Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7 Misteri Pernikahan Buaya Putih Part 1

Tahun 2008 Waktu itu saya masih berumur 8 tahun dan ayah juga ibu saya mengajak untuk pergi ke desa sumatra untuk pergi ke acara pernikahan.

Ketika saya melihat isi undangan tersebut tertulis yang menikah adalah Nurhasannah binti Muhammad Aini dengan H Basid bin Muhammad.

Bahkan tidak pernah terpikir sekalipun di benak saya waktu itu jika Nur berwujud buaya dan Basid berwujud ular.

Sebuah pernikahan yang menerjang logika sehat. Namun, yang namanya pernikahan pastilah ada pesta begitu juga dengan pernikahan ini.

Pagi itu, ayah dan ibu mengenakan pakaian layaknya pergi kondangan karna masih anak-anak saya pun mau ikut dan ayah saya melarang karena tempatnya sangat jauh.

Dulu dari kota Kuala Tungkal menuju desa tersebut hampir makan waktu 3 sampai 4 jam. Karena memang jalannya memutar tidak seperti sekarang yang hanya dilakukan dalam 2 jam kurang saja sudah sampai.

Karena ngotot mau ikut, akhirnya ayah pun menyerah dan mengizinkan saya untuk ikut.

Lamanya perjalanan yang telah ditempuh, akhirnya kami pun sampai. Seperti pesta pada umumnya menggunakan tenda namun tidak ada pelaminannya. Kemudian saya semakin penasaran.

"Bu, katanya pergi acara nikah. Kok pengantinnya gak ada."

Tanyaku kepada ibu waktu itu

Namun, ibu tidak menjawab, dia malah seperti mencari-cari sesuatu. Dan ketika banyak orang bersalaman dengan sepasang suami istri, ibu pun mendekat dan menyalami orang tersebut kemudian bertanya

"Nurhasannah-nya di mana kak? Boleh saya melihat?" ucap ibuku kepada orang tersebut.

"Oh iya mari bu silakan. Pengantinnya sedang berada di kamar," ucap ibu itu kepada ibuku.

Kemudian, ibuku masuk dan menggandeng tanganku. Berbeda dengan ayah, ayah justru duduk di luar karna banyak temannya yang juga datang dari kota yang sama hanya untuk pergi ke acara ini.

Kemudian, aku dan ibuku pun masuk. Di dalam ternyata sudah ramai orang. Kamarnya dihias seperti kamar pengantin pada umumnya bahkan lebih mewah seperti singgasana kerajaan yang dibuat tujuh tingkat tangga untuk menaiki kamarnya dan hiasannya serba kuning.

Dari sarung bantal serta tirainya semua warna kuning. Kemudian, di bawah ada sebuah penghalang seperti kandang kayu. Orang yang ingin melihat tidak boleh melewati kandang kayu tersebut.

Sangat jelas kelihatan di singgasana tersebut terlihat buaya putih dengan moncong panjang sedang berbaring, dia hanya diam ketika orang di hadapannya sangat ramai melihat dirinya.

Kemudian ibuku pun mendekat kepada ibu pemilik rumah tadi

"Bagaimana bisa ibu memiliki anak seorang buaya begini bu?"

Lantas pertanyaan itu langsung membuat ibu yang punya rumah terdiam, matanya seperti menerawang mencoba mengingat apa yang terjadi pada waktu itu semua, seolah telah tersusun dan hanya tinggal diutarakan.

Para tamu yang berada di dalam rumah pun diam dan duduk seolah ingin tahu juga tentang bagaimana asal mula buaya itu menjadi anaknya.

Dan kisahnya dimulai di sini.

Di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari perkebunan karet tepatnya di B*****L*****, Sumatera Selatan, hidup sebuah keluarga yang memiliki tiga orang anak.

Sang ayah yang bernama Saini atau biasa di panggil Aini dan istrinya, Asmah, serta tiga orang anaknya Dani, Adi, dan Fendi, mereka hidup seperti orang pada umumnya. Sang ayah bekerja sebagai penyadap getah karet dan sang ibu mengurus rumah tangga.

Pagi itu Saini duduk di kursi depan rumah yang terbuat dari bambu sambil menyantap pisang goreng serta kopi di meja. Setelah memakan beberapa pisang goreng, Saini memutuskan untuk pergi menyadap getah karet yang memang pekerjaan dia sehari-hari.

"Bapak pergi kerja dulu ya bu," ucap Saini dengan suara agak keras karena istrinya Asmah sedang berada di dalam mencuci pakaian.

"Iya pak, hati-hati," jawab Asmah dari dalam rumah.

Kemudian Saini pun pergi dan bekerja sebagaimana biasanya.

[Cerita Adaptasi dari Twitter.cm/angah_put]

Mereka pun menajalani hidup sebagaimana biasanya. Rutinitas Saini yang bekerja kemudian pulang pada sore hari. Bercengkrama dengan anak setelah pulang kerja seperti keluarga bahagia yang hidup sederhana pada umumnya.

Sampai saat Asmah mengandung lagi. Asmah mengandung anak keempat setelah Fendi. Di usia kandungannya yang 4 bulan Asmah ngidam seperti ibu mengandung pada umumnya sampai ketika di waktu malam Senin.

"Pak, Bapak."

"Ada apa bu? Si bayi mau apa," ucap Saini sambil mengelus perut Asmah.

"ayam bakar pak."

"Serius malam begini? Di mana mau carinya, bu?"

Kemudian Asmah sedikit mengkerutkan dahinya.

"Potong saja ayam yang di kandang satu pak. Bapak bakarin di belakang nanti Biar ibu buatin bumbunya."

"Iya iya deh kalo gitu," ucap Saini sambil berdiri dan mengambil pisau tajamnya.

Setelah itu ayam sudah disembelih, Saini pun merebus air sebentar lalu mencelupkan ayam tadi dan segera mencabuti bulu ayam tersebut.

Setelah itu dia menggali lobang lecil yang di atasnya diletakkan kayu melintang seperti panggangan.

"Mana bumbu bakarnya, bu." Teriak Saini dari luar rumah. Kemudian tak lama Dani pun menghampiri Saini sambil membawa mangkuk yang berisikan bumbu bakar yang di buat Asmah tadi.

"Ini pak bumbunya," ucap Dani sambil memberikan mangkuk itu kepada ayahnya.

"Loh kamu kok belum tidur nak?" ucap Saini sambil mengambil mangkuk itu.

"Tadi udah tidur sih pak sama adik-adik. Tapi kebelet mau pipis ehh liat ibu ngulek bumbu, Dani tanyain katanya buat bakar ayam. Udah selesai pipis, ibu malah manggil katanya kasih ke bapak."

"Yaudah kalo gitu naik ke rumah lagi lanjut tidurnya," ujar Saini.

"Nanti aja ah pak. Dani mau bantu bapak." Sambil mengambil ranting ranting pohon yang bertaburan di tanah.

"Besok kamu mau sekolah nanti kesiangan nak."

"Enggak kok pak cuman sebentar"

Kemudian ranting tadi terkumpul banyak dan Saini mulai menghidupkan api untuk memanggang ayam yang sedari tadi sudah disiapkannya. Tak lama ayam yang tadi pun sudah selesai di panggangnya kemudian Saini pun naik ke rumah sambil mengandeng Dani anaknya tersebut.

Dilihatnya Dani seperti menahan kantuk.

"Ini bu ayam bakarnya." Sambil memberikanya kepada Asmah.

"Makasih ya pak."

Asmah melihat Dani yang lesu seperti seorang yang tengah mengantuk tersebut langsung menyuruhnya ke kamar untuk segera tidur.

"Gak cicipin ayam bakarnya dulu, Dan? Kasian tadi udah nemenin bapak bakarnya."

"Besok pagi aja nanti Ibu tinggalin ayamnya biarkan dia tidur pak. Besok dia mau sekolah." Dani yang mengantuk pun juga tidak ada selera mau makan. Lantas langsung merebahkan badannya di kasur yang di sebelahnya sudah ada adik-adiknya.

Lalu Asmah yang sedari tadi makan ayam panggang tersebut tanpa disadari habis tanpa menyisakan sedikit pun.

"Ya ampun ibu, katanya mau tinggalin buat Dani besok pagi," ucap Saini sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya enggak tau pak. Ibu aja gak sadar bisa mengabiskan ayam itu sendirian," ucap Asmah.

"Yaudah bu, besok beli aja di pasar kalo Dani nyariin ayam bakarnya. Sekarang ibu tidur lagi"

" Iya pak," ucap Asma sambil melangkah ke kamar yang diikuti Saini.

Di malam mereka tertidur, Saini bermimpi bertemu seseorang yang wajahnya sangat ia kenali. Ternyata seseorang tersebut ialah Sinampar, kakek dari Saini. Beliau sudah meninggal lamanya dan berasal dari kalimantan.

"Cu, kakek boleh pinjam kamu gak?"

Maksud di pinjam

Cukup lama hening dan Saini terlihat melamun.

"Ada apa pak, apa ada yang bapak pikirkan?," ujar Asmah yang melihat Saini begitu bingung dengan lamunannya.

"Gak ada apa-apa kok bu, bapak cuman teringat sewaktu kakek datang ke mimpi bapak," ucap Saini.

Mendengar itu Asmah pun memandang Saini dengan harap suaminya itu akan melanjutkan kisahnya.

"Kakek sinampar pernah mengatakan jika dia ingin meminjam bapak untuk ikut bersamanya. Namun bapak menolak untuk ikut, sampai pada akhirnya kakek bilang mau meminjam putri kita, dan bapak hanya mengangguk karena bapak pikir kita tidak punya anak perempuan. Setelah itu dia mengatakan jika suatu saat akan dia kembalikan" ucap Saini mengakhiri kisahnya.

Mendengar itu Asmah hanya bisa pasrah dan berserah tentang bagaimana dan apa yang sudah terjadi pada anak yang seharusnya dia lahirkan ke dunia itu justru tidak ada di dalam keluarganya.

"6 juni 1991, Bapak sudah mengingat tanggal dimana waktu itu ibu mengalami pendarahan. Dan tanggal itu adalah tanggal kelahiran dari nurhasannah putri kita."

Asmah hanya mengangguk meskipun di hatinya dia merasa kecewa jika dia tidak memilik anak perempuan dan ketika sudah hampir memiliki malah kejadian seperti ini.

Waktu pun berlalu Begitu cepat, Asmah dan Saini menjalani hidup sebagaimana biasanya semenjak dari mimpi itu. Asmah sudah tidak lagi bermimpi bertemu dengan suara yang mengaku anaknya itu hampir sudah 9 tahun lamanya.

Ketika di tahun 2000, tepatnya pada bulan awal januari di malam senin, Saini pun bermimpi bertemu dengan kakeknya namun dilihatnya waktu itu, sang kakek sedang menggendong seekor anak buaya.

"Saini.. Sesuai janjiku. Akan aku kembalikan anakmu. Tapi aku kembalikan dalam wujud seperti ini (sambil menyodorkan anak buaya yang di gendongannya) apakah kau menerimanya?," ucap Kakek Sinampar.

Saini yang melihat itu hanya bisa diam dan tidak bisa berkata-kata kemudian menerima dan menggendong buaya tersebut. Buaya tersebut nampak tidak ganas atau pun liar justru ketika di gendong Saini dia menjadi diam.

Ketika ingin bertanya perihal anaknya itu, tiba-tiba sang kakek menghilang dan meninggalkan kebingungan terhadap Saini. Sampai akhirnya Saini pun terbangun. Di lihatnya jam sudah pukul 5 subuh ketika menoleh ke samping Asmah sudah tidak ada di di sebelahnya.

Ternyata Asmah mempersiapkan makanan di dapur untuk bekal Saini pergi melaut menangkap ikan. Saini pun beranjak dari tempat tidurnya mencuci muka dan mulai salat subuh meskipun telat.

Setelah itu dia ke dapur untuk mengambil perbekalan sekalian sarapan.

Saini tidak mau menceritakan perihal mimpinya. Karna dia melihat Asmah begitu ceria pagi ini dan dia tidak ingin merusak senyum Asmah jika dia harus menceritakan tentang mimpinya tersebut.

Ketika sudah sudah sarapan Saini pun pamit.

"Bapak pergi melaut dulu buk," ucap Saini.

Sambil menyodorkan tangan kanannya dan kemudian di sambut Asmah yang langsung mencium tangan Saini.

"Hati-hati ya pak" ucap Asmah kepada sang suami.

Kemudian Saini pun melangkah keluar dan mulai menuju sungai yang berada di seberang pekarangan rumahnya tersebut.

Hari itu, Asmah yang biasanya mengerjakan hal-hal yang biasa di kerjakan oleh ibu rumah tangga pada umumnya di buat heran.

Karna dari pagi hingga siang hari terlihat seseorang mondar-mandir melewati rumahnya. Seperti ingin mencari sesuatu namun tidak mau mendekat.

Cukup lama hening dan Saini terlihat melamun.

"Ada apa pak, apa ada yang bapak pikirkan?," ujar Asmah yang melihat Saini begitu bingung dengan lamunannya.

"Gak ada apa-apa kok bu, bapak cuman teringat sewaktu kakek datang ke mimpi bapak," ucap Saini.

Mendengar itu Asmah pun memandang Saini dengan harap suaminya itu akan melanjutkan kisahnya.

"Kakek sinampar pernah mengatakan jika dia ingin meminjam bapak untuk ikut bersamanya. Namun bapak menolak untuk ikut, sampai pada akhirnya kakek bilang mau meminjam putri kita, dan bapak hanya mengangguk karena bapak pikir kita tidak punya anak perempuan. Setelah itu dia mengatakan jika suatu saat akan dia kembalikan" ucap Saini mengakhiri kisahnya.

Mendengar itu Asmah hanya bisa pasrah dan berserah tentang bagaimana dan apa yang sudah terjadi pada anak yang seharusnya dia lahirkan ke dunia itu justru tidak ada di dalam keluarganya.

"6 juni 1991, Bapak sudah mengingat tanggal dimana waktu itu ibu mengalami pendarahan. Dan tanggal itu adalah tanggal kelahiran dari nurhasannah putri kita."

Asmah hanya mengangguk meskipun di hatinya dia merasa kecewa jika dia tidak memilik anak perempuan dan ketika sudah hampir memiliki malah kejadian seperti ini.

Waktu pun berlalu Begitu cepat, Asmah dan Saini menjalani hidup sebagaimana biasanya semenjak dari mimpi itu. Asmah sudah tidak lagi bermimpi bertemu dengan suara yang mengaku anaknya itu hampir sudah 9 tahun lamanya.

Ketika di tahun 2000, tepatnya pada bulan awal januari di malam senin, Saini pun bermimpi bertemu dengan kakeknya namun dilihatnya waktu itu, sang kakek sedang menggendong seekor anak buaya.

"Saini.. Sesuai janjiku. Akan aku kembalikan anakmu. Tapi aku kembalikan dalam wujud seperti ini (sambil menyodorkan anak buaya yang di gendongannya) apakah kau menerimanya?," ucap Kakek Sinampar.

Saini yang melihat itu hanya bisa diam dan tidak bisa berkata-kata kemudian menerima dan menggendong buaya tersebut. Buaya tersebut nampak tidak ganas atau pun liar justru ketika di gendong Saini dia menjadi diam.

Ketika ingin bertanya perihal anaknya itu, tiba-tiba sang kakek menghilang dan meninggalkan kebingungan terhadap Saini. Sampai akhirnya Saini pun terbangun. Di lihatnya jam sudah pukul 5 subuh ketika menoleh ke samping Asmah sudah tidak ada di di sebelahnya.

Ternyata Asmah mempersiapkan makanan di dapur untuk bekal Saini pergi melaut menangkap ikan. Saini pun beranjak dari tempat tidurnya mencuci muka dan mulai salat subuh meskipun telat.

Setelah itu dia ke dapur untuk mengambil perbekalan sekalian sarapan.

Saini tidak mau menceritakan perihal mimpinya. Karna dia melihat Asmah begitu ceria pagi ini dan dia tidak ingin merusak senyum Asmah jika dia harus menceritakan tentang mimpinya tersebut.

Ketika sudah sudah sarapan Saini pun pamit.

"Bapak pergi melaut dulu buk," ucap Saini.

Sambil menyodorkan tangan kanannya dan kemudian di sambut Asmah yang langsung mencium tangan Saini.

"Hati-hati ya pak" ucap Asmah kepada sang suami.

Kemudian Saini pun melangkah keluar dan mulai menuju sungai yang berada di seberang pekarangan rumahnya tersebut.

Hari itu, Asmah yang biasanya mengerjakan hal-hal yang biasa di kerjakan oleh ibu rumah tangga pada umumnya di buat heran.

Karna dari pagi hingga siang hari terlihat seseorang mondar-mandir melewati rumahnya. Seperti ingin mencari sesuatu namun tidak mau mendekat.

Sampai pada akhirnya usia kandungan Asmah pun menginjak sebelas bulan, tepatnya pada awal Juni 1991. Lalu enam hari setelahnya Asmah bermimpi jika dia melahirkan seorang perempuan dalam keadaan banjir. Sontak ketika dia terbangun betapa terkejutnya dia karena dia mengalami pendarahan dan langsung berteriak.

"Aaaa bapak tolongg ibu!" teriak Asmah.

Saini yang tidur di sebelah Asmah langsung terbangun dan dilihatnya Asmah sudah mengeluarkan darah dan langsung keluar rumah menjemput nyi Lastri.

Sesampainya di rumah Nyi Lastri, Saini pun langsung mengetuk pintu rumahnya.

"Nyii.. Nyi Lastri.. Buka pintunya!"

Kemudian tak lama Nyi Lastri keluar.

"Ada apa pak Saini malam malam begini gedor rumahku," ucap nyi Lastri yang masih dalam keadaan ngantuk.

"Istriku nyi.. Istriku mau melahirkan.."

Kemudian Nyi Lastri langsung tercekat dan masuk kedalam dan langsung mempersiapkan diri menggunakan kerudung seadanya dan langsung bergegas kerumah Saini.

Di kamar, Asmah yang sedari tadi tidak bisa melakukan apa apa hanya terbaring di kamar. Sampai akhirnya Nyi Lastri datang, dilihatnya Asmah dan mengintruksikan Asmah untuk segera tarik nafas lalu dorong.

Beberapa kali Asmah melakukan tidak seorang bayi pun keluar dan perutnya masih membesar. Hingga akhirnya, Nyi Lastri pun hanya membersihkan darah dari Asmah dan memutuskan untuk tinggal di rumah Asmah karna dirinya yang sewaktu waktu bisa saja melahirkan.

Kejadian Asmah sewaktu pendarahan itu pun selalu diingat Saini. Dia menulis tanggalnya untuk selalu mengingatnya. Karna dia yakin pasti ada kaitannya kenapa bisa sampai 11 bulan sang istri mengandung.

Tiga hari setelahnya yaitu tanggal 9 juni 1991 malam hari, Asmah kembali merasakan sakit di perutnya.

"Aduuuh sakit.. Pak!" teriak Asmah dari dalam kamar.

Ketika itu Saini dan keluarga sedang duduk di ruang tamu. Mendengar jeritan dari Asmah, Saini pun langsung menghampiri kamar ternyata Nyi Lastri sudah lebih dulu datang dan langsung membantu Asmah.

"Pelan-pelan bu, tarik napass, laluu doronggg," ucap nyi Lastri.

Asmah pun mengikuti dan akhirnya anaknya pun lahir. Setelah itu Nyi Lastri menunggu apakah masih ada anak yang akan lahir lagi.

Dilihatnya Asmah sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan perutnya juga sudah tidak membesar. Kemudian Nyi lastri membersihkan bayi itu lalu kembali lagi ke dalam kamar.

"Anaknya laki-laki bu," kata Nyi Lastri

Asmah mengucap syukur begitu pula dengan Saini.

"Katanya anak saya kembar, Nyi? Kenapa sakit di perut saya sudah berhenti?" ucap asmah yang merasa sedikit khawatir karna memang Nyi Lastri juga pernah mengatakan jika dia akan memiliki anak kembar.

Dia hanya takut apa yang dimimpikannya itu benar adanya. Kemudian Nyi Lastri memberikan bayi itu kepada Saini dan mengecek kandungan Asmah dengan diurutnya sedikit.

"Tidak ada anak lagi di dalam kandungan ibu, mungkin belum rezeki ibu untuk dititipkan anak kembar," ucap Nyi Lastri.

Kemudian raut wajah Asmah sedikit bersedih namun dia tahan karna baginya meskipun yang lahir hanya satu namun dia tetap bahagia.

Saini pun mendekat kepada asmah.

"Tak apa bu, yang penting anak kita lahir dalam keadaan selamat dan ibu juga selamat," hibur Saini kepada Asmah.

Asmah pun kembali tersenyum dan anak itu diberi nama Roni oleh Saini.

Setelah kelahiran anaknya itu, kemudian Saini memutuskan untuk pindah, dan menuju desa G yang berdekatan dengan sungai. Bahkan pekarangan dari rumahnya tersebut berseberangan dengan sungai.

Karena tinggal di dekat sungai, Saini pun mengubah Profesi dulu dia menyadap karet......

Bersanbung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel