Pustaka
Bahasa Indonesia

Misteri Gadis Lintas Waktu

44.0K · Ongoing
GeaLova
48
Bab
248
View
9.0
Rating

Ringkasan

Darren mengalami mimpi yang sama semenjak usia 10 tahun. Pada saat usia 18 tahun, satu persatu mimpi tersebut mulai jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi awal keyakinan bahwa apa yang dialami Darren bukan sekedar mimpi, melainkan ada tabir rahasia yang perlu diungkap. Usaha mengungkap kebenaran, menyeret Darren ke tempat kejadian masa lampau. Bahkan arwah yang mengganggap dia kekasih di masa lalu pun tak mau melepaskannya. Siapa sebenarnya arwah tersebut? Ada rahasia apa yang selama ini disembunyikan?

Pengembara WaktuSupernaturalFantasiDokterWanita CantikTuan MudaRomansaSalah PahamMenyedihkanZaman Kuno

Mimpi Aneh

Bunyi debum mobil yang ditabrak oleh sebuah truk besar terdengar begitu keras. Teriakan empat orang yang ada dalam mobil begitu histeris.

"Aaa!!!" teriakku seketika saat bayangan sebuah mobil itu mengarah dan menabrakku.

Teriakan itu berbarengan dengan tersadarnya diri ini dari mimpi buruk. Aku terbangun dengan peluh yang telah membasahi tubuh. Jantung berdetak lebih cepat bak dentuman meriam yang meledak-ledak.

Ah, lagi-lagi mimpi yang sama. Aku pun tak mengerti kenapa mimpi yang sama selalu datang menghampiri tidurku. Sudah hampir delapan tahun bunga tidur yang aneh terus hadir menghias pikiran alam bawah sadarku.

Aku Darren, usiaku hampir genap 18 tahun dan sedang menyelesaikan pendidikan di SMA Elite di kotaku, aku masih duduk di kelas XII. Aku termasuk anak yang cukup populer di sekolahku. Tak hanya memiliki wajah tampan, namun prestasiku juga dapat dibanggakan.

Beberapa kali memegang sabuk juara pertama karate tingkat nasional dan tahun kemarin masuk dalam tiga besar juara Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika.

Sebenarnya pada saat sang mentari mulai muncul bertahta aku sangat menikmati hari-hariku. Namun, ketika malam menjemput maka ketakutan akan hadirnya mimpi yang terus berulang membuat diriku sering mengalami insomnia.

Sungguh aku tak mengerti kenapa bayangan mengerikan itu terus saja hadir membayangi malamku. Terkadang muncul sesosok wanita yang aku sendiri tak tahu dia siapa. Entah kenapa sudah beberapa kali ia menyapaku dalam mimpi nan indah.

Saat usiaku masih sepuluh tahun, bayangan gadis itu hanya samar-samar. Tetapi entah sejak kapan wajah gadis yang hadir dalam mimpi itu semakin jelas. Senyum yang ia ulas, belaian tangan di pipi yang ia beri, dan bisikan di gendang telinga pun semua serasa nyata.

"Darren ... bangun, Sayang!" Sebuah suara dari luar kamar membuyarkan lamunanku.

Kuseka peluh di dahi, kemudian melepas kaos yang telah basah karena peluh membanjiri tubuh. Melirik penanda waktu di atas nakas, ternyata sudah menunjukkan pukul 17.35 dan mentari mulai berpamitan di kaki langit sebelah barat.

"Darren, sudah sore. Bangun, Sayang. Segera mandi." Kembali suara khas mama yang lembut.

"Iya, Ma. Sebentar lagi Darren mandi dan turun."

"Yang cepet, ya? Kamu dari pulang sekolah belum makan."

"Iya, Mama sayang."

"Mama tunggu di bawah."

"Iya, nanti Darren segera turun."

Kebiasaan mama yang sering khawatir kalau anak semata wayangnya ini tidak mau menyentuh masakannya. Mama akan berusaha merayuku dan memasakkan apa yang menjadi makanan kesukaanku.

Di rumah ini, aku mendapatkan kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuaku. Memang, sih, mereka terkadang over protektif. Tapi aku mencoba mengerti, meski dulu seringkali aku protes dan tak mau menurut.

Bertambahnya usia, mama dan papa sering menceritakan masa kecilku dan juga perjuangan mereka untuk mendapatkan buah hati. Aku adalah anak yang mahal. Hampir delapan tahun pernikahan, mama barulah dinyatakan positif setelah melakukan rangkaian program hamil.

Sesuai permintaan mama, selesai mandi aku segera turun ke bawah. Aroma ikan goreng dan sambal tomat kesukaanku menguar menggoda indera pembau. Kulihat selada dan mentimun ikut mendampingi ikan kakap yang telah berubah warna menjadi keemasan.

"Wah, Mama memang paling hebat. Tahu aja makanan kesukaan Darren, Ma."

"Iya, donk, Sayang. Udah, hayuk makan. Mumpung semua masih anget."

Aku segera duduk dan mengambil piring kemudian mengisinya dengan dua centong nasi. Sepotong ikan, lalapan, dan sambel melengkapi makan malam yang merangkap makan siang tadi.

"Papa belum pulang, Ma?"

"Belum. Dua hari lagi kerjaan Papa baru selesai."

"Ma ...." panggilku ragu-ragu.

"Iya, ada apa?"

"Darren sering mimpi."

Mama mengernyitkan dahi. Mungkin baginya mimpi itu sudah biasa. Ia tak tahu jika anak emasnya ini hampir tiap malam ketakutan karena mimpi yang sama dan terus terulang.

"Ma, Darren serius. Mimpi Darren selalu sama dan itu sudah sejak lama. Saat Darren usia sepuluh tahun hingga sekarang." Aku mencoba meyakinkan mama.

"Maksud kamu ...." Wajah itu semakin memperlihatkan garis lipatan pada dahi.

"Iya, Ma. Dalam mimpi Darren ada seorang gadis yang sering datang menyentuh pipi Darren, kemudian dia tersenyum."

"Lalu?"

"Tapi yang aneh ... gadis itu hanya tersenyum saat menatap Darren, kemudian berbisik sesuatu ke telinga Darren. Terkadang di lain mimpi ia terlihat menangis, sorot matanya penuh kesedihan."

Mama bergeming mendengar penjelasanku. Memang terdengar aneh, tetapi itulah yang aku alami.

"Gadis itu berbisik apa?" Mama sepertinya mulai tertarik dengan ceritaku.

"Entahlah, Ma. Itu yang Darren hingga sekarang tak mampu mendengar apa yang dibisikkan oleh gadis itu."

Mama kembali menatapku lekat, dari raut wajahnya ada sorot antara percaya dan tidak. Bola mata ini tampak tak fokus, seperti ada yang dia pikirkan.

"Selain itu, Darren juga mimpi ada mobil yang hendak menabrak Darren, Ma."

Mama mengernyitkan dahi mendengar penuturanku. Tampak ia berpikir, "Lain kali berdoa dulu kalau mau tidur, ya?" Setelah menunggu beberapa menit hanya itu tanggapan mama.

"Tapi, Ma ...."

"Mama bawa piring ke dapur dulu. Nggak ada Bi Atin kayak gini Mama yang repot sendiri," ujar mama seolah mengelak.

"Memangnya Bi Atin ke sini lagi kapan, Ma?" tanyaku setengah berteriak karena wanita yang telah melahirkan aku itu sudah berada di dapur yang berbatas sekat dinding dengan ruang makan.

Sejenak tidak ada sahutan dari mama,  sepertinya ia tengah menyelesaikan cucian piringnya. Aku mengalah untuk mendekatinya, kemudian mengulang pertanyaan.

"Katanya, sih, hanya satu minggu. Berarti besok sudah pulang, tadi Bi Atin telepon Mama hanya untuk minta ijin bawa keponakannya," ujar mama sembari tangannya sibuk mencuci gelas dan piring.

"Memangnya keponakan Bi Atin kenapa?"

"Bi Atin bilang, bapaknya si anak itu pengen banget anaknya sekolah di kota. Biar banyak pengalaman terus nanti kuliah."

"Ooh ... memang kalau di desa nggak banyak pengalaman?"

"Beda lah, Darren. Kalau di kota, wawasan seseorang akan mudah terbuka dibandingkan jika tinggal di kampung."

Aku terpegun dan hanya manggut-manggut. Aku sendiri belum tahu bagaimana kehidupan masyarakat di kampung. Seumur-umur orang tuaku tak pernah mengajakku untuk melihat langsung bagaimana kehidupan di sana.

Hanya saja dulu waktu masih sering menonton televisi petualangan bocah kecil itu, kurasa kehidupan di kampung sangat menyenangkan dan seru. Bahkan aku pernah memaksa mama dan papa untuk mengajakku liburan di desa Bi Atin. Jawabannya sudah jelas, pasti ditolak mentah-mentah oleh mereka.

Kata Bi Atin, tinggal di kampung itu damai. Nggak ada kebisingan seperti di kota. Ingin menikmati jagung bakar tinggal petik dan bakar sendiri, ingin makan buah juga tinggal petik. Kubayangkan kehidupan di sana begitu simple tak banyak tuntutan.

Ting tong!

Terdengar bel pintu depan ditekan, pertanda ada tamu.

"Biar Darren yang bukain, Ma," usulku saat melihat mama mencuci tangan dan hendak mengelapnya.

Aku bergegas keluar untuk membuka pintu. Ternyata Bi Atin, asisten rumah tangga yang telah lama ikut keluargaku.

"Panjang umur kamu, Bik. Baru juga diomongin udah muncul aja."

"Iya, Den Darren. Sengaja pulang sekarang biar besok bisa ke sekolahan Den Darren."

"Untuk apa?" tanyaku sembari menyipitkan mata.

"Mau daftarin keponakan Bibi, Den."

"Mana keponakannya?"

Tampak Bi Atin celingukan bingung mencari ponakannya. "Meisya! Meisya!"

What? Nama gadis desa itu Meisya? Keren amat namanya untuk seukuran gadis desa.

Bi Atin meletakkan tas yang ia tenteng, kemudian keluar pagar sembari memanggil nama Meisya. Aku menyusul di belakang wanita paruh baya itu, berharap bisa membantunya.

Namun, baru saja kepala ini melongok ke luar pagar tetiba retinaku menangkap bayangan sesosok gadis berambut panjang dan ....

Duniaku serasa terhenti seketika saat melihat gadis yang muncul dari tikungan dekat rumah. Aku berasa dejavu. Ya ... dia, gadis yang saat ini membuatku berdiri terpegun adalah dara yang selalu hadir dalam mimpiku.

Bola manikku membulat dengan mulut terngaga, bukan karena terpesona, melainkan lebih pada keterkejutan yang teramat sangat.

Tuhan, pertanda apakah ini?