
Ringkasan
Di kota Kawipura, peristiwa-peristiwa aneh bukanlah kejadian langka. misteri dan kegelapan seakan bernapas dan hidup bersama warga. Ketika serangkaian pembunuhan brutal mengguncang kota itu, reserse Hansa Pratama ditarik ke dalam penyelidikan yang menguji batas logika maupun keyakinannya. Setiap korban tampaknya terhubung melalui simbol-simbol kuno dan tanda-tanda mistis yang meninggalkan jejak menakutkan. Hansa yang skeptis pada hal gaib dipaksa bekerja sama dengan Sonne Watupirau, seorang perempuan misterius yang memiliki pengetahuan mendalam tentang mitologi kuno dan kekuatan supranatural. Dengan kemampuannya, Sonne mampu melihat bahwa pembunuhan ini bukanlah sekadar tindak kriminal, melainkan bagian dari ritual yang jauh lebih besar—sebuah panggilan bagi sesuatu yang ingin menerobos ke dunia manusia. Seiring keduanya menelusuri kota Kawipura, mereka menemukan bahwa garis tipis antara dunia nyata dan dunia mitos kian kabur. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada kebenaran tentang siapa atau apa yang bertanggung jawab, sekaligus memaksa Hansa menghadapi kenyataan pahit: masa lalunya sendiri terhubung pada peristiwa kelam yang kini bangkit kembali. Misteri Simbol Kawipura menggabungkan atmosfer gelap dengan misteri supranatural, mempertemukan penyelidik rasional dengan seorang penjaga rahasia dunia gaib. Novel ini bukan hanya kisah perburuan pelaku, melainkan juga kisah tentang takdir, warisan gelap, dan pertanyaan besar: apa yang rela dikorbankan untuk melindungi dunia dari kekuatan jahat yang tak masuk logika?
1. Daun Hangus, Batu Abadi & Senyum Terakhir
18 tahun lalu
Bocah itu sama sekali tak mendengar seruan yang ditujukan kepadanya. Suara dedaunanlah yang mengusik telinganya. Daun-daun itu retak di bawah kakinyayang kecil dan beban boneka di tangan kirinya.
Warna rambut boneka itu pirang. Dia menamainya Sarinah. Tak diragukan lagi boneka itu lucu untuk anak berusia empat tahun.
Sarinah telah menjadi temannya selama bertahun-tahun. Matanya hilang sebelah, rambut berantakan, dan tiga tambalan membuat boneka itu unik. Angin kencang Oktober yang sejuk membuka jalan bagi datangnya November yang basah.
Daun-daun terbang didorong angin, membuatnya tersenyum. Akan butuh waktu lama sebelum dia tersenyum lagi.
Dedaunan yang terbawa angin menyapu sekelilingnya. Warna jingga dan merah yang tak alami. Daun-daun ini hangus. Suara gemeretak yang berasal dari dedaunan yang tertiup angin, adalah suara api kecil yang masih membakar helai daun.
Kalaulah Sarinah bisa ketakutan, pastilah itu terjadi. tetapi dia tetap tersenyum kepada pemiliknya seperti biasa.
“Bagaimana dia selamat?”
Di belakangnya, sebuah van terbakar. Api melahap pohon yang melilitnya di sisi tikungan. Bagian depan van itu tak lebih dari dinding api dan asap. Pohon itu separuh hangus lenyap dalam sekejap.
Gadis kecil itu berdiri enam meter dari pohon tersebut. Para petugas darurat yang berada di sekitar lokasi kejadian, memasang tali di area tersebut dan berusaha membersihkan kecelakaan secepat mungkin.
Pemadam kebakaran datang terlambat, tetapi mereka bekerja cepat untuk memadamkan api yang membesar sebelum menyebar ke seluruh taman. Petugas medis di lokasi kejadian sangat minim, hanya menjadi saksi, tidak lebih.
Satu-satunya pasien hidup adalah seorang gadis kecil yang berdiri di tengah jalan dengan bonekanya, tanpa luka sedikit pun.
“Nak, siapa namamu?” tanya seorang paramedis.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menariknya menjauh dari lokasi kejadian.
Setelah memeriksa tanda-tanda vitalnya, orang-orang bergantian menawarkan kata-kata menghibur dan tangan sebagai pegangan. Tidak ada kata-kata yang terdengar. Tidak ada tangan yang digenggam. Gadis itu hanya berdiri di tempatnya, van terbakar diam-diam di belakangnya.
Perdebatan terjadi antara polisi dan Tim Medis Darurat yang kemudian berbaur dengan Pemadam Kebakaran yang tiba di lokasi kejadian setelah diizinkan lewat. Kebanyakan hampir tidak memperhatikan gadis itu.
"Dia tidak mengatakan sepatah kata pun," kata salah satu anggota Tim Medis kepada rekannya.
"Katamu orang tuanya ada di sana?" tanya temannya.
"Kelihatannya," kata orang pertama. Suaranya rendah dan dia berpaling dari gadis kecil itu. "Dua mayat. Beruntung kalau bisa mengambil DNA dari mayat-mayat itu."
"Jalannya bahkan tidak licin." Suara lain lebih jauh menjelaskan.
"Berapa kecepatannya?"
"Mereka lari dari apa?"
"Dia bahkan belum tahu kalau orang tuanya sudah tiada."
"Kasihan."
Dia mendengar kata-kata itu dengan jelas di antara suara sirene dan kekacauan tikungan di luar batas kota. Namun, semua itu tak berarti.
Dedaunan menari di hadapannya, berputar-putar di udara dengan cahaya yang takkan pernah dilihatnya lagi. Selembar kembali tertiup angin dan melesat kembali ke asalnya.
Dia menatap lokasi kecelakaan itu untuk pertama kalinya. Van itu tak dikenali lagi. Sebuah kenangan yang hangus takkan pernah melekat.
Sehelai daun jatuh di hadapannya, dan kakinya terhenti ketika sesuatu di bawah kerangka van yang hangus menarik perhatiannya.
Menyelinap di bawah garis peringatan, gadis itu bergerak seperti hantu menuju bangkai van. Tak seorang pun melihatnya.
Benda itu kecil, menempel erat di dekat roda depan van yang terbakar, mirip aspal. Sesuatu menariknya ke depan.
Dia harus memiliki benda itu. Saat itu juga.
Sarinah terlepas dari genggamannya saking gembiranya. Boneka itu menemukan tempat peristirahatan terakhirnya di antara dedaunan hangus—korban ketiga kecelakaan itu. Sepotong lain dari hidupnya lenyap begitu saja. Begitu pula sisa ingatannya.
Gadis kecil itu tak peduli. Dia berlari, berjongkok di bawah van yang terbakar. Tangan kecilnya meraih benda itu dan mengangkatnya agar dia bisa melihatnya lebih jelas. Benda itu terasa dingin saat disentuh, bahkan di tengah api yang mengelilinginya. Dia belum pernah melihatnya sebelumnya.
Benda itu kecil bundar, dengan permukaan halus di semua sisinya.
Gadis kecil itu membolak-baliknya dengan mata terbelalak, seperti ada sesuatu di permukaan benda itu. Dia memegangnya di depan matanya sekali lagi.
Sebuah batu abu-abu yang sangat sederhana.
***
4 Tahun Lalu
Hansa Pratama merasakan setiap lekukan dan retakan di trotoar melalui sol sepatunya yang usang begitu keluar dari toko swalayan di Tawang Alun. Di ujung jalan, dia menatap lalu lintas malam yang ramai dari jalan tol menuju area Para Raja, tempat apartemennya berada.
Nama-nama jalan, pintu keluar, dan usaha terpampang di rambu-rambu, papan reklame, dan taksi. Rambu-rambu itulah satu-satunya cara dia bisa bertahan hidup di kota itu. Bahkan setelah tinggal di Kawipura selama enam tahun terakhir, Hansa masih sering berputar-putar kebingungan di tengah labirin pusat kota.
"Memang dirancang seperti itu," Saras selalu berkata sambil tersenyum ketika melihat wajahnya yang kusut, cemberut karena terlambat lagi setelah naik kereta jalur D stasiun Ujung Wetan, alih-alih jalur A.
Jalan itu mengalir ke pusat kota bagai labirin, dengan segudang belokan buntu dan selusin jalan setapak yang langsung menuju menara hitam berkilau yang berdiri di pusat kota.
"Ayo kita pindah ke sana," kata Hansa bercanda. "Kita tak akan pernah tersesat."
Saras tak pernah menjawab leluconnya. Dia menyelipkan satu set peta lagi ke dalam tasnya atau secarik catatan tulisan tangan di dalam bungkus rokok yang dia sumpah akan menjadi rokok terakhirnya.
Dia merogoh kantong belanjaan ketika melewati papan nama Jl. Para Raja dan mengeluarkan bungkus rokok terakhir. Kantong dengan bahan salad yang dia beli untuk mengejutkan Saras dengan makanan sehat. Dia memukul bungkus rokok yang belum dibuka itu di telapak tangannya tiga kali, lalu merobek bungkusnya, rehat sejenak dari kenyataan setelah shift.
Hari itu kembali menjadi hari yang panjang. Hari keempat berturut-turut sejak peristiwa "Pembunuhan Ramah" melanda kota itu. Kasus itu mendarat tepat di kakinya, meskipun dia merasa kasus di tempat yang sama sekali tidak berada di tangan yang pantas.
Begitulah yang terjadi di Kawipura. Kejahatan merajalela. Yang disebut normal adalah tengkorak retak dan trotoar berdebu untuk menemukan cara menghentikan semuanya agar tidak berputar di luar kendali ketika di sekitarmu berkata lain.
Syukurlah, dia memiliki Saras.
Saras, yang senyumnya terbit bersama matahari dan tak pernah pudar bahkan di tengah malam. Ini adalah kotanya. Saras melihatnya dengan cara yang tak pernah dipahaminya. Penuh harapan.
Hansa melihat kegilaan dan bermimpi melarikan diri. Saras melihat orang-orang, tempat-tempat, dan sejarah. Itulah hadiahnya untuknya. Harapan.
Sejak pertama berjumpa, Saras membuatnya tersenyum. Meskipun nalurinya menyuruh Hansa untuk melarikan diri dari Kawipura, dia bertahan demi Saras. Beban tampak lebih ringan saat Saras ada di dekatnya. Hansa membutuhkannya setiap malam ketika dia mengejar kriminal untuk dijebloskan ke balik jeruji besi.
Saras membuatnya merasa nyaman. Itu sudah cukup untuk membuatnya terus bertahan.
Sambil menggosok puntung rokoknya dengan sepatu, Hansa merasakan perubahan di udara. Dia membungkuk memungut puntung rokok dari tanah dan membuangnya ke tempat sampah terdekat, yakin ada sesuatu yang berubah. Lalu lintas macet. Bukan berita baru, tetapi terasa aneh bagi Hansa. Para pejalan kaki melambat merayap di Jl. Luwak Raya, mata menatap ke gedung apartemen bata empat lantai yang diapit oleh toko makanan dan laundry.
Gedung apartemennya.
Dia bergegas menerobos kerumunan orang secepat yang dapat dia tempuh. Setiap langkah terasa menjauh. Setiap detik terasa seperti sejam.
Sesuatu telah terjadi. Dia tahu
Sesuatu telah terjadi pada Saras.
"Permisi," seru Hansa, mencengkeram erat kantong belanjaan untuk menyiapkan makan malam bagi Saras. Dia menggenggam pikiran itu lebih daripada cengkeramannya pada plastik tipis tersebut. “Permisi, polisi."
Tak seorang pun mempertanyakan kebenaran kata-katanya. Mereka hanya bergeser ke kanan atau ke kiri, mata tak lepas dari kerumunan. Gumaman-gumaman terdengar. Bisik-bisik yang takut didengarnya.
"Dia … baru jatuh," kata seorang menunjuk ke atap gedung.
Hansa memperhatikan jendela apartemen mereka yang mengarah ke ruang tamu terbuka. Saras membukanya untuk menyejukkan ruangan dan mendengarkan suara-suara kota di malam hari.
“Kawipura tak pernah terwujud sebelum matahari terbenam,” kata Saras.
"Ambulans sedang dalam perjalanan," kata seorang pria yang memeluk erat anaknya.
"Aku mendengar seseorang menelepon ambulans, tapi—"
"Kurasa sudah tak penting lagi," kata seorang pria tua, menyelesaikan kalimatnya.
Hansa terus berjalan, matanya bertemu pandang dengan pria itu sebelum menyelinap ke tengah kerumunan.
Ketika kerumunan bubar, Hansa melihat mata itu. Mata sedih yang telah melihat lebih dari yang seharusnya dilihat pria mana pun seumur hidupnya.
Mata itu takkan pernah meninggalkan Hansa.
Seorang wanita terbaring di trotoar dikelilingi orang-orang. Dia menatap ke atas, ke langit yang semakin gelap. Darah mengalir dari bibir tipis merah muda. Mengenakan celemek yang Hansa tahu menutupi gaun merah berhias motif mawar.
"Saras."
Nama itu terucap dari bibirnya. Belanjaannya terlepas. Makan malam romantis yang tak sempat tersaji.
Hansa berlutut di sampingnya. Dia mencoba mengangkat kepala Saras, memeluknya erat, tetapi tak merasakan sesuatu untuk dipegang di balik rambutnya yang bernoda. Air mata membasahi pipinya. Sirene meraung-raung di kejauhan.
Terlalu jauh.
Tangan Sarah menyentuh pipinya. Mata hijau bagaikan danau tenang menatapnya. Saras tersenyum. Dadanya bergemuruh di bawah tulang-tulang yang remuk.
Mulut Hansa terbuka dua kali untuk menanyakan selusin pertanyaan yang biasa dia ajukan di TKP—tetapi tak ada yang keluar.
Tak ada kata-kata, hanya air mata.
Tangannya menyentuh pipi Saras. Bibir istrinya bergerak untuk berbicara dan dia membungkuk lebih dekat.
Saras tersenyum. Kata-katanya hilang di telan sirene dan gumam kerumunan. Hilang di balik detak jantung Hansa sendiri.
Yang tersisa hanyalah senyumnya ketika mata Saras terpejam untuk terakhir kalinya.
Bayang-bayang menggelap ketika senyum Saras membawa jiwanya menjauh dari Detektif Hansa Pratama untuk selamanya.
