Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Status Di Medsos

"Mbak, coba lihat. Ini status adik ipar Mbak Nova. Lebay sekali." Kata Rita, teman sekantorku di kantor desa.

Ia menunjukkan hpnya padaku. Kulihat Mella membuat status di medsos berlambang F. Dengan caption "Terima kasih suamiku atas hadiahnya. Semakin love deh sama kamu".

Aku tertawa melihatnya. Tampak foto Mella memakai jam tangan baru, kemudian beberapa foto mesra Mella dan Deni. Bukannya aku iri, tapi menurutku itu sangat lebay. Kemesraan kita dengan pasangan tidak perlu dipamerkan. Pencitraan saja.

"Kenapa tertawa, Mbak?" tanya Rita dengan raut wajah yang penasaran.

"Ini namanya mempromosikan suaminya." Sahutku sambil menyerahkan hpnya Rita.

"Kok bisa?" cecar Rita.

"Gini ya, Mella itu memberitahukan kepada seluruh dunia, bahwa suaminya itu baik, penyayang dan suka memberinya hadiah. Pasti ada saja perempuan yang iri melihat kehidupan Mella di medsos. Akhirnya si perempuan itu akan penasaran dengan suaminya Mella. Iseng-iseng, ia akan mengirimkan permintaan pertemanan pada suami Mella. Apalagi di status itu Mella men-tag suaminya. Kalau suaminya Mella iseng juga, akhirnya menerima permintaan pertemanan itu. Mereka akan saling nge-like status, saling komen, saling inbox. Itulah awal mula perselingkuhan terjadi," aku menjelaskan panjang lebar pada Rita.

"Oh, iya ya", Rita manggut-manggut, "seperti teman sekolahku, suaminya berselingkuh gara-gara Facebook."

"Nah, itu maksudku!" sahutku, "makanya, jangan pamer kemesraan dengan pasangan di medsos. Kadang-kadang, yang tampak mesra itu sebenarnya malah tidak mesra sama sekali."

"Nih, lihat Mbak ada yang komen, katanya enak punya suami seperti suami Mella," seru Rita sambil mata menatap di layar ponsel.

"Itu dia, sudah ada satu yang merasa iri dengan kehidupan Mella. Itu yang terang-terangan komentar. Yang nggak berkomentar, kan banyak," imbuhku.

"Memang benar ya Mbak, kita harus berhati-hati sekali di medsos. Ada pepatah yang mengatakan 'jarimu harimaumu'. Ih ngeri ya?" Rita bergidik.

"Betul itu. Kalau kita tidak pandai-pandai menahan jari kita, akan berakibat buruk bagi kita nantinya." Aku menjelaskan pada Rita.

"Mbak, Mella itu hutangnya banyak lho," sambung Rita.

"Masa sih! Tahu dari siapa kamu?" aku heran, Rita ini kayak google saja. Tahu banyak informasi.

"Tahu dari orang-orang. Ada hutang baju, panci presto, Tupperware, karpet karakter, belum lagi arisan-arisan. Apa nggak pusing ya mikir cicilannya?" Rita bergumam sendiri.

"Nggak usah dipikirin, nanti malah kamu yang pusing," ledekku, melihat wajah Rita yang sangat serius.

"Iya ya, ngapain aku mikirin hutangnya orang. Haha." Rita tertawa menyadari kelakuannya.

"Wah ada yang sedang bahagia ya. Tertawanya renyah sekali." suara Gino mengagetkan kami.

"Biasa Gino, Rita pagi-pagi sudah ngajak aku ghibah," selorohku.

"Bukan ghibah Mbak, tapi memberi informasi yang cepat dan akurat," sanggah Rita.

"Kayak tespack saja deh, cepat dan akurat," selorohku sambil tertawa. Rita dan Gino ikut tertawa.

"Memang ya perempuan itu kalau sudah ngumpul pasti ceritanya kemana-mana." Gino menimpali.

"Apa laki-laki nggak kayak gitu?" tanya Rita.

"Sama saja sih," canda Gino sambil tertawa.

Akhirnya kami kembali ke meja masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan kami. Aku sedang asyik mengerjakan tugasku, tiba-tiba hpku berdering. Sebuah pesan masuk ke hpku. Ketika kubuka, ternyata sebuah foto screenshot. Mataku terbelalak melihat foto tersebut. Astaghfirullahaladzim, nafasku naik-turun, emosi jadi meningkat. Aku segera menarik nafas panjang untuk meredam emosi.

"Kenapa, Mbak?" Suara Rita mengagetkanku. Ternyata Rita memperhatikan aku.

"Nggak apa-apa kok." Aku berusaha mengatur emosiku.

"Nggak mungkin nggak apa-apa. Dari tadi aku memperhatikan Mbak Nova. Setelah memegang hp, wajah Mbak Nova berubah menjadi seperti marah. Pasti ada sesuatu di hp Mbak." Rita berkata menyelidik atau lebih tepatnya kepo.

Aku menyerahkan hpku pada Rita, matanya langsung terbelalak menatap layar hp.

"Ini status Dewi?" tanya Rita.

Aku mengangguk sambil mengatur nafas, yang tadi sempat naik turun karena emosi. Benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya Dewi membuat status seperti itu di Facebook.

"Sudah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Biarkan saja. Orang-orang sudah tahu, kalau Mbak Nova nggak seperti itu. Kalau diladeni, nanti malah ramai dan membuat masalah baru." Rita menenangkanku.

"Iya, aku nggak mau meladeni anak kecil."

"Sip, nggak level ya Mbak. Lihat Mbak, Dewi terlibat perang komentar dengan seseorang. Sepertinya, gurunya Dewi. Wah, bakal jadi masalah besar ini. Bisa-bisa Dewi dipanggil guru BK." Rita memberitahu.

"Bisanya jadi tukang ngadu, memfitnah dan mencari muka. Beruntunglah kalian yang tidak memiliki ibu tiri. Ternyata benar cerita di sinetron itu. Ibu tiri yang hanya menumpang hidup dan ingin menguasai harta." Itulah status yang dibuat oleh Dewi.

[Tidak semua ibu tiri itu jahat. Banyak kok ibu tiri yang baik.]

Komentar dari seseorang di status Facebook Dewi. Dewi langsung membalas komentar itu.

[Ibu tiri yang aku kenal, orangnya tidak baik, pandai mencari muka dan suka memfitnah.]

Ada yang berkomentar lagi.

[Jangan buat status di Facebook seperti ini, nanti akan menimbulkan masalah.]

Sepertinya Dewi tidak suka dikritik, ia pun membalas komentar tersebut.

[Biarin, nggak usah ikut campur urusanku!]

Aku hanya mengamati dan membaca komentar yang ada. Tak lama kemudian ada komentar bijak dari seseorang.

[Aku kenal dengan ibu tirimu, beliau orangnya baik. Beruntung kamu punya ibu tiri seperti dia.]

[Baik apaan! Bisanya cuma memfitnah saja dan ingin menguasai harta ayahku.]

Deg! Hatiku terasa panas membaca balasan komentar dari Dewi. Jadi selama ini ia pikir aku ingin menguasai harta ayahnya. Aku yakin Dewi mendapat hasutan dari orang lain. Karena beberapa hari ini, aku dan Dewi tidak ada masalah apa-apa.

Kasihan Dewi, jiwanya masih labil. Kebetulan dia mendapatkan masukan yang tidak baik, dan langsung diluapkan melalui medsos.

***

"Kok lesu sekali, ada masalah apa?" tanya Bang Jo, ketika aku pulang dari kantor.

"Nggak apa-apa kok, cuma banyak kerjaan saja. Jadi badan agak capek. Aku ke dalam dulu ya, Bang?" Aku segera masuk ke kamar.

Bang Jo mengangguk, karena ia masih sibuk membantu Warti membungkus nasi. Aku tidak mungkin menceritakan masalah status Dewi di medsos dengan Bang Jo. Hanya masalah kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kalau sampai Emak tahu, bakal jadi perang dunia ketiga.

"Bu...Bu…." Suara Minah memanggilku.

"Iya, ada apa, Minah?" aku membuka pintu kamar.

"Ibu dipanggil Bapak, disuruh ke warung." Kata Minah.

"Iya, sebentar lagi Ibu kesana." Jawabku.

Aku segera berganti pakaian dan kemudian berjalan menuju warung. Disana sudah ada Dewi dan Bapak mertua.

"Ada apa, Bang?" tanyaku pada Bang Jo.

Bang Jo terlihat marah pada Dewi dan Bapak berusaha menenangkannya.

"Begini Nova, hp Dewi disita oleh gurunya di sekolah. Karena waktu jam pelajaran tadi, ia main hp. Besok orangtuanya disuruh ke sekolah untuk mengambil hp." Bapak menjelaskan padaku.

"Oh, betul itu, Dewi? Kamu main hp saat pelajaran sedang berlangsung." Aku bertanya menyelidik pada Dewi.

"Iya, Bu." Jawab Dewi dengan entengnya dan sepertinya menantangku. Kalau anakku sendiri, sudah aku remas mulutnya. Kebiasaan selalu menganggap remeh orang lain.

"Ya sudah, biar besok Ayah yang mengambil hpnya." Balasku.

"Tapi Johan tidak mau ke sekolah mengambil hp itu." Bapak menjawab ucapanku.

"Biarlah jadi pelajaran buat Dewi. Sudah dibilang, kalau ke sekolah nggak usah bawa hp. Tapi masih saja dibawa. Peraturan sekolahmu sudah jelas, tidak boleh membawa hp. Kalau ketahuan membawa, hp akan diambil guru. Jelas, kan?" suara Bang Jo terdengar sangat tegas.

Dewi hanya diam saja.

"Dewi, hp tadi kamu gunakan untuk apa? Main game atau main Tiktok?" tanyaku pada Dewi.

"Facebookan, Bu." Dewi menjawab dengan pelan.

"Oh, bikin status atau balas komentar status orang?" cecarku.

"Bikin status dan membalas komentar di statusku."

"Yang status tentang ibu tiri itu ya?" sindirku langsung.

Wajah Dewi berubah merah.

"Kamu membalas komentar kalau ibu tirimu itu tukang fitnah, menumpang hidup dan ingin menguasai harta ayahmu. Begitu kan?" ucapku dengan nada suara yang kubuat santai, padahal dalam hatiku seperti mau perang.

Bang Jo dan Bapak kaget mendengar apa yang aku katakan.

"Dengar ya, Dewi. Walaupun Ibu menumpang hidup pada ayahmu, tapi Ibu juga bekerja. Tidak hanya meminta uang saja dengan ayahmu. Ingatkah kamu? Ayahmu membuka usaha warung nasi ini ketika menikah dengan Ibu. Jadi Ibu ada andil juga dalam usaha ini. Ibu juga sadar diri kok kalau Ibu memang menumpang hidup. Ibu tidak menyalahkan kamu. Ibu hanya kasihan sama kamu, karena kamu mendapatkan masukan yang tidak baik. Seharusnya kamu pikirkan dulu semuanya sebelum kamu membuat status di Facebook itu. Jadi seolah-olah, ibu tiri itu semuanya jahat. Ibu sudah memaafkan kamu." Aku berusaha supaya air mataku tidak menetes.

"Benar yang dikatakan Ibu itu, Dewi?" tanya Bang Jo.

Dewi mengangguk. Bang Jo terlihat emosi, aku segera memberinya isyarat supaya tidak marah-marah.

"Dewi, kenapa kamu bisa berpendapat seperti itu tentang ibu tiri?" tanya Bapak.

"Makwo dan Tante Mella yang mengatakan itu." Suara Dewi terdengar pelan.

Kami semua kaget mendengar pengakuan Dewi. Benar dugaanku kalau Dewi hanya mendengar masukan yang salah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel