Curhatan Mertua
Galang dengan sigap menunggangi motornya lagi ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi keras dari dalam saku jaketnya. Dengan gerak cepat, ia mengambil ponselnya, tapi begitu ia melihat nama ayahnya muncul di layar, dia langsung menekan tombol merah. Sesaat, matanya terlihat gelisah sebelum dia mengaktifkan mode pesawat.
"Siapa yang nelpon, Kak?" tanya Amel dengan nada penasaran. Galang memandang Amel, matanya mengeras,
"Bukan urusanmu," ujarnya, suaranya terdengar begitu dingin hingga Amel terperanjat dan wajahnya muram.
Melihat ekspresi Amel berubah, Galang hanya mengangkat bahu, tanpa rasa bersalah. "Mau naik atau gimana?" tanyanya, suaranya masih menyisakan ketegangan.
Sejenak mata Galang terarah tajam ke jalan raya, mencoba berpikir jernih. Tangan kanannya menggenggam kuat stang motor, sementara tangan kiri masih memegang ponsel yang baru saja dimatikan.
Amel, yang masih terkejut dengan respons mendadak Galang, memperhatikan lekukan ketegangan di wajah kakak Iparnya itu. Keningnya berkerut, dan ada semburat kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. Dia menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi, namun melihat tatapan tajam Galang, ia urungkan niatnya.
"Naik atau tidak?" ulang Galang, suaranya lebih keras kali ini, seakan ingin segera meninggalkan tempat itu. Amel hanya mengangguk pelan, hatinya masih diliputi kebingungan. Dengan perasaan yang campur aduk, ia naik ke belakang motor, memegang pinggang Galang dengan ragu.
Motor pun melaju kencang, meninggalkan keheningan yang belum terpecahkan, sementara pikiran Amel melayang, mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi.
Tak lama kemudian, motor berderu pelan, dan Galang dengan hati-hati mengarahkan kendaraannya menuju lokasi pusat perbelanjaan. Wajahnya serius, seolah-olah membawa beban yang berat.
"Maaf dek," katanya akhirnya, suaranya terdengar berat.
"Ini urusan keluargaku, kamu nggak perlu ikut campur. Maaf ya, tadi aku nggak sengaja keras sama kamu." Ucapannya selesai diiringi tatapan penuh penyesalan.
Amel, dengan hati yang remuk, segera melompat turun dari motor, kemudian melangkah meninggalkan Galang tanpa sepatah kata pun. Seolah kata-katanya terkunci rapat di dalam dada. Sementara Amel sibuk menghilangkan kekecewaan dan rasa penasarannya dengan berbelanja keperluan ospek, Galang memilih untuk menunggu di tempat yang sama, diliputi kebingungan dan ketidakyakinan. Setelah menyelesaikan belanjanya, Amel kembali ke tempat semula, namun Galang tak ada di mana-mana.
"Dia kemana sih?" gumam Amel dalam kepanikan yang mulai menggelepar di dada, rasa kesalnya pada Galang semakin menjadi.
Amel merasa gelisah, matahari telah tenggelam dan langit mulai gelap. Dia berdiri di pinggir jalan menunggu Galang yang tak kunjung datang. Beberapa kali dia melirik ke arah jalan, berharap melihat sosok Galang muncul dari kejauhan. Namun, yang ada hanya hampa dan kekecewaan yang semakin membesar di hatinya.
"Oke, aku akan pulang sendiri," ucapnya dengan nada sedih, menelan kekecewaan yang berkecamuk.
Tiba-tiba, suara motor terdengar mendekat dan sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul. Galang berhenti tepat di samping Amel, napasnya agak terengah-engah seolah baru berlari.
"Maaf, yah," kata Galang, seraya mengulurkan sesuatu ke arah Amel. Sebuah boneka kecil yang lucu dengan pita merah di lehernya.
Amel mendongak, matanya menatap Galang dengan ekspresi kesal. "Kamu kira aku anak kecil?" tanyanya, suaranya bergetar karena campuran emosi yang sulit dijelaskan.
"Iya, soalnya belum nikah," jawab Galang dengan senyum menggoda.
Amel hanya bisa menghela napas, hatinya bergetar hebat dan pipinya memerah, bukan karena marah, melainkan karena terkejut dengan kepedulian yang ditunjukkan Galang. Meski kesal, dia tidak bisa menahan senyum yang merekah di wajahnya. Ada rasa lega yang mengalir dalam dada, mengetahui bahwa Galang belum benar-benar meninggalkannya.
*******
Malam harinya, Galang sedang menikmati acara TV favoritnya di ruang keluarga yang hanya diterangi lampu remang-remang. Udara malam itu terasa panas, membuat Galang hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. Tengah larut dalam tayangan, tiba-tiba bayangan seseorang menghalangi cahaya televisi.
Dari arah belakang sofa, Amira muncul dengan langkah yang hampir tidak terdengar. Dengan gerakan yang lambat, ia duduk tepat di depan televisi, menghalangi pandangan Galang. Amira hanya mengenakan tanktop tipis dan celana pendek, pemandangan yang tidak biasa dan cukup membuat Galang terkejut.
"Maaf yah, Galang, soalnya gerah banget, jadi sengaja duduk di depan, biar bisa kena kipas," ujar Amira, sambil menoleh memberikan senyuman yang canggung. Suaranya terdengar lembut, berusaha menjelaskan situasi tanpa membuat Galang merasa tidak nyaman.
Galang yang tadinya ingin memprotes, justru terdiam sesaat. Matanya yang semula terfokus pada layar kini malah tertuju pada sosok Amira yang duduk menghadapnya. Kulitnya yang terlihat berkilauan karena keringat, dan cara dia membenarkan rambut yang menempel di lehernya, semuanya terekam jelas dalam pandangan Galang.
Ketika mata mereka bertemu, ada desiran aneh yang melintas di antara mereka. Galang merasakan perasaan yang sulit dijelaskan; campuran antara keberatan dan ketertarikan. Wajahnya yang awalnya tampak kesal perlahan melunak, dan dia menarik nafas dalam, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba muncul.
"Ngga enak banget jadi Janda Lang," keluhnya tanpa memandang Galang, suaranya terdengar lelah.
Galang menangkap getar dalam suara Amira, hatinya tergerak oleh rasa ingin tahu yang mendalam.
"Kenapa nggak menikah lagi, Bu?" tanyanya, suaranya mengandung harap yang tersembunyi.
Amira menoleh, matanya bertemu Galang sesaat—ada luka yang tersimpan di sana.
"Udah ada calonnya, sih," jawabnya perlahan, "Tapi... Lang, duduk sini dulu, aku mau curhat." Jantung Galang berdegup kencang.
Campuran hangat dan dingin bergulung di dada, memaksa ia menggeser duduk lebih dekat tanpa menghilangkan jarak antara mereka.
Matanya menatap tangan Amira yang gemetar kecil, jemari-jemarinya seperti menari tanpa irama. "Sulit, Galang..." suara Amira pecah, penuh dengan kepedihan yang tak tersampaikan.
"Pacarku... dia bilang sayang. Tapi dia takut. Tak mau melangkah lebih jauh. Semua kata-katanya hanyalah janji-janji kosong, tentang menikmati hari ini tanpa harus terikat esok." Ada hampa dalam suaranya, laksana malam kelam yang menyelimuti jiwa yang sedang rapuh. Galang hanya mampu diam, merasakan beban hati Amira yang tak terucap, terperangkap dalam ketidakpastian yang menggigit.
Galang mengangguk perlahan, mencoba mencerna setiap kata. "Tapi Ibu ingin lebih dari itu, ya, Bu?" tanyanya, suara hati-hatinya mencoba tidak terdengar menghakimi.
Amira menarik napas dalam-dalam. "Aku ingin kepastian, Galang. Aku ingin rumah yang bisa kusebut milik, bukan sekedar tempat berteduh sesaat. Aku ingin keluarga, bukan sekedar teman berbagi cerita."
"Dia mungkin takut, Bu," Galang berusaha memberi sudut pandang lain, meski hatinya sendiri merasa gusar.
"Takut kehilangan kebebasannya, atau mungkin, takut tidak bisa menjadi seperti yang Ibu harapkan."
Amira tersenyum pahit, mengangguk pelan. "Mungkin," katanya, suaranya semakin lirih. "Tapi mungkin juga aku yang harus belajar menerima kenyataan, bahwa tidak semua cinta berakhir di pelaminan."
Galang hanya bisa menawarkan senyum simpul, hatinya terasa dipilin. Ia menyadari betapa rumitnya jalan yang harus dilalui Amira. Dalam hening, mereka berdua terdiam, masing-masing tenggelam dalam labirin pikiran dan perasaan masing-masing.
Amira, dengan suara lembut yang penuh arti, bertanya kepada Galang apakah istrinya sudah tidur. Galang, dengan nada santai, mengonfirmasi bahwa istrinya memang sudah tidur karena tidak bisa menahan kantuk setelah jam delapan malam.
Sesaat kemudian, Amira tersenyum tipis, seolah ada makna tersembunyi di balik kata-katanya.
Dia mendekatkan kepalanya ke bahu Galang, bertanya dengan nada yang lebih menggoda, "Heheh, Amel juga gitu kok, sekarang dia juga udah tidur. Tapi kok aku merasa, malam ini seolah merestui kita berdua yah?" Suara Amira yang lembut itu seakan membawa pesan yang lebih dari sekadar pertanyaan biasa.
Galang yang semula terkejut dengan kedekatan fisik yang tiba-tiba itu, lambat laun merasa sebuah emosi yang tak terduga mengalir dalam dirinya. Dia mulai merespons dengan mengelus lembut kepala Amira, tangannya bergerak secara instingtif menunjukkan kenyamanan yang mulai terjalin di antara mereka. Keduanya kini tenggelam dalam suasana romantis yang diciptakan oleh film dan kedekatan mereka, seolah dunia luar tidak lagi berarti.
