Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6 Misteri Nyai Ratu Blorong Part 6

Suara pembicaraan di ruang telah terdengar ibu pemilik warung, membuat ia datang menghampiri mereka untuk menanyakan apa maksud dan tujuan mereka datang ke kampung ini. Ibu itu sendiri dari tadi malam juga belum sempat tanya karena panik dan takut. Sarji dengan tenang tapi tetap menutupi rasa gelisah dan takutnya, ia menjawab semua pertanyaan ibu itu satu persatu dengan logis, intinya alasan yang dipakai adalah urusan bisnis dengan Ronald.

Dengan cepat ibu pemilik warung segera memahami alasan yang disampaikan Sarji, kini mereka bertiga yang penasaran dengan kejadian semalam memutuskan untuk keluar rumah dan menanyakan kebenaran fakta tadi malam.

Mereka berniat langsung berjalan menuju rumah Ronald tapi langkah mereka terhenti di pos ronda karena warga sudah ramai berkumpul. Begitupun jalan menuju arah rumah Ronald beberapa warga sudah di jalanan bergerombol dan saling berbisik satu sama lain. Konon waktu kejadian malam itu hampir seluruh warga kampung Ronald mendengar teriakan permintaan tolongnya, padahal warga juga yang rumahnya dilalui Nyi Ratu Blorong saat menyeret Ronald ikut mengintip dan melihat dengan jelas dari celah jendela mereka.

Tapi semua warga yang mendengar dan melihat tak ada yang berani, sampai dari sekian warga yang tahu tak ada satupun orang keluar untuk menolongnya. Sarji dan Udin berjalan perlahan melewati kerumunan-kerumunan kecil yang sudah tersebar di jalan menuju rumah Ronald.

Ditengah perjalanan Sarji berucap kepada Udin “masak beneran Ronald sudah meninggal Din,”

“Kelihatannya beneran ini Ji," jawab Udin sambil berjalan disamping Sarji. Sampai akhirnya mereka berhenti tepat di depan rumahnya Ronald, mereka melihat kerabat Ronald di dalam rumah sudah ramai akan isak tangis dan raut muka penuh kesedihan.

Udin dan Sarji langsung masuk rumah Ronald meski melewati kerumunan kerabat almarhum di teras, di ruang tamu mereka langsung ikut duduk mendengarkan penuturan salah satu keluarga Ronald.

”Beneran ternyata Din," bisik Sarji kepada Udin, “Iya Ji, diamlah dengarkan sopirnya bercerita," sahut Udin pelan.

Sopir pribadi Ronald yang berada duduk di tengah lingkaran keluarga Ronald bercerita, Waktu selesai shalat subuh seperti biasa dia datang ke rumah Ronald untuk mencuci mobil, malam itu rumah Ronald tidak ada yang terkunci. Dengan rasa curiga ia langsung masuk rumah, waktu memasuki ruang tengah dan berhenti di pintu yang tak terkunci sang sopir memanggil-manggil Ronald untuk izin terlebih dahulu tapi tak ada jawaban.

Sopirnya pun akhirnya memberanikan diri masuk ke rumah mewah ini dan hanya berniat mengambil kunci di ruang tengah, meski jika ketahuan Ronald sikap ini akan dianggap kurang ajar.

Tapi langkahnya berhenti seketika melihat Ronald sudah tidur telentang kaku di lantai hanya memakai sarung dan kaus di ruang tengah. Beberapa kali ia memanggil Ronald untuk izin mengambil kunci, tapi waktu ia dekati Ronald sudah menjadi mayat.

Kondisi tubuhnya sudah membiru dan kaku, dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Sedangkan untuk kedua tangannya menengadah ke atas, seperti orang ingin memohon ampun dan melepaskan diri.

Setelah itu sopir ini berlari keluar rumah untuk mencari bantuan kepada para tetangga di kanan dan kiri rumah Ronald. Cerita sopir itupun selesai ketika pemuka agama setempat datang dan ikut duduk bersama orang-orang yang berada di ruang tamu.

Tak berselang lama, di waktu yang masih pagi pihak keluarga dibantu oleh pemuka agama setempat menyucikan Ronald dan menguburkannya di pemakaman kampung tempat tinggalnya.

Tapi saat dikebumikan keadaan Ronald tetap seperti ia ditemukan pertama kali, hanya tangannya yang dipaksa sampai terdengar patah di pergelangan sikunya agar bisa bersendekap untuk terikat sebagaimana layaknya mayat dikafani.

Sarji dan Udin mengikuti prosesi acara Ronald sampai selesai, sewaktu masih di rumah duka Sarji juga menyerahkan uang Ronald sebagaimana layaknya utang piutang. Uang itu diserahkan kepada ahli waris yang masih berada di rumahnya. Saat siang sudah mau berganti sore mereka berdua izin kepada semua kerabat Ronald untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang Sarji ketakutannya semakin menjadi jadi, ia meminta dengan sungguh sungguh kepada Udin untuk mencarikan solusi memutuskan perjanjian dengan Nyi Ratu Blorong. Udin sebagai sahabat sejati dengan senang hati menyetujui permintaan Sarji.

Dia juga berharap kawannya segera bisa tobat, dan tidak menyerahkan nyawa seseorang lagi sebagai imbalan kekayaannya. Dengan semangat membara dan niat yang kuat Sarji pulang tidak langsung ke rumah melainkan langsung mengajak udin menuju ke rumah Moden, kakaknya Udin.

Saat mereka sampai rumah Moden mereka berkumpul dan duduk di teras, Sarji mulai bercerita panjang lebar tentang temannya Ronald sampai larut malam disertai rasa ketakutan Sarji yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

Malam itu juga Sarji berharap bisa mendapatkan bantuan dari Moden akan niatnya. Sementara itu Moden tau yang dihadapi bukan sosok sembarangan, tapi Moden yang diam mencerna penjelasan Sarji terlebih dahulu, ia juga tetap berusaha serta memikirkan solusi dan Moden akhirnya berkata..

“Aku salut Ji, kalau kamu berani terus terang, terus mau tobat…tapi aku kalau bantu kamu, aku sendiri bisa-bisa mati,” Tegas Moden

“Terus bagaimana Den?," tanya Sarji yang mulai bingung

“Sudah besok saja coba ke kiai Sofyan," perintah Moden

“Tapi kak, kiai Sofyan sudah tua, terus mengajinya pada orangnya juga satu bulan sekali. Apa sanggup kira-kira bantu Sarji," Sahut Udin yang meragukan kealiman kiai Sofyan.

“Ya tidak tahu Din. Jangan meremehkan orang, dicoba dulu saja," Jawab Moden

“Ya sudahlah kalau begitu, besok malam kamu dua orang saya tunggu di rumah jam delapanan," Pinta Moden serius

“Iya kak terima kasih," Jawab Sarji yang gelisah.

Udin dan Sarji akhirnya bisa pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan sedikit lega meski belum ada kepastian yang jelas siapa yang bisa membantunya untuk memutuskan perjanjian dengan Nyi Blorong.

Keesokan harinya Udin didatangi Sarji dari pintu belakang, tanpa banyak bicara Sarji langsung mengajak Udin keluar agar istri Udin juga tidak curiga. Sarji dengan cepat membonceng Udin dengan motornya, dan menuju ke warung langganan mereka.

Kondisi warung saat itu masih sepi, Sarji mengajak Udin untuk duduk berdua di pojok agar suaranya tidak terdengar. Dalam sepinya warung sarji berpesan kepada Udin nanti malam untuk menunggunya di rumah Jam 8 malam, rencananya mereka akan berangkat berdua ke rumah kiai Sofyan bersama Moden.

Kegelisahan Sarji pun menjadi-jadi karena istrinya semakin hari sakitnya semakin parah. Perutnya semakin lama juga semakin membesar, tapi sekian kali dirontgen hasilnya semuanya normal.

Dirasa sudah cukup Sarji menyampaikan keluhan sebenarnya kepada Udin, hari semakin sore. Sarji mengajak pulang Udin, karena ia mau mengantar istrinya check up rutin ke dokter.

Malam semakin beranjak hingga Jam 20.00 WIB, Udin yang berbaring di kursi panjang teras rumahnya mulai gelisah, berulang kali dia bangkit dari tidurnya. Langkah kakinya mondar mandir dari depan kebelakang rumah berulang kali.

Sampai istrinya yang mengamati suaminya lama-lama pusing dibuatnya,

“Sebenarnya ada apa pak?," Tanya Sri yang duduk bersama anak-anaknya di ruang tamu.

Udin masih tetap jalan keluar masuk, belum mendengarkan dengan serius pertanyaan istrinya.

“Ditanyai ya harus dijawab? Seperti ayam ingin kawin, berputar-putar saja dari tadi," Kata Sri semakin keras.

“Ini lo bu aku tadi pagi janjian sama Sarji, sampai sekarang sudah jam delapan belum datang," Terang Udin gelisah tak tenang

“Mau ke mana lagi pak?," tanya Sri penasaran

“Ke tempatnya kakak bu," jawab Udin

“Ya sabar to pak, paling ya masih di jalan," terang Sri untuk menenangkan suaminya

“iya..ya," jawab Udin

Setelah mendapat suara peredam dari istrinya Udin tetap seperti semula, kakinya masih mondar mandir dengan resah. Udin sendiri tahu kebiasaan Sarji, meski dia pemalas tapi kalau ada janji biasanya tepat waktu.

Jarum jam terus berjalan sampai menunjukkan angka sembilan lebih sedikit. Detik demi detik Udin lalui, menunggu adalah hal yang membosankan dan paling ia benci sebab waktu terasa sangat lama.

Dari ujung gang rumah Udin ada seseorang yang berjalan cepat di bawah lampu putih dengan tergopoh-gopoh. Udin yang melihat kejanggalan itu berhenti dan berdiri di depan teras rumahnya, memandangi dan mengamati dari kejauhan hingga sosok pria muda itu mendekat.

Semakin jelas Udin melihat ternyata ia salah satu anak buahnya yang biasa bekerja di toko bangunan sebagai kurir.

“Pak..pak...?”

“Oh kamu to Jum? Tak kira siapa? Jalannya kayak orang kesetanan. Ada apa?," Tanya Udin memberondong

“Ini pak...ehh...pak...ehh..pak..," (ia tak bisa berbicara lancar lidahnya terasa kaku, karena masih shock dan bingung mau menyampaikan kabar)

“Sebenarnya ada apa Jum, bicara yang jelas…a…u…a…u…tak pukul kepalamu!!!," Ancam Udin yang gelisah

”Ada orang tidak bisa bicara kok malah dimarahi saja pak, diajak duduk dulu sini lo, memang tidak mengerti sama sekali kamu ini pak," Sahut Sri yang sudah berdiri di terasnya

Istri Udin yang mendengar keributan, masuk ke rumah lagi dengan pengertian membawakan segelas air putih. Ia langsung menyeret tangan Juma'in untuk duduk dahulu di teras rumahnya.

“Sudah Jum, bicaralah pelan-pelan. Tidak usah takut, sebenarnya ada apa kamu kesini tergopoh-gopoh begini tumben?," Kata Sri yang sudah duduk disampingnya

“Begini bu, pak!!! Pak Sarji sama bu Retno kecelakaan di jalan raya. Sekarang dibawa ke rumah sakit," Jelas Jum’ain dengan masih tergagap dan mulutnya masih gemetar.

Larilah saja yang cepat sama baca doa yang sudah pernah kukasih, biar tidak mengejar kamu Nyi Blorongnya," jelas Moden singkat dan mulai panik.

Dengan sisa tenaga dan tanpa tanya lagi, Udin langsung berlari secepat-cepatnya menuju rumah kiai Sofyan yang berada di desa sebelah, sementara Moden pergi ke desa sebelah yang lain dengan membawa motornya untuk menjemput anak dan Istri Udin.

Hawa dingin rintik hujan dan suasana gelap malam ia terjang, kaki Udin yang berlari tanpa alas kaki melaju seperti kesetanan karena rasa takutnya yang luar biasa, lecet dan berdarah pada kakinya pun sudah tak ia rasakan lagi.

Tak berselang lama Udin melihat cahaya lampu rumah sesek (dinding anyaman bambu) kiai Sofyan dari kejauhan, saat itu ia semakin mempercepat laju larinya. Dari dekat rumah sang kiai, Udin mulai berteriak “Kiai, kiai, kiai!,”.

Kiai Sofyan yang sudah tua mendengar teriakan itu bangkit dari duduknya di ruang tamu, ia berjalan pelan menuju depan rumah karena teriakan keras di malam hari dari seseorang di luar.

Sampai di depan teras kiai Sofyan berdiri seorang diri mencari sumber suara, meski di kegelapan malam pandangan beliau masih tajam. Tak lama kemudian Udin berhenti tepat di depannya,

“Hosshhh hoossshhh hosshh kiai tolongi saya, huu huuu huuu," pinta Udin dengan menahan napas tersengal-sengal dan sedikit membungkuk serta kedua tangannya memegangi perutnya.

“Walah kamu to Din, tak kiranya siapa? Kesini ayo masuk dulu ke rumah. Kenapa kok menangis ini?," tanya kiai Sofyan sambil memegang kedua bahunya Udin.

Udin yang sudah bertemu dengan kiai, ia langsung bersimpuh di kaki kiai Sofyan dan hanya tangisan sedih dan ketakutan yang utarakan. Kiai Sofyan sendiri bingung sebenarnya apa yang terjadi, perlahan Kiai Sofyan mengangkat bahunya dan membangkitkan Udin untuk berdiri lalu mengajak Udin untuk berpindah ke ruang tengah.

Beliau mendudukkan serta mendiamkan dahulu sampai tangisnya sedikit mereda dan tenang di dalam rumah. Kiai Sofyan dengan tangan keriputnya segera memberikan minuman kepada Udin untuk meredakan dahaga dan rasa takut, panik bercampur sedih. Kejiwaan Udin di ruang tengah lama kelamaan mereda dengan perlahan, tapi Udin hanya tertunduk lesu di samping Kiai Sofyan dengan hening.

Jiwa dan batinnya masih terguncang hebat malam itu. Baju Udin yang sudah basah oleh keringat dan kaki sudah lecet penuh darah sudah tak dirasakannya lagi. Beberapa menit kemudian kedua wajah mereka terangkat naik seketika ada sumber suara di depan.

Keheningan mereka pecah saat suara motor dua tak itu terhenti tepat di depan rumah kiai Sofyan. Motor yang diparkir Moden di halaman rumah kiai Sofyan tak berarah karena terburu-buru, Moden bersama anak istri Udin berjalan menuju rumah kiai Sofyan dengan panik dan gelisah.

Tapi langkah mereka terhenti di depan pintu ruang tamu.

“Tok tok tok Assalamualaikum,” salam Moden.

“Alaikum salam,” jawab Kiai Sofyan disertai langkahnya sedikit tertatih keluar dari ruang tengahnya menuju ruang tamu.

Sang kiai tua bertubuh ringkih dan berambut putih langsung membuka pintu, ingatannya yang masih tajam mengamati siapa yang datang. Setelah ia tahu bahwa tamunya ialah Moden dan anak istri Udin, beliau langsung mengajak mereka berkumpul ke ruang tengah.

Sang kiai mengajak semua bergabung di ruang tengah untuk melihat kondisi Udin yang sudah memprihatinkan. Situasi rumah kiai Sofyan yang semakin ramai orang membuat Bu Nyai Sofyan juga ikut bergabung dengan mereka.

Ilustrasi ruang tamu, dok: pixabay

Udin yang sudah tenang tapi hanya diam dengan tatapan kosong dan wajahnya pucat layu, ia masih belum mampu berbicara. Istri dan anaknya mengerumuni Udin dan memeluk kepala keluarga itu yang ketakutan.

"kenapa kamu pak?," tanya Istri Udin serta tetesan air matanya mulai jatuh. Udin hanya tetap diam membisu, sedang Moden sendiri langsung menceritakan kejadian yang dialami Udin dari awal sampai akhir secara detail, lalu Moden yang sebagai kakaknya meminta bantuan kepada Kiai Sofyan untuk membantu Udin yang nyawanya terancam oleh Nyi Blorong.

“Oh begitu ceritanya Den, adikmu ini ikut makan hartanya Blorong, ya pasti dikejar Den," terang Kiai Sofyan.

“Terus bagaimana kiai?," tanya Moden yang mulai bingung.

“Ya nanti di bersihkan semuanya seluruh keluarganya," jawab Kiai Sofyan.

Belum selesai pembicaraan di ruang tengah, tiba-tiba ada suara memanggil yang keras dari luar, “keluar semua," dengan suara panggilan yang keras menggelegar dari luar, Udin yang mengenal suara itu semakin meringkuk takut, jiwanya yang sudah terguncang bertambah takut. Udin yang duduk membenamkan wajahnya di tubuh istrinya dan kembali menangis. Anak istrinya saat itu juga memeluk Udin dan mereka semua ikut sedih serta meneteskan air matanya.

Tapi Kiai Sofyan yang terkenal miskin dan ramah dengan tenang keluar dari rumah, Sedang Moden mengikutinya di belakang punggung Kiai Sofyan sambil sembunyi. Sampai di teras rumah, Kiai Sofyan berdiri memandang depan rumahnya sudah ada Nyi Blorong. Jarak antara keduanya tak lebih dari dua puluh meteran.

Kali ini Nyi Blorong bersama pengikutnya yaitu siluman ular dengan jumlah sangat banyak. Ular-ular di belakang Nyi Blorong memang sangat aneh bentuknya, tidak seperti lazimnya ular di dunia nyata.

Ada yang berbentuk kepalanya ular tapi mempunyai rambut seperti manusia dan telinga seperti kelelawar. Ada juga telinga serta hidungnya mirip manusia tapi kepalanya ular, karena banyaknya jumlah sampai tidak bisa menggambarkan satu persatu bentuk para pengikutnya saat itu.

Nyi Blorong sendiri malam itu yang sedang berwujud manusia tak sempurna, karena seluruh tubuhnya bersisik ular. Ia berdiri di atas punggung ular yang besar sebagai kendaraannya. Tunggangannya yang berupa ular itu berwarna hitam, bermata merah dan berambut ular-ular hitam kecil.

Ilustrasi ular, dok: pxabay

Dari remang cahaya yang tersirat dari teras kiai Sofyan, terlihat jelas Nyi Blorong dengan wajah yang mengerikan sudah dipenuhi kemarahan.

“Sudah cukup, tidak usah diteruskan. Ini santriku," kata kiai Sofyan dengan mengarahkan telapak tangannya ke depan rombongan Nyi Blorong.

“Orang tua ini, heeemmm. Awas kamu awas kamu awas kamu," jawab Nyi Blorong dengan menggeram marah, dan mengacungkan tangannya kepada kiai Sofyan.

Perlahan Nyi Blorong mundur bersama pasukannya pelan-pelan sampai akhirnya ia menghilang ditelan kegelapan malam.

Kiai Sofyan hanya tersenyum melihat kegusaran Nyi Blorong. Moden yang bersembunyi di balik tubuh Kiai Sofyan dibuat heran, ada apa dengan kiai Sofyan yang terkenal melarat ini sampai Nyi Blorong tidak mau berurusan dengan beliau. Moden yang heran dan makin penasaran masih berdiri di belakangnya Kiai Sofyan memberanikan diri untuk bertanya.

“Kok bisa begitu kiai?," tanya Moden dengan menatap sang kiai sepuh.

“Udah enggak usah dibahas kita urusi Udin saja," jawab Kiai Sofyan.

“Iya kiai," jawab Moden yang pelan dan patuh, karena Moden sendiri tak berani bertanya lebih jauh lagi.

FYI, menurut beberapa sumber orang terdekat sang Kiai, di saat kiai Sofyan masih muda pernah berurusan dengan Nyi Blorong, mereka sempat berselisih pada akhirnya mereka berdua bertarung. Sekian lama pertarungan akhirnya dimenangkan Kiai Sofyan, selanjutnya mereka berdua membuat perjanjian bahwa kaum Nyi Blorong beserta pengikutnya tak akan menggangu keluarganya ataupun santrinya Kiai Sofyan, begitu juga Kiai Sofyan tidak akan menggangu pekerjaan Nyi Blorong bersama pengikutnya.

Mereka berdua kembali ke ruang tengah, malam itu juga kiai Sofyan memberikan minum dan doa kepada Udin. Selanjutnya mereka semua diajak ritual bersama Kiai Sofyan untuk membersihkan diri mereka, dari tanda tumbal yang sudah disematkan pada semua keluarga Udin. Penyemat dalam keluarga Udin tak lain ialah Sarji sendiri, sewaktu masih hidup.

Malam itupun Udin beserta keluarganya tidur di rumah Kiai Sofyan, Moden sendiri ikut menemani keluarga adiknya. Menjelang subuh sekitar jam tiga dini hari, Udin yang sudah tidur dengan lelap di ruang tengah tiba-tiba berteriak histeris dengan mata masih terpejam, ”Ayo Ji, ayo Ji, huuu huuu huuu!,”

Semua yang berada dirumah itu bangun dan mendatangi Udin, mereka melihat Udin berteriak dan menangis histeris dalam tidur,”bangun pak, bangun pak!!! ada apa?,” tanya Istri Udin yang sudah berada di sampingnya. Udin yang terbangun seketika dan langsung duduk, Moden yang sudah dari siaga di samping Udin dengan segera memberikan segelas air putih kepadanya.

”Diminum dulu Din," sehabis minum air putih, kedua mata Udin mulai berkaca-kaca serta bibirnya bergetar. Lalu dengan perlahan ia mulai bercerita.

“Ya…Allah, aku melihat Sarji sama Retno diikat, dirantai kakinya, tangannya, terus lehernya. Dua orang itu digiring ke Selatan lewat jalan besar yang mau masih istana besar. Anak dua itu teriak-teriak minta tolong, tapi yang menarik manusia empat tapi kepalanya ular semua. Dua orang itu ya dicambuk sama dipukuli memakai gada jikalau selesai berteriak-teriak. Rasanya seperti nyata beneran anak dua itu dibawa ke istananya Blorong. Tapi waktu aku mau Tarik tangannya Sarji sudah tidak bisa," terang Udin yang masih duduk dengan meneteskan air mata.

“Benar Din mimpimu itu, memang begitu kalau habis ikut pesugihane Blorong. Yo untung awakmu iso slamet, meski tidak ikut temanmu," jelas Kiai Sofyan yang sudah berada di depan Udin.

“Begitu ya kiai?," jawab Udin dengan tatapan sedih dan meneteskan air mata.

Ilustrasi mimpi buruk, dok: pixabay

“Hanya sedikit yang bisa selamat dari Blorong Din, kebanyakan tidak selamat yang ikut pesugihan Blorong," tegas Kiai Sofyan lagi

“Sudah kamu pakai salat malam sekarang, kamu sudah aman. Itu tadi cuma tanda, nyatanya temanmu itu sudah masuk ke alamnya Blorong," jelas Kiai Sofyan.

Pagi hari Udin kembali pulang ke rumah, memang benar kata Kiai Sofyan saat itu Udin sekeluarga sudah aman.

Tapi di rumahnya saat pagi hari itu bau amis yang berasal dari rumah almarhum Sarji mulai menggangu. Begitupun kalau menjelang malam bau busuk dari belakang rumah Udin berhamburan ke segala arah, banyak tetangga awalnya mengira hanya bangkai tikus atau hewan lain. Tapi anehnya bau ini semakin malam semakin menyebar ke penjuru gang dan aroma busuknya semakin kuat.

Di sore hari saat Sri memasak di dapur ia pun sempat melihat bayangan Retno yang sudah menjadi pocong berada di bawah pohon keres, awalnya Sri tidak percaya hal demikian. Tapi semenjak meninggalnya Retno kini ia merasa bisa merasakan kehadiran temannya. Sri sendiri sering kaget serta ketakutan saat ada suara suara menyerupai Retno yang memanggilnya tiba-tiba muncul.

Bahkan ketiga anak-anak Udin di sore hari saat bermain di belakang rumah juga sempat melihat sekelebat bayangan sosok Sarji yang berjalan mondar mandir. Malam hari itu juga Sri langsung mengadu kepada suaminya akan keadaan yang dirasakan Sri dan anak-anaknya.

Sejak hari itu kejadian demi kejadian yang menimpa Udin dan keluarganya, gangguan dari keluarga almarhum Sarji dan Retno semakin meningkat. Sering kali penampakan dan aktivitas yang tidak selayaknya di belakang rumahnya terjadi. Eksistensi Sarji dan Retno membuat Udin serta anak istrinya tidak nyaman lagi berada di rumahnya. Untungnya untuk Nyi Blorong sendiri sudah tidak pernah meneror keluarga Udin lagi.

Dengan keadaan sudah sedemikian rupa, selang tiga hari kemudian Udin memutuskan untuk menjual rumahnya meski dengan harga agak murah. Saat itu Udin tidak berusaha untuk membersihkan rumahnya karena ada beberapa alasan juga. Yang utama Udin ingin menghilangkan kenangan yang buruk bersama keluarga Sarji, lalu ia juga ingin hidup tenang dan membuka lembaran baru di tempat baru.

Sejak Udin pindah, ia tak lagi berurusan lagi dengan kerabat Sarji maupun Ronald. Untuk harta kedua orang temannya ini yang menjadi pemuja Blorong dengan cepat habis entah ke mana, Udin pun sudah tak mempedulikan hal itu. Karena sampai saat ini jika terkenang masa lalunya ia akan merasa takut dan sedih kembali.

Setelah terjual rumahnya Udin sendiri pindah ke desa sebelah. Tepatnya dekat rumah Kiai Sofyan. Hingga sampai saat ini Udin dan Sri sudah menua, mereka tetap bekerja seadaanya. Untuk anak-anaknya sekarang sudah menikah semua dan tinggal jauh dari Udin dan Sri.

Sekarang mereka berdua juga sudah menjadi kakek nenek di desa kiai Sofyan dan bisa hidup dengan tenang. Selama ini juga mereka hidup sederhana, serta mengabdikan diri untuk musala Kiai Sofyan dan kegiatan keagamaan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

-Tamat-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel