Sok Kaya
"Nova, mana Johan?" tanya Emak yang tiba-tiba datang ke warung.
"Belum pulang, Mak," jawabku dengan sejenak menghentikan kegiatanku membungkus nasi.
"Kemana?" tanya Emak lagi.
"Tadi katanya mau ke sekolah Dewi, sesudah itu mau pergi bersama temannya. Ada apa, Mak?" aku balik bertanya.
"Bilangin sama Johan, nanti hpnya langsung kasihkan sama Dewi. Kasihan Dewi kalau nggak punya hp."
"Iya, Mak."
"Nova, ikut arisan ya? Satu juta sebulan."
"Maaf, Mak, saya nggak sanggup terlalu besar. Saya sanggupnya cuma seratus atau dua ratus ribu sebulannya."
"Masa kamu kalah sama Mella. Dia ikut lho. Nggak usah pelit-pelit, itu kan uangnya Johan. Emak yakin, Johan tidak akan keberatan kalau kamu ikut arisan itu." Emak semangat sekali mengompori. Aku mulai jengah dengan ucapan Emak.
"Maaf, Mak."
"Hidup numpang saja, belagu!" gerutu Emak.
Walaupun emak berkata pelan, tapi aku masih mendengarnya. Hatiku terasa sangat panas. Warti dan Minah hanya diam saja, aku tahu mereka sebenarnya ingin berkomentar. Tapi masih mereka tahan.
"Mak, memang saya hidup menumpang. Tapi saya juga bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Jadi tidak meminta uang terus sama suami. Warung makan ini juga ada setelah Bang Jo menikah dengan saya. Jadi saya ikut serta membangun warung ini." Aku berkata dengan tegas tapi tidak nge-gas.
Emak langsung melengos dan pergi. Huh, datang tanpa basa-basi dan pulang pun tanpa pamit. Kebiasaan sekali emak ini. Kalau anak kecil sudah aku marahi.
"Saya salut sama ibu, tahan hidup berdampingan dengan Mak Amir," kata Minah, akhirnya ia bersuara juga.
"Tahan nggak tahan, Minah. Harus tetap saya jalani, karena saya ikut suami. Mau pindah, pindah kemana? Doakan saja, rejeki lancar biar bisa beli tanah sendiri. Jadi tidak disindir-sindir numpang hidup."
"Semoga doa Ibu terkabul," Warti menimpali.
"Amin."
Sebenarnya kami sudah beli tanah tidak jauh dari rumahku sekarang. Tapi emak dan bapak tidak tahu, kami sengaja merahasiakannya. Nanti kalau tabungan kami cukup, rencana akan membangun warung makan dan rumah di tanah sendiri. Kupingku panas kalau dikatakan numpang hidup terus.
***
"Bang, kata Emak, hpnya Dewi kalau sudah diambil, langsung diberikan pada Dewi." Aku menyampaikan amanah dari emak pada ketika Bang Jo sudah pulang.
"Emak yang bilang begitu?" tanya Bang Jo.
"Iya, tanya saja sama Minah dan Warti."
"Biarlah aku tahan dulu hpnya."
"Nanti Emak marah."
"Biarkan saja!"
Benar saja, baru saja aku selesai bicara sudah terdengar suara emak mencari Bang Jo.
"Jo, sudah pulang kamu?" tanya Emak tiba-tiba, tanpa permisi langsung nyelonong saja.
"Ada apa, Mak?" Bang Jo malah bertanya.
"Mana hp Dewi?" Emak berkata sambil menengadahkan tangan, tanda meminta hp.
"Aku simpan dulu, Mak. Biar jadi pelajaran buat Dewi."
"Kenapa? Dewi kan anakmu, kasihan dia kalau tidak punya hp. Teman-temannya punya hp semua."
"Biarlah, Mak. Nggak pegang hp beberapa hari saja nggak apa-apa."
"Kamu ya yang menghasut Johan, biar menahan hp Dewi." Emak berkata sambil menunjuk mukaku.
"Bukan Nova, tapi memang keinginanku sendiri. Mak, aku mau nanya. Kenapa Emak memberi masukan tidak baik pada Dewi." Bang Jo membelaku.
"Apa maksudmu?" Emak pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu.
"Emak kan yang bilang sama Dewi masalah ibu tiri. Nova itu istriku, tentu saja ia akan tetap bersamaku dimanapun aku tinggal. Emak tahu apa yang ditulis Dewi di Facebook. Ini!" dengan tegas Bang Jo berkata dan menunjukkan tulisan Dewi di Facebook.
Awalnya Emak kaget, tapi kemudian berusaha menguasai keadaan.
"Hanya kayak gitu aja dibesar-besarkan. Nova yang terlalu berlebihan." Sungut Emak dengan wajah yang tidak suka. Benar kan yang aku pikirkan, pasti Emak mengatakan kalau aku terlalu berlebihan.
"Masalah utamanya bukan itu, coba baca komentar-komentar ini. Dewi membalas komentar mereka dengan kata-kata yang tidak pantas. Omongannya tidak mencerminkan omongan anak SMP. Bikin malu saja Dewi ini." Bang Jo tampak geram dengan kelakuan Dewi. Aku hanya diam saja, tidak mau ikut campur. Pasti Emak nggak suka kalau aku ikut berkomentar.
"Dewi itu anak kandungmu, seharusnya kamu membela dia."
"Kalau salah, tetap dibela? Seperti Emak yang selalu membela Deni dan Mella."
"Mereka memang baik dan benar, tentu saja Emak bela."
"Terus kami ini tidak baik, begitu ya? Sebenarnya bukan itu masalahnya. Karena memang Emak tidak menyukai Nova, jadi apa yang dilakukan Nova selalu salah di mata Emak. Apa pernah Nova meminta uang sama Emak? Nggak pernah kan? Apakah Mella pernah memberi uang pada Emak? Enggak pernah, kan?" ungkap Bang Jo dengan berapi-api.
"Mella itu nggak kerja, hanya Deni yang kerja. Kasihan kalau dia harus memberi Emak uang. Kalau Nova memang berkewajiban memberi Emak uang, karena ia hidup menumpang." Emak masih saja membela Deni dan Mella.
"Mak, apa Mella hidupnya tidak menumpang? Emak tega sekali berbicara seperti itu. Kami ikhlas memberi uang pada Emak, kami tidak meminta imbalan apa-apa. Hanya saja, bisakah Emak bersikap lebih baik sama Nova dan Nayla? Nova dan Mella itu sama-sama menantu Emak, kenapa Emak pilih kasih? Kalau Emak memang tidak suka dengan Nova, setidaknya jangan suka menghinanya. Satu lagi, Nayla itu cucu Emak. Tapi Emak selalu membedakannya dengan Sheila. Kalau memang Emak tidak suka kami disini, kami akan pindah dari sini." Bang Jo berbicara dengan tegas dan tetap bisa menahan emosinya.
"Mak, Emak benar-benar keterlaluan!" tiba-tiba ada Bapak muncul di hadapan kami.
"Kenapa Bapak kesini? Mau membela mereka ya?" jawab Emak dengan ketus.
"Bukan membela mereka, Bapak kesini mencari Emak. Karena ada yang menagih hutang Mella. Bapak cari-cari, Mella tidak ada. Mungkin Mella sembunyi." Bapak menjelaskan maksud kedatangannya mencari Emak.
Emak langsung terdiam dan mukanya merah.
"Tuh, menantu kesayangan Emak. Gayanya sok kaya, tapi hutang dimana-mana," Bang Jo berkata sambil tersenyum.
"Bu, ada yang nyariin Tante Mella." teriak Nayla dari luar.
"Suruh masuk kesini orangnya, Nay." jawabku spontan. Emak langsung melotot padaku.
"Assalamualaikum, Bu Nova." sapa orang yang dimaksud Nayla.
"Waalaikumsalam, eh Bu Lasmi. Mari masuk Bu!" jawabku sambil menoleh ke arah datangnya suara.
"Terimakasih Bu."
"Ada apa ya Bu?" tanyaku.
"Saya mencari Mbak Mella, barangkali dia ada disini." Bu Lasmi menjelaskan.
"Ngapain kamu mencari Mella," Emak menimpali ucapan Bu Lasmi.
"Begini Mak Amir, Mbak Mella ada hutang sama saya, janjinya Minggu lalu mau dibayar. Setiap saya cari selalu tidak ada."
"Hutang apa, Bu?" tanyaku penasaran.
"Jam tangan, Bu Nova." Jelas Bu Lasmi.
"Hanya jam tangan saja kok, nanti juga dibayar sama Mella." Emak masih membela Mella.
"Memangnya berapa harga jam tangannya?" tanya Bapak.
"Lima ratus ribu." Bu Lasmi menjawab dengan semangat.
Aku kaget mendengar harga jam tangan Mella. Berarti jam yang dia posting itu bukan dibelikan oleh Deni, tapi ngutang. Hihi, nggak sesuai dengan gayanya. Demi gaya Sampai berhutang.
"Jam ini, Bu?" tanyaku pada Bu Lasmi sambil menunjukkan foto dari Facebook.
"Iya jam itu."
"Lho katanya dibelikan sama suaminya," tanyaku dengan heran.
"Enggak kok Bu, ngambil sama saya."
"Sheila, mana mamamu?" teriak Bapak pada Sheila yang sedang main di luar.
"Mama ada di kamar, Pakwo? Katanya kalau ada yang nyari mama, bilang saja mama pergi." Ucap Sheila dengan polos.
Aku dan Bang Jo tersenyum, Emak melotot melihat kami. Bapak juga terlihat menahan tawa mendengar ucapan Sheila.
"Oh, ternyata Mbak Mella sembunyi ya? Ya sudah, saya akan menunggu di rumah Mbak Mella saja. Saya tidak akan pulang sebelum Mbak Mella membayar hutangnya. Permisi ya Bu Nova, saya mau ke rumah sebelah. Nungguin Mbak Mella keluar dari persembunyiannya." Bu Lasmi berkata sambil tertawa.
Aku hanya mengangguk. Begitu Bu Lasmi keluar, aku dan Bang Jo langsung tertawa.
"Apa yang kalian tertawakan?" tanya Emak dengan nada tidak suka.
"Jawaban Sheila itu lho Mak, polos sekali." Ucap Bang Jo yang masih saja tertawa.
"Menantu kesayangan Emak dikejar-kejar penagih hutang. Sana temenin Mella menghadapi Bu Lasmi." Ledek Bapak.
"Ogah, mending Emak disini. Nanti kalau disana, disuruh bayarin hutangnya."
"Itu Emak tahu kalau Emak cuma dimanfaatin oleh Mella. Orang kayak gitu kok Emak bela mati-matian."
