Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB Misteri Nyai Ratu Blorong Part 5

Tangan Retno dengan cepat menyibak tirai ini kedua kali, saat terbuka tirai itu ia mendapati kedua mertuanya sudah berdiri tepat di depannya menjadi pocong dengan kainnya yang lusuh dan compang camping semua. Mereka berdua membawa bau busuk yang menembus kaca dengan mukanya penuh luka sayatan.

“Ya Allah, Astagfirullah bapak, ibu !!!," ucap spontan Retno serta tangan kanannya mengelus dada. Saat Retno masih beradu pandang mematung bersamaan dengan itu, bibir kedua mertuanya berucap bersamaan “Ingatkan suamimu nak, teganya membuat bapak ibu menjadi seperti ini." Selesai mereka bicara tubuhnya Retno masih tidak bisa digerakkan lagi karena tertegun, dengan cepat rasa takutnya menjalar ke seluruh tubuh membuat ia bisa menggerakkan tubuhnya.

Saat badannya merasa bisa digerakkan sedikit, Retno langsung berteriak histeris dan menggeleng-gelengkan kepala “Tolong, tolong..tolong..enek bapak ibu di belakang."

Sri tadinya tidur terlelap dengan ketiga buah hatinya, langsung terbangun kaget dan berjingkat cepat tubuhnya. Ia berlari menuju dapur dan langsung meraih tubuh retno yang mengejang dan menyeretnya ikut duduk serta memeluknya dengan erat di lantai

“Tenang Mbak” (huu…huuu...huuu,bapak…ibu!!! tangis Histeris Retno mulai pecah dipelukan Sri).

Ketiga anak Sri juga ikut terbangun, mereka berjalan ke dapur dan berdiri di pintu memandangi Retno yang masih menangis histeris ketakutan. Malam itu Retno dibawa ke ruang tengah tapi dalam kondisi masih menangis sesenggukan sampai menjelang subuh, istri dan anak-anak Udin tak ada yang kembali tidur.

Dalam tangis sesenggukan Retno, ia menceritakan pesan mertuanya kepada Sri dan secara tak langsung anak-anak Udin juga ikut mendengarkan. Beberapa jam kemudian Udin dan Sarji tiba, mereka langsung memarkirkan motornya di halaman rumah Sarji. Mendengar tangisan dari dalam rumah, mereka berdua bergegas untuk masuk ke dalam rumah. Sarji berjalan masuk duluan dengan membuka pintu yang terkunci dan menyalakan lampu di ruang tamu, sedang udin ikut berjalan di belakang Sarji.

Saat Sarji mendapati istrinya menangis ia mendekat dan mengambil alih pelukan dari tangan Sri. “Sebenarnya ada apa bu? sudahlah bu, jangan nangis terus. Jam segini kok pada belum tidur?" Retno masih terus menangis sesenggukan tak menjawab apa pun pertanyaan dari Sarji, hanya gelengan kepala serta lirikan mata Sri yang bergerak di ruang tengah ditujukan kepada Udin.

Sri menandakan ajakan untuk Udin segera pulang ke rumah. Udin yang melihat kode dari istrinya langsung mengajak semua anggotanya pulang ke rumah, Sri berharap Sarji bisa menenangkan istrinya sendiri dan mendapatkan informasi darinya, tentang apa yang terjadi jika Retno sudah baikan.

Di rumah Sarji dan Retno kini mereka hanya tinggal berdua, saat pagi sinar terik matahari mulai masuk ke dalam ruang tamunya. Mereka berdua duduk lama dalam keheningan dan pelukan, sinar pagi menembus celah dan kaca di rumah Sarji yang menghangatkan tubuh membuat perasaan Retno ingin memulai bicara serius kepada suaminya tentang kejadian semalam...

“Pak anda sekarang jujur sama saya, sebenarnya apa yang anda sembunyikan dari saya." Tanya Retno sambil menghapus air matanya.

“Tidak ada yang saya disembunyikan bu." Jawab Sarji menatap istrinya serius.

“Jujurlah pak." Bentak Retno yang semakin menipis kepercayaannya kepada Sarji.

“Beneran bu!!! Maumu bagaimana, kalau tidak percaya ya sudah!!!" Bentak Sarji dengan kasar merasa pertanyaan Retno buntu, dia memutuskan untuk diam hanya memikirkan hal yang paling mengganjal di dalam hatinya. Sementara itu, Retno membiarkan saja keras kepala suaminya daripada ribut-ribut di pagi hari. Karena ia sendiri sadar suaminya sebenarnya wataknya pemarah, dan ia tahu juga bahwa Sarji baru pulang belum sempat istirahat sama sekali.

Pasangan bertengkar, dok: pixabay

Setelah emosi keduanya mereda, Sarji langsung pergi ke kamar untuk istirahat. Retno sendiri langsung menyibukkan diri dengan Sri mengurusi kelengkapan untuk acara rutin nanti malam.

Setelah siang hari, Sarji pergi entah ke mana tanpa pamit kepada istrinya. Retno sendiri yang belum memperoleh jawaban dari Sarji dan melihat kondisi rumah sudah sepi ia langsung menuju kamar khusus suaminya. Tapi kamar itu selalu terkunci dari luar dan kuncinya selalu dibawa kemanapun oleh Sarji.

Sedikit memutar otak, istri Sarji meminta istri udin untuk membantunya. Mereka membawa tangga bambu lewat samping rumah. Sedang Sri disuruh untuk berjaga di depan rumahnya, takut kalau Sarji tiba-tiba datang. Dengan rasa penasaran yang tak terbendung, Retno secara perlahan naik anak tangga.

Saat kepalanya sampai di depan jendela kecil satu-satunya, ia bisa langsung melihat isi kamar itu. Meskipun hanya sedikit sumber cahaya dari jendela itu yang masuk melewati kaca bening berselip atas dan bawah.

Perlahan mata Retno mulai mengamati seluruh isi dan sudut kamar khusus suaminya, saat matanya melihat ke bawah ranjang yang memakai kelambu transparan betapa terkejutnya Retno. Ia melihat ular hitam sebesar paha orang dewasa sedang melingkar menggunung di atas ranjang, “Masyaallah”…(gumam Retno).

Tiba-tiba ular di dalam kamar itu seperti mendengar ada yang mengawasinya. Saat Retno menoleh ke arah Sri sebentar untuk melihat kondisi didepan, dengan cepat kepala ular hitam langsung mengarahkan pandangannya ke muka istri Sarji. Kepala ular bergerak ke atas dengan menjulurkan lidahnya dan desisan kecilnya dari mulutnya, saat Retno mengembalikan pandangannya untuk melihat isi dalam kamar.

Ia dikagetkan kepala ular yang sudah berada di depan wajahnya, dengan lidah yang keluar masuk dari mulut ular besar itu. Seakan mulut ular besar mau memakan Retno hidup-hidup.

[Cerita ini diadaptasi dari Twitter.com/bayuuubiruuu]

Waktu mulutnya sudah terbuka lebar di depannya, dengan cepat ia turun sampai akhirnya Retno terpeleset dan jatuh dari tengah anak tangga.

Buuugggg. "Aduhhh…yuuu.”kata Retno dengan memegangi pinggangnya. Sri yang berdiri di depan rumah Sarji mendengar dan melihat Retno terjatuh, ia langsung berlari menuju Retno, dengan cepat sri membantunya untuk duduk.

“Ada apa to mbak, kok bisa jatuh begini. Yang hati-hati mbak." Tanya Sri sambil membersihkan baju Retno dan merapikannya.

“Sudah ayo cepat ke rumah kamu saja mbak." Jawab Retno yang masih meringis kesakitan. Tangan sri memegangi lingkar pinggang Retno dan membantu Retno berdiri pelan.

Meski langkah Retno tertatih saat dipapah sri, ia tetap berjalan dengan sisa kekuatannya. Sekian menit mereka berdua sudah sampai di rumah sri, pertama sri mendudukan Retno di ruang tamunya dan memberi minum. Sri sendiri kembali ke rumah Retno untuk mengambil tangga sendirian.

Waktu Sampai di rumahnya sendiri ia melihat napas dan ketakutan Retno sudah mereda, ia mulai menceritakan apa yang ia lihat di kamar khusus suaminya barusan. Tapi Sri hanya mendengarkan dan tak begitu percaya dengan hal-hal semacam itu.

“Suamiku sudah tidak jujur kepadaku, sudah aku habis ini pulang ke rumah orang tuaku sendiri. Biarkan mbak meskipun ibukku orang tidak punya, tapi tentram rasanya di rumah ibuku." Terang Retno.

“Apa tidak nunggu suamimu dulu mbak." Pinta Sri

“Sudah tidak perlu, saya berangkat sekarang saja mbak. Nanti kalau mas Sarji tanya anda jawab saja tidak tahu." Jelas Retno

“Tapi mbak!!!" Kata Sri

“Sudahlah mbak tolongin saya, harta suamiku itu tidak benar kelihatannya." Tegas Retno

Sri hanya tertunduk diam, dan menyetujui permintaan Retno. Dengan kondisi masih sakit, ia pinjam sepeda kecilnya Udin yang berkarat untuk pergi ke rumah orang tuanya Retno di desa sebelah. Saat mau berangkat perutnya terasa sangat sakit seperti mau datang bulan. ”Aduhh mbak,” kata Retno yang baru memegangi sepeda Udin, serta tangan kirinya memegangi erat perutnya!!!

Seketika itu juga ia mulai gemetar dan lemas. Dengan cepat Sri memarkirkan sepedanya dan membantu Retno untuk duduk kembali di rumah Sri.

Keinginan pulangnya yang sudah bulat akhirnya tertunda, sampai akhirnya Retno berbaring di kamar Udin. Sambil menunggu dan merawat Retno, Sri memberikan nasihat agar tetap membicarakan baik-baik masalahnya dengan Sarji dahulu dan jangan asal menuduh suaminya yang bukan-bukan.

Sri berpikir tidak baik jika Retno membawa masalah rumah tangganya ke rumah orang tuanya, pastinya akan menambah beban kepada orang tuanya sebab ibu retno sendiri sudah tua. Sore hari Udin dan Sarji pulang, mereka berdua langsung masuk rumah dan menanyakan keberadaan Retno.

Sri yang keluar dari dapur belum sampai menjawab, Sarji yang mendengar rintihan kesakitan wanita dari dalam kamar udin langsung masuk. Saat itu juga Sarji mencoba menenangkan istrinya sebentar, dan meminta Udin untuk membawa kendaraan untuk mengantar istrinya periksa ke dokter.

Sehabis surya tenggelam di ufuk barat, Sarji sendiri mengantar istrinya ke dokter, sementara Udin di rumah diberitahu oleh istrinya kejadian tadi pagi. Tapi Udin berpesan kepada istrinya untuk tidak ikut campur rumah tangga orang lain, dan menyuruh istrinya tidak langsung mempercayai cerita dari Retno sebelum tahu dengan mata kepalanya sendiri. Sedangkan kegiatan keagamaan di rumah sarji, Udin dan istrinya yang mengambil alih beserta dua kerabat Sarji.

“Ji, mulai sekarang aku berhenti ikut kamu," kata Udin dengan tegas

“Lah kena apa kamu Din?," Jawab Sarji mulai kaget

“Tidak apa-apa Ji, aku ingin keluar saja dari sini," Tegas Udin lagi

“Sebentar, sebentar Din, ini sebenarnya ada apa dulu. Jangan begini, aku paling mengerti kamu dari kecil," Kata Sarji meredakan keinginan Udin yang kuat

“Ya sudah Ji, aku sudah tahu sekarang kamu menumbalkan bapak ibumu buat harta seperti ini," Terang Udin dengan menaruh tasnya di meja Sarji. Sarji yang mendengar pernyataan itu langsung terhenyak dan diam seribu bahasa, kebiadabannya selama ini telah diketahui oleh sahabat karibnya. Sarji memikirkan bagaimana cara membujuk Udin dan membuat alasan yang masuk akal agar Udin menurut sama Sarji kembali, dia juga berpikir jika ada orang lain yang tahu akan kebiadabannya bisa mendapat masalah yang lebih fatal.

“Kamu tahu dari mana Din, jangan ngawur kalau bicara kamu?," kata Sarji

“Sudahlah ngaku saja Ji, aku juga habis dengar dari kamu dan Ronald. Kamu berdua itu sama bajingannya," Cerocos Udin mulai membabi buta

“Sebentar Din… sebentar Din…tenang jangan marah dulu,” Kata Sarji

“Aku tidak marah Ji, mulai sekarang aku keluar," Jawab Udin dengan menaruh tas yang berisi buku-buku administrasi usaha sarji.

Ia langung berjalan cepat untuk keluar ruangan ..

“Braakkk” suara bantingan pintu ruangan administrasi, Udin yang habis mengenakan sandal dengan cepat berjalan keluar toko.

“Diiiiinnnnnnn…Udinnnn,” teriak Sarji dalam ruangan, tapi hanya suaranya saja sedangkan ia tetap didalam ruangan masih memikirkan cara untuk membujuk Udin. Udin berjalan cepat, sudah tak menghiraukan panggilan Sarji lagi.

Jalannya yang terburu-buru membuat sebagain pegawai bawahanya tertegun memandang curiga. Udin sudah tidak memperdulikan semuanya ia hanya punya satu tujuan, yaitu pulang kerumah dan memberitahukan semua ini kepada istrinya.

Baru saja udin memarkirkan motor diteras, Sarji yang mengikutinya dari belakang sudah sampai didepan rumahnya. Udin sudah tak memperhatikan lagi dan langsung masuk rumahnya, Sarji dengan cepat mengikuti Udin yang masuk kerumah. Udin ditarik dan didudukkan diruang tamunya.

“Sudahlah Din, maaf. Aku habis ini mau berhenti dari perguruannya Ronald," bujuk Sarji dengan memelas

Udin hanya diam, dan mendengarkan kata-kata dari Sarji tanpa menyahuti. Dengan berbagai bujuk Rayu dilontarkan Sarji kepada Udin cukup lama, dan akhirnya Udin luluh juga.

Sebab Sarji sendiri tahu kelemahan Udin yang tidak tega melihat kawannya seolah-olah mengahadapi masalah besar sendirian, sore itu juga Sarji minta tolong pada Udin untuk menemaninya pergi kerumah Ronald untuk membayar hutang dan pesan barang.

Selepas magrib, Udin dan Sarji membawa mobil menuju rumah Ronald dengan membawa sejumlah uang. Perjalan dari rumahnya memang memakan waktu sekitar lima jam, dari sore kedua sahabat ini memang belum makan sama sekali.

Waktu di dalam mobil mereka berdua memutuskan untuk cari makan di ujung gang rumah Ronald saja, sekalian istirahat dan bisa mengajak Ronald nongkrong di kampungnya.

Mobil Sarji masuk kedaerah Ronald sekitar jam sebelas lebih, dan berhenti disamping warung. Warung itu biasanya memang tutupnya jam satu malam, meski di dalam kampung pinggiran kota. Jadi tata letaknya warung ini menghadap ketimur di sebelah selatannya warung persis ada pos ronda. Baru selatannya lagi ada pertigaan, dan jalan yang timur adalah jalan menuju rumah Ronald,

ADVERTISEMENT

jaraknya sekitar seratus lima puluh meter dari warung. Sedang jalan yang keselatan menuju areal persawahan. Di pos ronda ada tiga orang bapak-bapak yang jaga sambil main kartu, sedang di warung hanya ada Udin dan Sarji yang sedang makan.

Malam itu tak ada firasat apapun, Sarji dan Udin makan nasi lodeh dengan lahap. Rencana mereka habis makan, Udin akan memanggil Ronald yang masih berada di rumah. Tapi rencana sarji tak sesuai harapan mereka berdua.

Selesai mereka makan, mereka baru menyulut rokok ada teriakan keras dari jalan yang mengarah rumah Ronald.

“Tolonggggg…tolongggg…tolonggg,,,”

Semua saling berpandangan untuk mencari sumber suara misterius dimalam hari itu, begitu juga bapak-bapak yang jaga dipos ronda.

“Siapa bu teriak-teriak tengah malam minta tolong," tanya Udin kepada pemilik warung. Ibu itu diam dan ikut mendengarkan dengan seksama, “Iya mas, siapa jam segini teriak teriak ini," kata ibu pemilik warung yang seketika menghentikan aktifitasnya.

Akhirnya Udin dan Sarji lari keluar dari warung dan bergabung dengan bapak-bapak yang sudah berdiri di depan pos ronda. Tak lama kemudian dari yang jalan menuju rumah Ronald samar- samar terdengar ada suara lagi.

“ketoplak...ketoplak..ketoplak...krimpying…krimpying… krimpying…tarrrr…tarrrr…ctaaarrr” [suara lonceng kuda yang berlari serta suara cambukan]

“Tolong..tolong..tolonggg…ampun….huhuuhu..tolong” [suara teriakan minta tolong seseorang dan tangisnya]

Semua melihat dengan jelas, dari depan pos dengan mata kepala mereka sendiri. kelima orang tersebut hanya diam mematung antara tak percaya dan kenyataan di depannya.

Dijalan menuju rumah Ronald terdapat lampu putih di dua rumah, sehingga kejadian malam itu terlihat sangat nyata dan mencekam. Mata mereka berlima melihat seorang perempuan membawa kereta kencana ditarik dua kuda hitam dengan mata merah.

Perempuan itu ialah Nyi ratu blorong, wujudnya waktu itu sedang mengendarai kereta kencana, tangan kiri memegang tali untuk kendali kuda. Sedang tangan kananya memegang rantai panjang yang mengikat sesuatu terseret dibelakangnya.

Ia tetap memakai baju kemben hijaunya dan berambut ular kecil-kecil diatas mahkotanya dengan mulut menganga semuanya. Serta kulitnya sebagian sudah dipenuhi sisik ular sampai kewajahnya.

Di belakang nyi Ratu Blorong ada dua baris wanita berpakaian serba hijau berselendang, masing masing barisan terdapat tiga wanita. Untuk dua wanita di barisan terdepan, memegang cambuk sambil menghajar dan sesekali mencambuk manusia yang terikat rantai di depannya. Tapi semua perempuan ini berjalan dengan tubuh ularnya, hanya terlihat kepalanya dan tangannya yang dipenuhi sisik ular.

Sosok seseorang pria memakai celana pendek putih yang dibalut (cawet) sudah diikat mulai leher, perut, serta kedua tangan dan kakinya. Ia berjalan tertatih sambil berteriak minta tolong menangis histeris dan kesakitan luar biasa akan cambukan yang diterimanya.

Semakin dekat kereta itu datang menuju pos ronda di pertigaan, semakin jelas yang terlihat adalah Ronald teman Udin dan Sarji. “IKU PAK RONALD” gumam lirih bapak yang berada disamping Sarji.

Sontak mereka yang berdiri secara cepat melesat lari tunggang langgang tanpa tau arah dan tujuan. Pemilik warung yang tahu orang pada berlarian, tanpa menutup warung ibu-ibu itu ikut berlari kerumah kayu di belakang warung.

Sarji dan Udin ikut bersembunyi mendekam bersama pemilik warung, tapi mata mereka yang penasaran melihat dari celah papan kayu dari ruang tamu rumah itu. Sedang bapak-bapak tadi yang berada di pos ronda lari tak tahu kemana.

Mereka melihat Ronald ditarik dan dicambuk tanpa ampun melewati pertigaan menuju jalan arah keselatan, sampai beberapa menit suaranya menghilang semua. Saat itu juga kampung Ronald menjadi sangat sepi mencekam seperti kuburan.

Ibu pemilik warung dengan ketakutan luar biasa meminta Udin dan Sarji untuk menutup warungnya, tapi dengan syarat yaitu permintaan Udin untuk diperbolehkan menginap di rumahnya. Ibu itupun langsung masuk kekamarnya dan mengunci dari dalam.

Tanpa pikir panjang juga ibu pemilik warung itu juga menyetujuinya. Udin dan Sarji dengan cepat mematikan lampu dan menutup warung, setelahnya mereka berlari kembali kerumah belakang dan berbaring di ruang tamu.

Mereka yang sudah rebahan di ruang tamu yang gelap hanya diam dan gelisah, tanpa ada kata terucap satupun dari mereka yang keluar tapi tubuh mereka tetap bergetar ketakutan tak karuan. Sampai pagi hari mereka tidak ada yang bisa tidur dan masih memikirkan kejadian semalam.

Cahaya pagi mulai bersinar tanpa mataharinya dari halaman rumah pemilik warung, sinar putih lembut itu membuat ruang tamu yang dipakai Udin dan Sarji istirahat mulai terang.

Udin dan Sarji dengan wajah kusut mulai bangkit untuk duduk, di tempat duduknya mata merah mereka yang saling berhadapan dan saling bertatap penuh ketakutan. Tatapan mata mereka yang saling berkecamuk itu dibatasi sebuah meja kayu.

Dari semalam mereka sudah tiada lagi pembicaraan, tapi dipagi ini Udin yang tak sabar akan sikap Sarji dengan terpaksa membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Gimana ini ji, kira-kira beneran tadi malam itu Ronald yang ditarik kereta?," Tanya Udin dengan wajah penasaran dan raut ketakutan

"Tidak tahu Din, mending habis ini tanya orang-orang kampung saja. Sekalian memperjelas dirumah Ronald," Terang Sarji dengan gelisah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel