melihatnya lagi.
Dia memikirkan kesempatan yang hilang dan harapan palsu dalam hidup yang tak pernah benar-benar dijalani.
Dia memikirkan semua itu dalam hitungan detik sebelum berteriak dan menyerang penyerangnya dengan seluruh sisa tenaga yang tersisa. Dia meneriakkan satu-satunya pertanyaan yang ingin dia ketahui jawabnya sebelum akhir.
"Siapa kau?"
Dia memasuki bayang-bayang, tangannya menggapai ke dalam kegelapan mencari penyerangnya. Tangannya kembali kosong. Kedua mata bersinar lebih terang. Dengan satu tebasan dan teriakan mengerikan yang menggema di jalanan kosong distrik pergudangan di ujung timur kota, Mpaon Rimba bungkam untuk selamanya.
"Akulah akhir," jawab bayangan yang berdiri di atas tubuhnya yang tak bernyawa.
"Dan awal."
