Ngantar Ipar
Mentari mulai merunduk ke barat, menandai peralihan siang yang kian tenggelam dalam bayang sore. Hening bengkel Galang tiba-tiba pecah oleh dering ponsel yang nyaring, memecah kesunyian seperti teriakan bisu di lorong waktu.
Tangan berminyak itu langsung menyambar alat kecil itu dengan gesit. “Hallo, Mas, lagi rame ngga?” suara Gaby memecah keheningan, mengalir lembut namun penuh makna di ujung sana.
Galang memiringkan kepala, tatapannya mengguratkan rasa penasaran yang sulit disembunyikan.
“Lagi sepi, Dek. Ada apa?”
Gaby berujar dengan suara tergesa, “Bisa tolong anterin Amel ke kampus? Dia mau ambil formulir pendaftaran.”
Diam sejenak, alis Galang berkerut dalam pergulatan batin yang tak terlihat. “Kenapa kamu gak yang antar langsung?” tanyanya pelan, mencoba menyelami makna di balik permintaan itu.
“Aku masih harus di kantor, Mas,” jawab Gaby, nada suaranya seperti terjebak dalam kecepatan waktu yang mendesak.
Galang menarik napas dalam, pikirannya mulai berputar. “Aku bisa sih, tapi Amel udah siap belum?”
Gaby melepas tawa kecil, menangkis kegelisahan di udara. “Dia malu-malu minta ditemani, tapi gak berani ngomong langsung ke Mas.”
Tekad Galang mengeras, suaranya penuh kepastian. “Oke, aku tutup bengkel dulu ya.”
Langkah Galang terhenti seketika saat pikirannya terpaku pada Amel. Tanpa sadar, ia membuka pintu kamar dengan gegabah—dan dunia seolah tersedak saat matanya menangkap sosok Amel yang hanya berbalut handuk, tubuhnya basah menggoda selepas mandi.
Diam, hening, seperti waktu membeku. Amel meloncat cepat ke dalam kamar mandi, meninggalkan Galang yang terpaku di ambang pintu, jantungnya berdentum tak karuan.
Sementara Jantung Galang berdegup kencang, dadanya terasa sesak saat pandangannya menyapu lekuk tubuh Amel barusan.
Namun, ia segera merasakan getar malu dan takut, “Ohh tidak...” pikirnya, berusaha menepis perasaan yang mulai membara.
Pikirannya beralih ke bibir Amel, penuh kelembutan dan misteri.
Galang meneguk ludah, berusaha mengendalikan diri agar tak kehilangan kontrol. Tubuhnya kaku, sementara pikirannya berputar liar, terperangkap dalam tarikan magnet yang sulit dijelaskan.
Galang berdiri canggung, napasnya tercekat.
"Maaf... aku kira kamu nggak di dalam," suaranya bergetar, seolah suara itu sendiri tak percaya pada yang baru dilihatnya.
Amel mengangguk pelan, suaranya serak, “Iya, nggak apa-apa, Kak.” Galang menelan ludah, mencari keberanian yang seolah menguap.
“Kamu… mau aku anterin?” tawarnya dengan suara nyaris ragu, berharap ketegangan bisa mencair.
Amel menggigit bibir, matanya penuh perhitungan, sebelum akhirnya melangkah keluar perlahan.
“Bisa... ya? Aku mau siap-siap dulu,” katanya lirih, getaran suara yang mengungkapkan keberanian kecil yang baru ia temukan. Sejenak, ruang itu diselimuti keheningan—berat, hangat, dan penuh rasa yang tak terucapkan.
Galang mengangguk pelan, matanya terpaku sejenak pada wajah manis iparnya yang tak mampu menyembunyikan pesonanya. "Bisa," suaranya tercekat, nyaris bergetar, tatapannya mencuri pandang ke arah Amel yang masih terbalut handuk, memancarkan kehangatan yang membakar kesadaran dirinya akan batasan yang harus dijaga.
Dalam kepura-puraan tenang, ia segera mengalihkan pandang, dadanya berdetak keras menahan gelombang perasaan yang ingin saja mengacaukan semuanya. Dengan sikap sopan yang dibuat-buat, Galang mempersilakan Amel untuk bersiap.
Ia bersandar pada pintu, suara santainya justru menyelipkan kekhawatiran yang tajam, bisa terbaca jelas dalam tatapan matanya.
"Jangan kelamaan di situ, dek. Bahaya, tau?"
Amel hanya mengangguk, suaranya hampir lenyap dalam kerendahan, "Oiya, kak. Aku keluar dulu."
Hati Galang mendadak bergetar tak karuan, seakan ada jarum halus menusuknya dari dalam. Langkah Amel yang gemetar dan kepala yang tertunduk memperkuat suasana canggung yang menyesak di antara mereka—seolah waktu berhenti sejenak, meninggalkan ruang sunyi penuh tanya yang tak berani dijawab.
*******
Sesampainya di kampus, Amel pamit, sementara Galang menunggu di parkiran.
Galang bersandar pada sepeda motornya, melipat tangan di dada sambil menatap sekeliling kampus yang ramai. Saat itu, tiba-tiba dua sosok wanita menghampirinya.
Salah satu dari mereka, yang bernama Melisa mengerutkan dahi saat melihat Galang, "Kamu kok di sini?" tanyanya dengan nada terkejut, seolah-olah kehadiran Galang adalah suatu gangguan.
Galang hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai muncul, "Emangnya ngga boleh?" jawabnya singkat, suaranya mencoba terdengar acuh tak acuh.
Kedua gadis itu kemudian saling berbisik-bisik, seolah-olah mereka sedang membagi sebuah rahasia. Melisa tampaknya berbisik sesuatu yang cukup membuat gadis satunya, yang berambut panjang dan berwajah manis, terkejut.
"Oh, jadi ini mantanmu Cha," sahut gadis berambut panjang itu, matanya melebar seolah baru menyadari sebuah fakta penting.
Galang hanya bisa menelan ludah, hatinya berdebar tidak karuan mendengar kata-kata tersebut. Melisa, yang dulu pernah dekat dengannya, kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dia baca. Atmosfer menjadi tegang, dan Galang berusaha keras untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdetak kencang.
Sementara Melisa tersenyum sinis, raut wajahnya penuh kepuasan saat ia teringat informasi tentang Galang. Dengan nada menggoda, ia mengucapkan kalimat yang terasa seperti jarum menusuk ke hati Galang, "Katanya sih udah nikah, sama tante-tante kantoran. Gue beruntung banget beb, ngga jadi lanjutin hubunganku dengannya, bisa-bisa ngga ada masa depan."
Galang, yang semula tenang, kini wajahnya memerah dan urat-urat di lehernya menegang. Matanya yang tajam menatap Melisa, seolah ingin meluluhlantakkan semua keangkuhan yang terpancar dari diri wanita itu. Dengan suara yang terkendali namun penuh kekesalan, ia balas menyerang, "Emangnya kenapa? Setidaknya gue udah dapat yang gue ingin dari lu," ucapnya, suaranya dingin menyiratkan rasa sakit yang mendalam.
Melisa hanya tertawa kecil, menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh oleh kata-kata Galang. Ia berpaling pada sahabatnya, mengabaikan Galang yang masih terpaku di tempat, dan berkata dengan ringan, "Eh, jaga mulut kamu yah. Yuk beb, kita pergi aja dari sini, bau oli banget nih," ucapnya.
Galang yang tertinggal, menelan kekecewaan. Ia mengelus dada, berusaha menenangkan hati yang berdesir kencang, sambil memandangi punggung Melisa yang semakin menjauh. Sebuah perasaan kehilangan bercampur amarah membuatnya berdiri membisu, sambil kepalanya bergumam, "Sabar, sabar..."
********
Amel melangkah ke arah Galang dengan langkah ragu-ragu dan dahi yang berkerut. Pada tatapan matanya terlihat kebingungan mendalam yang meluap.
"Aduh gimana nih, bisa ngga yah," keluhnya sambil memainkan jemarinya, tanda gelisah.
Galang, yang perhatikan perubahan pada adik iparnya, merasa penasaran. "Kenapa dek?" tanyanya dengan lembut, berusaha menggali lebih dalam.
Napas Amel tercekat sejenak, lalu ia menjelaskan dengan nada yang meninggi karena panik, "Jadi begini kak, pengumpulan formulir harus besok, setelah itu tiga hari lagi mau acara ospek. Tapi aku belum lengkapin semua perlengkapannya, mulai dari pakaian dan banyak lagi. Aku bisa stres kalau gini, kak!" Galang mengernyit, heran dengan kepanikan Amel yang tampak berlebihan. "Hah, kan masih ada tiga hari lagi kan? Kok udah panik aja?".
Amel menggaruk kepalanya yang tidak gatal, matanya terlihat sayu menatap Galang yang tampak bingung. "Aku bahkan belum tahu harus mulai dari mana, kak" keluhnya sambil melihat daftar yang harus ia persiapkan saat ospek nanti.
Galang menghela napas, matanya menyapu wajah Amel yang tampak pucat pasi. "Yaudah, nanti kita cari bareng setelah ini. Jangan khawatir, masih ada banyak waktu," ucapnya berusaha menenangkan.
Amel mengangguk lesu, raut wajahnya masih mencerminkan kecemasan yang mendalam. "Aku takut nggak sempat, Kak." desahnya, tangannya gemetar sedikit.
Galang memegang bahu Amel, mencoba memberikan dukungan. "Pasti bisa," katanya, mencoba menyuntikkan semangat.
Amel menghembuskan napas berat, matanya berkilat sedikit harapan saat mendengar kata-kata Galang. "Makasih, Kak. Untung ada kakak kasih aku semangat." ucapnya, sebuah senyum kecil akhirnya mengembang di wajahnya yang sebelumnya tegang.
