Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pelit

Pagi-pagi Sheila sudah datang ke rumah mencari Nayla.

"Nay, lihat. Aku dibelikan Papa mainan Barbie," pamer Sheila.

Nayla masih asyik menonton film kartun, hanya melihat sekilas pada Sheila.

"Bude, mainanku bagus, kan?" pamer Sheila padaku.

"Iya, bagus," jawabku untuk menyenangkan hatinya.

"Kamu nggak punya mainan kayak gini, iya kan, Nay?" tanya Sheila.

Nay hanya menggelengkan kepala, kemudian matanya beralih ke televisi lagi. Aku hanya tersenyum melihat kelakuan mereka. Sheila pamer mainan dengan Nayla, tapi Nay tidak peduli.

"Pakde, mainanku bagus, kan?" tanya Sheila pada Bang Jo yang muncul diruangan ini.

"Iya bagus. Siapa yang membelikan?" tanya Bang Jo.

"Papa," jawab Sheila.

"Oh, papamu pulang ya?" tanya Bang Jo lagi.

"Iya, kata Makwo, Papa pulang bawa uang banyak." Sheila berkata dengan penuh semangat.

"Katanya banyak uang, tapi hutang nggak mau bayar," gerutu Bang Jo padaku.

"Yang bilang banyak uang, kan Sheila. Kenyataannya kita tidak tahu," jawabku dengan mengangkat bahu.

"Nay, main Barbie yuk!" ajak Sheila.

"Malas ah, aku mau nonton saja," jawab Nayla.

"Nay nggak asyik, nggak enak berteman dengan Nay. Ah, main sama mbak Intan saja." Sheila pergi dengan wajah yang kesal sambil membawa Boneka Barbienya

Aku dan Bang Jo hanya tersenyum melihat kelakuan anak-anak. Begitulah anak-anak, sebentar akur kemudian nggak akur.

"Memangnya Deni pulang ya, Bang?" tanyaku pada Bang Jo.

"Kata Sheila tadi iya, kalau Abang sih belum bertemu dengan Deni." Jawab Bang Jo.

"Gimana hutang Mella, Bang? Sampai sekarang belum dibayar. Padahal kita butuh untuk belanja keperluan warung. Kemarin malah dia beli daster tiga buah, masa aku yang disuruh bayar. Nggak mau lah aku," kataku dengan kesal.

"Kok bisa Adek yang suruh bayar?" tanya Bang Jo.

"Iya, Emak dan Mella beli daster sama Mbak Siti. Emak bilang kalau aku yang bayar. Terus Mbak Siti kesini. Punya Emak aku bayarin karena hanya beli satu, punya Mella nggak aku bayarin. Emak kesini malah marah-marah, katanya aku pelit dan perhitungan karena nggak mau bayar punya Mella. Seperti biasa Bang, ngomongin aku menantu durhaka," kataku dengan nada kesal.

"Nggak usah dimasukkan ke hati ucapan Emak, nanti malah kamu yang stress. Watak Emak memang seperti itu. Kita berbuat baik pun masih saja salah di mata emak. Apalagi kita jahat?" Bang Jo menenangkanku.

"Selama Abang masih mendukungku, InsyaAllah aku masih sanggup menghadapi Emak." aku berkata pada Bang Jo.

"Apapun yang kamu lakukan, kalau itu demi kebaikan, Abang akan selalu mendukungmu!" Bang Jo mendekatiku dan memelukku.

"Ngapain ayah kok memeluk ibu? Ibu sedih ya?" Suara Nayla mengagetkan kami.

"Nggak apa-apa kok Nay, Ibu sedang ingin dipeluk saja," kata Bang Jo. "Ayo mandi dulu, mau mandi sama Ayah atau sama Ibu?"

"Nay mandi sendiri, sudah besar malu kalau dimandiin." Nayla langsung berdiri dan menuju ke kamar mandi.

"Nay...Nay." Ada yang memanggil Nayla.

"Nayla sedang mandi, Pak," jawabku, ketika kulihat Bapak mertua datang mencari Nayla.

"Oh," Bapak duduk di kursi.

"Ada apa Pak?" tanya Bang Jo.

"Nggak apa-apa, cuma nyari Nayla. Sudah beberapa hari kok nggak main ke rumah," jawab Bapak.

"Lho bukannya tiap hari main sama Intan?" aku bertanya pada Bapak.

"Iya, tapi nggak pernah mau masuk ke rumah. Hanya main di luar saja."

"Itu Nayla sudah selesai mandi. Bapak mau kopi?" tanyaku pada Bapak.

"Enggak usah, tadi sudah ngopi."

"Sarapan Pak, sama nasi goreng."

"O ya, boleh!"

Aku segera ke dapur untuk mengambilkan nasi goreng.

"Ini Pak sarapan dulu."

"Nay juga mau Bu."

"Jo nggak sarapan?"

"Sudah tadi, Pak!" jawab Bang Jo.

Bapak dan Nayla sarapan nasi goreng, mereka lahap sekali.

"Nay, kok nggak mau main ke rumah Pakwo?" tanya Bapak.

"Nggak mau, nggak boleh sama Sheila."

"Memangnya Sheila ngomong apa?" selidikku.

"Anaknya orang pelit nggak boleh masuk ke rumah Makwo, gitu Bu kata Sheila."

"Nggak usah didengerin omongan Sheila. Kan ada Pakwo, main saja nggak apa-apa," sahut Bapak.

"Jadi Nay boleh main ke rumah Pakwo?" tanya Nayla.

"Boleh, main ke rumah Pakwo sama mbak Intan, ya?"

"Nay kasihan sama Mbak Intan, suka dibentak-bentak sama Sheila. Kenapa Mbak Intan nggak tinggal sama kita saja Yah?" tanya Nayla pada Bnag Jo.

"Kalau Mbak Intan tinggal sama kita, kasihan Makwo nggak ada temannya." Bang Jo mencari alasan yang bisa dinalar anak sekecil Nayla.

"Ada Mbak Dewi dan Sheila yang nemenin Makwo," sanggah Nayla.

"Biarlah Mbak Intan tinggal sama Makwo, Mbak Intan kan sering main kesini."

"Pak…. Bapak…." suara Emak memanggil Bapak.

"Iya Mak, ada apa?" tanya Bapak.

"Dicariin dari tadi kok malah kesini, sarapan disini ya? Kayak di rumah nggak dikasih makan, Pak?" gerutu Emak

"Memangnya kenapa kalau sarapan disini? Tadi sarapan sama Nayla," jawab Bapak

"Nay, kok nggak mau main sama Sheila? Sheila punya mainan baru lho," ucap Emak pada Nayla.

"Nggak mau, Sheila pelit! Kalau punya mainan nggak mau minjemin." Nay menjawab dengan ketus.

"Eh, siapa bilang?" tanya Emak.

"Nay yang bilang. Emang Sheila pelit kok. Nay pegang mainannya saja nggak boleh."

"Tuh, anak diajarin ngomong nggak benar. Adiknya sendiri dikatain pelit!," kata Emak padaku.

"Mak, Emak juga sering bilang kalau aku pelit. Mungkin Nay ikut-ikutan ngomong pelit karena ada yang ditiru." Aku membalas ucapan Emak.

"Benar itu Mak, anak kecil itu akan meniru omongan orang dewasa." Bapak ikut menimpali.

"Huh, ngomong sama kalian memang susah," gerutu Emak.

"Mak, Deni pulang ya?" tanya Bang Jo mengalihkan pembicaraan.

"Iya, beli oleh-oleh banyak. Bawa uang banyak Deni itu." Emak bicara dengan senyum sumringah.

"Alhamdulillah, kalau bawa uang banyak. Berarti hutangnya Mella nanti pasti dibayar sama Deni ya Bang! Lumayan untuk tambahan belanja warung," ucapku dengan bahagia.

"Kamu itu sama adik sendiri perhitungan, pelit sekali. Hutang segitu saja diungkit-ungkit terus." Emak menggerutu lagi.

"Tuh, Emak selalu ngomongin kami pelit. Kalau memang Deni dan Mella nggak punya uang, kami ikhlas hutangnya nggak dibayar. Tapi mereka selalu foya-foya kalau Deni baru pulang," sahut Bang Jo.

"Siapa bilang mereka nggak punya uang? Kamu menghina ya?" bela Emak.

"Makanya Mak, kalau mereka punya uang, seharusnya mereka membayar hutangnya. Yang namanya hutang, satu rupiah pun nanti ada hitungannya di akhirat," kataku memberi penjelasan.

"Baru belajar mengaji saja sudah seperti ustadzah. Sok ngajarin orang tua," cibir Emak.

"Itulah Mak, ayo sekali-kali ikut saya ngaji. Biar banyak teman untuk saling berbagi ilmu. Emak bisa berbagi ilmu, Emak kan sudah kenyang dengan pengalaman hidup, bisa berbagi dengan kami yang masih muda-muda," sahutku lagi.

"Tuh benar yang dikatakan Nova, sekali-kali ikut pengajian. Jangan hanya ghibah saja kerjanya dan mudah sekali dihasut Mella." Bapak ikut menimpali. Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak.

"Bapak sok tahu ah," kata Emak tidak mau kalah.

"Mak, kita ini sudah tua. Nggak usah ikut-ikutan urusan anak muda. Emak tuh selalu ikut campur urusan anak-anak. Mereka kan sudah dewasa, biarlah mereka mengurus urusan mereka sendiri. Emak juga jangan suka pilih kasih sama anak dan cucu. Selalu membela Mella dan Sheila padahal mereka belum tentu benar. Bapak benar-benar stress mikirin tingkah laku Emak. Semakin tua kok makin nggak karuan. Bikin malu saja!" Bapak mengeluarkan keluh kesahnya.

Emak hanya diam, tidak berani membalas ucapan Bapak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel