Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Si Posesif

Sudah seminggu gadis cantik itu tinggal bersama keluargaku. Anehnya, semenjak kehadiran dia di rumah ini, malam lelapku tak lagi bermimpi tentang dirinya. Ketenangan bisa lebih kurasakan, bahkan rasa nyaman saat menatap wanita itu begitu nyata hadir dalam relung batin. Aneh memang, tapi semua itu sungguh nyata.

Seperti hari ini, kulihat ia begitu anggun memesona dalam balutan pakaian seragam putih abu-abu dengan rambut digerai dan ada kepangan kecil dari belahan tengah rambut menyamping di kedua sisi. Tak tampak seperti gadis desa, ia justru bak tuan putri yang mengalihkan duniaku. Entah sejak kapan tanpa aku sadari ada pendar asmara yang mulai mengusik istana hatiku yang telah lama kosong.

“Meisya, hari ini kamu sudah mulai berangkat sekolah, ‘kan?” tanya mama yang melihat Meisya telah menggendong tas ransel dan membopong beberapa buku dalam dekapannya.

“Iya, Nyonya. Aku sudah seperti anak kota belum, Nyonya?” tanyanya seraya memacak diri meminta pendapat.

Mama tersenyum melilhat tingkah lucu Meisya, gadis berusia 17 tahun itu. Di usia sweet seventeen, Meisya telah memperlihatkan pesona dalam dirinya. Aku yakin, ia akan jadi primadona di sekolahku nanti. Akan banyak pesaing yang mendekati dan mencoba mendapatkan cintanya.

Tunggu dulu, apa barusan aku bilang ‘akan ada banyak pesaing’? ah, lucu sekali diri ini. Kenapa bisa berpikir seperti itu seolah aku menginginkan cinta dari Meisya.

“Berangkatnya bareng Darren saja, dia naik motor.”

“Darren hari ini maunya diantar sopir aja, Ma.” Aku memotong ucapan mama, sungguh aku belum siap berduaan dengan Meisya karena setiap dekat dengannya justru debaran jantung ini berpacu lebih kencang.

“Kenapa, Sayang?”

“Daren lagi nggak enak badan, Ma. Lagi nggak pengen capek.”

“Lho, kalau sakit kenapa berangkat sekolah?”

“Ma ….”

“Iya, iya. Nanti aku suruh sopir antar kamu dan Meisya.”

“Nggak usah, Nyonya. Biar saya berangkat naik angkot.”

“No, no, no … kamu anak gadis, nggak boleh pergi sendirian. Selama kamu di sini aku yang bertanggungjawab atas keselamatan kamu.”

Kenapa, sih, Mama begitu bersikeras menyuruh Meisya pergi sekolah bersamaku? Sungguh ia tak mengerti jika anaknya susah payah mengendalikan perasaan yang tak menentu ini.

Tak dapat ditolak lagi titah perempuan yang teramat kusayangi ini, akhirnya aku duduk berdua di jok belakang bersama gadis pencuri hati. Entah sejak kapan aku merasa hati ini telah dicuri oleh Meisya.

Debaran ini semakin menjadi kala rambut Meisya mengibas tepat di mukaku. Bau harum vitamin rambut yang ia gunakan menggelitik indera pembau, membangunkan sebuah rasa yang aku sendiri tak mengerti.

“Mas Darren, nanti aku diantar ke kelas dulu, ya? Aku belum tahu ruangan XIB di mana.”

“I-iya,” jawabku gugup.

Aku semakin tak mengerti kenapa aku menjadi salah tingkah. Baru kali ini aku canggung di hadapan gadis. Selama di Sekolah Menengah Atas, setidaknya sudah ada tiga belas cewek yang kubuat patah hati setelah aku pacari. Sedangkan yang aku tolak entah sudah berapa gadis.

“Sudah sampai, Den Darren.” Suara Pak Jo membuyarkan lamunanku.

“Mas Darren, ini sekolahannya, ya? Waah … gede banget! Beda dengan di kampung aku,” celoteh Meisya sembari menampakkan kekagumannya.

“Iya. Ayo, cepetan turun. Aku antar kamu ke ruang kelas.”

“Tapi, Mas ….”

“Tapi apa?’

“Anak kota suka membully, nggak?” Tampak ada kekhawatiran pada raut wajah lugu itu.

“Kamu takut?”

“Iya, Mas. Katanya kalau anak kota ngebully sampai si korban bunuh diri.”

Ampun, deh! Ini gadis paranoid banget. Tapi nggak salah dia juga, sih, karena memang banyak kasus bullying di sekolah perkotaan. Mungkin karena gaya hidup mereka yang berkiblat kebarat-baratan sehingga hilang norma perilaku yang seharusnya mencerminkan pribadi orang timur.

“Mas! Jangan ngelamun, donk! Gimana kalau nanti mereka nggak suka karena aku gadis dari desa?”

Kuhela napas panjang, mencoba berpikir mencari ide agar gadis ini merasa nyaman dengan lingkungan barunya.

”Ya, sudah. Nanti aku kenalkan kamu ke mereka sebagai adik sepupu aku.”

“Yang bener, Mas? Mas Darren nggak malu punya sepupu dari desa kayak aku?”

Sungguh ia gadis yang lugu dan jujur jika bicara. Kutatap mata indah itu, sesaat aku terlupa bahwa aku masih berada dalam mobil.

“Den Darren, buruan turun. Bentar lagi mau bel bunyi, lho.” Kembali Pak Jo mengingatkan.

“Eh, Iya. Ayo, turun!” titahku seraya membuka pintu mobil.

Begitu turun, Meisya langsung bergelayut di lenganku, membuat aku sedikit kaget dan semakin tak menentu perasaan ini.

“Meisya, tolong lepas tanganmu.”

“Kenapa, Mas Darren? Aku takut kalau harus jalan sendirian.”

Huff ….

“Kok, mendengus? Marah, ya? “

“Meisya … aku antar kamu sampai ke kelas kamu. Tapi tolong jangan gandeng tanganku, kita nggak lagi nyebrang jalan.”

“Hahaha … Mas Darren ini lucu banget, deh!”

Aku mendelik saat melihat gadis polos itu tertawa kecil sembari mencubit perutku. Jujur, kuakui ia gadis supel yang mudah bergaul. Sikapnya tak canggung saat di depan orang yang baru ia kenal. Aku yakin, dia akan banyak kawan bahkan fans pria di sekolah ini.

“Hai, Darren. Wah, punya gebetan baru, ya? Siapa, nih? Kayaknya anak baru.” Tetiba sebuah suara bernada mengejek terdengar dari arah lain, tampak seorang gadis dengan rambut curly ujung diikuti dua teman sesama perempuan di belakangnya.

Otomatis kepala ini menoleh ke arah sumber suara. Alea, gadis populer yang sempat berpacaran denganku meski hanya bertahan satu bulan. Hingga kini ia merasa sakit hati dan terus mencoba menghalau gadis lain yang berusaha mendapatkan perhatianku.

“Hai, anak baru! Jangan mau dikadalin Darren, dia itu playboy cap teri!” ucapnya ke Meisya penuh dengan cibiran.

“Iyakah, Kak? Baru tahu kalau Mas Darren playboy, hahaha … kalau di rumah dia manja banget, lho,” jawab Meisya yang justru makin membuatku kehilangan muka, bola manikku kembali mendelik dan segera kuinjak saja kakinya.

“Auugh! Apaan, sih, Mas Darren ini!” teriak Meisya kesakitan.

“Kamu tahu keseharian, Darren? Kita-kita yang sudah lama kenal dia saja sampai sekarng nggak tahu dia gimana kalau di rumah.”

“Ya, pasti tahu, Kak. Aku tinggalnya di rumah Mas Darren, jadi bisa tahu semuanya. Makan saja masih disuapin mamanya.”

“What? Are you sure?” tanya Alea dengan ekspresi tak percaya.

“Kakak itu ngomong apa, toh? Nggak paham aku, maklum Bahasa Inggrisku nggak pinter. Eh, tapi itu tadi Bahasa Inggris apa bukan, Kak?”

Sesaat Alea dan kedua temannya melotot kaget dengan tingkah Meisya yang benar-benar polos. Entah antara polos atau blo’on yang nggak ketulungan. Setelah itu mereka saling pandang, kemudian tergelak ngakak seolah merasa lucu dengan sikap gadis desa itu.

“Darren, kamu dapat cewek ini dari mana, sih? Mungut dari planet pluto?” ejek Alea yang sontak mengundang tawa keras kedua temannya.

“Eh, Kakak ini tak tahukah? Planet pluto itu sudah nggak ada, karena planet pluto dianggap planet yang gagal.”

“Bodo amat!” ketus Alea sembari mengibaskan rambut dengan tangan kanannya.

Mereka yang menamai gengnya dengan nama The Beauty Girl’s segera beranjak pergi, melenggangkan tubuh bak peragawati. Sebenarnya Alea hanya menang paras saja, tapi untuk kecerdasan ia sama saja dengan rerata siswa lain. Ditambah ia adalah anak dari pemilik yayasan pendidikan tempat aku sekolah ini.

“Mas Darren, dia siapa, sih?” tanya Meisya dengan tatapan penuh rasa penasaran.

“Sudah jangan banyak tanya. Sebentar lagi bel masuk, buruan aku antar kamu ke kelas.” Dengan sedikit kasar kutarik tangannya menuju ruang kelas tempat ia akan belajar.

“Ini kelas kamu, nanti saat istirahat jangan mencoba mencari aku!” titahku saat ia sudah ada di depan kelasnya.

“Kenapa, to, Mas Darren? Takut aku minta dijajanin, yo?”

“Udah, jangan banyak tanya!”

“Iya.”

Tanpa menunggu ia masuk kelas, aku sudah melenggangkan kaki pergi meninggalkan Meisya yang mungkin saat ini masih deg-degan di lingkungan barunya. Lebih baik aku jaga jarak dengan dia karena tak ingin gadis lugu itu terkena masalah dari Alea yang terus saja cemburu kepada setiap gadis yang mendekatiku.

Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia melakukan perundungan terhadap Jenny si cewek cupu namun smart yang sering menghabiskan waktu bersamaku di meja perpustakaan.

Aku memang nyaman saat diskusi dengan gadis berkaca mata tebal itu. Banyak ilmu pengetahuan yang bisa menjadi bahan pembicaraan, bahkan kami pernah belajar tentang coding untuk menciptakan sebuah aplikasi belajar.

Tapi sayangnya, Jenny memilih pindah sekolah karena tak tahan lagi dibully oleh Alea dan geng. Meski tak main fisik tapi mereka menyerang secara psikis. Tak jarang yang menjadi korban akhirnya memutuskan pindah sekolah karena jika mengadu pun sia-sia. Alea adalah anak salah satu pendiri Yayasan, sudah pasti memiliki kekuatan.

Sejak saat itu aku memilih tak dengan dengan siapa pun agar semua aman dari serangan Alea yang seperti tokoh Bayangker Peri dalam film Balveer. Cantik tapi hatinya seperti penghuni rumah angker. Menyeramkan!

Hari ini adalah hari pertama Meisya masuk sekolah, seharusnya aku bisa menemani dia. Namun, niat itu kuurungkan karena sedari pagi Alea terus saja memperhatikan gerak-gerikku. Parahnya, hari ini ia nekad duduk di kursi yang ada di seberang kiriku.

“Darren, boleh nggak aku hari Minggu main ke rumah kamu?” tanya Alea setengah berbisik.

Aku masih berpura-pura tak mendengar, sengaja kuabaikan panggilannya dan fokus dengan pelajaran Bahasa Inggris yang disampaikan oleh Miss Lena.

Aku paling semangat jika memperhatikan pelajaran dari guru muda nan cantik itu, apalagi masih lajang. Ada lesung pipit di kedua pipi, kulitnya juga bersih dan wajah Miss Lena cerah bersinar. Ah, sempurna sekali wanita yang jadi guru Bahasa Inggris-ku itu.

Tangan kiriku seketika kugunakan untuk menumpu dagu, sebuah ide muncul saat menatap wajah Miss Lena. Kalau saja aku bisa mengambil hati wanita dewasa itu, pasti Alea tak akan berani mengganggu.

Tapi apa mungkin aku bisa menaklukan hati wanita yang usianya di atasku? Apalagi notabene Miss Lina adalah salah satu guru yang cukup ditakuti karena sikap tegasnya bahkan dalam memberi nilai tak pandang bulu.

Pernah Alea dibikin marah karena mendapat nilai kurang dari KKM, sontak ia melaporkan Miss Lena ke ayah Alea. Sungguh tak kusangka, jawaban Miss Lena mampu membuat lelaki pemilik kuasa itu terdiam.

Niat hati ingin memarahi guru Bahasa Inggris itu, tetapi dengan tegas Miss Lena berkata bahwa ia mengajarkan ilmu untuk digunakan siswa hingga kelak mereka besar, jika ada siswa yang masih salah, tak mungkin dibenarkan begitu saja.

Ilmu tak memandang status, semua orang berhak mendapat ilmu dan begitu pun penilaian. Dalam menilai tak pandang status anak siapakah dia, karena seorang guru sudah seharusnya memberikan penilaian yang bersifat objektif.

Sungguh Miss Lena adalah guru yang hebat. Aku suka dengan sikapnya yang tak pernah membedakan siswa. Meski ia sering bertentangan dengan kepala sekolah, tapi ia lebih suka dengan pendiriannya.

Kurasa jika ia menjadi kekasihku, maka Alea tak akan punya keberanian lagi untuk menggangguku. Tak aka nada lagi korban bully akibat rasa cemburu Alea kepada setiap gadis yang mencoba mendekatiku.

“Darren! Denger nggak kalau aku bicara! Huh!” Alea dengan kasar menyambar tangan yang sedang kugunakan untuk menopang dagu sehingga hampir saja aku terjatuh karena kaget.

“Apaan, sih? Berisik!” bentakku dengan kesal.

“Ada apa, Darren?” tanya Miss Lena dengan pandangan ke arahku.

“Alea mengganggu sejak tadi, Miss!” Aku mencoba mengadu, berharap Alea akan mendapat teguran dari Miss Lena.

“Bukan begitu, Miss. Dari tadi Darren hanya melamun, makanya aku ingetin dia untuk memperhatikan penjelasan Miss Lena.” Alea mencoba mencari pembenaran atas sikapnya.

Huh! Dia memang paling pintar kalau berkelit. Dasar mulut ular, lidahnya bercabang dua. Jadi, pinter dia membolak-balikkan fakta. Eh, tapi bener juga, sih! Tadi aku memang sedang melamun tentang Miss Lena. Hihihi … untung saja wanita itu tak tahu.

“Benar itu, Darren?”

“Nggak, Miss. Dari tadi aku dengerin penjelasan dari Miss Lena, kok.”

“Kalau begitu, coba jelaskan kembali yang telah Miss jelaskan tadi.” Dengan tatapan yang begitu tenang dan kedua tangan bersedekap ia mengujiku.

Huff ….

Tadi dia menjelaskan apa, ya? Kucoba melihat tulisan yang ada di papan tulis berwarna putih itu, kemudian membuka otak untuk memahami. Tapi ….

“Maaf, Miss. Saya masih belum paham pelajaran hari ini. Boleh diulang sekali lagi?”

“Hahaha ….” Sontak satu kelas menertawakan kebodohon yang baru saja kulakukan.

Ini gara-gara sibuk berpikir tentang niatan hati untuk menjadikan Miss Lena sebagai pacar. Alhasil malah malu duluan sebelum maju perang.

Hmm … tapi aku jadi punya ide untuk memanfaatkan kejadian ini. Aku akan membujuk mama agar meminta Miss Lena datang ke rumah untuk bimbingan privat. Jadi, aku punya banyak waktu untuk mendekati wanita dewasa itu.

“Darren, kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Wah, sepertinya lagi jatuh cinta, nih? Sudah balikan dengan Alea, ya?” ledek Miss Lena saat melihatku tersenyum simpul membayangkan duduk berdua dengan dirinya.

Mendengar ledekan itu sontak wajah ini berubah pias. Sungguh ia tak peka. Eh, mau peka gimana? Aku kan belum nunjukin sikap suka, hahaha ….

Tunggu saja Alea, akan kuhentikan sikap posesifmu itu. Coba saja kamu lawan Miss Lena kalau berani. Biar tahu rasa dia, bakalan mengkeret nyali dia.

Kulirik Alea yang masih bermuka masam, senyum sinis kuperlihatkan padanya dengan sengaja. Kali ini musuhmu beneran kakap, Alea! Hahaha ….

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel