Memuaskan Istri
Galang terkejut terbangun dari tidurnya, tubuhnya mendadak tegak duduk di atas tempat tidur. Kedua matanya terbelalak lebar, seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengejutkan dalam mimpinya. Saat ia menoleh ke samping, ia melihat Gaby, istrinya, yang tengah menatapnya dengan raut wajah bingung.
Gaby, yang telah terbangun oleh suara mengigau Galang, spontan menyentuh bahu suaminya itu untuk membangunkannya. "Mimpi apa, Mas? Kok si otong ikut kebangun?" tanya Gaby, mencoba meringankan suasana dengan sedikit candaan mengenai keadaan Galang yang tampak sangat terkejut.
Galang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya, ia mengucek matanya beberapa kali sebelum akhirnya berbicara. "Aneh banget, seremmm," ucapnya singkat, suaranya sedikit bergetar karena efek mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Gaby memperhatikan Galang dengan penuh perhatian, mencoba memahami apa yang sedang terjadi dengan suaminya.
Dia mendekatkan diri, membelai lembut rambut Galang, menenangkan suaminya yang masih terlihat sedikit shock. Galang merasakan kehangatan tangan Gaby, perlahan ia mulai merasa lebih tenang, napasnya yang semula terengah-engah kini mulai teratur kembali.
Namun Galang yang mendapatkan perhatian itu, seketika ia melunjak. Ia tanpa menunggu lama, langsung saja menyambar bibir Gaby.
Galang tiba-tiba menarik Gaby lebih dekat, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang awalnya lembut dan penuh kerinduan.
Nafas mereka mulai berpacu, detak jantung seakan berdentang bersama. Tangan Galang perlahan menyusup di balik punggung Gaby, merasakan kehangatan kulitnya, lalu dengan berani menjamah dada istrinya yang mulai berdebar.
Gaby membalas dengan lembut mengelus keperkasaan Galang melalui kain yang membatasi, matanya setengah terpejam, tenggelam dalam rasa yang membara.
"Mhhh, sayang, aku mencintaimu," bisik Galang di sela ciuman yang semakin dalam, seolah ingin menegaskan semua perasaannya yang tak terucap.
"Sayang, aku nggak mau kehilanganmu," tambahnya, suaranya serak oleh emosi yang mendalam, tangan yang menggenggam dada Gaby tak ingin melepas sedikit pun.
Gaby hanya membalas dengan fokus, membiarkan bibirnya tak lepas dari Galang, sementara jemarinya perlahan mulai membuka kancing baju Galang satu per satu, dengan sentuhan yang penuh gairah dan kelembutan.
Tak mau kalah, Galang merogoh ke bagian bawah baju Gaby, membuka lapisan demi lapisan, menyibak tubuh istrinya yang senantiasa ia nantikan. Ruangan itu penuh dengan kehangatan dan desah kecil yang mengisi keheningan, seolah dunia di luar menghilang dan hanya ada mereka berdua dalam tarian nafsu yang perlahan membara.
Galang dengan lembut mendorong tubuh Gaby agar rebahan di atas tempat tidur, matanya penuh kerinduan dan gairah yang sulit disembunyikan. Perlahan, tangannya membuka lebar paha Gaby, menciptakan kehangatan yang membakar di udara sekitarnya.
Namun, saat wajah Galang mulai mendekat ke perantara paha Gaby, suara lembut tapi tegas terdengar, “Langsung aja yah, aku udah ngga tahan,” kata Gaby dengan napas yang mulai memburu, menampakkan sisi rapuh sekaligus berani dalam dirinya.
Galang menatap dalam mata Gaby, senyum kecil tergurat di bibirnya. “Sayang, aku pengen rasain kewanitaanmu,” ucapnya penuh kasih dan hasrat, suaranya bergetar sedikit oleh perasaan yang campur aduk antara cinta dan nafsu.
Tapi Gaby menggenggam tangan Galang, menariknya perlahan, mencoba menahan gejolak emosi yang membara. “Lain kali aja, oke,” pinta Gaby sambil menatap Galang dengan mata yang bercahaya, mengandung janji dan keinginan yang belum siap untuk segera terpenuhi.
Namun, tubuh Gaby tak mampu menahan dorongan hasrat itu lebih lama lagi. Dengan gerakan penuh rindu, dia menarik tangan Galang kembali, membiarkan dirinya menyerah pada perasaan yang selama ini tertahan.
Galang segera memposisikan dirinya di antara paha Gaby, kedekatan mereka memunculkan gelombang kehangatan yang memenuhi ruangan. Desahan panjang dan lembut keluar bergantian dari bibir mereka, menyatu dalam keintiman yang baru saja dimulai. Tubuh mereka saling menempel, seolah dunia hanya milik mereka berdua di saat itu.
Galang memegang pinggul Gaby dengan erat, gerakannya begitu terukur dan presisi, seolah membaca setiap denyut napas istrinya. Desahan Gaby yang berat dan bergetar mengisi ruangan, membuat udara seolah ikut membara.
Di sela-sela gerakan itu, Galang menunduk, membasahi leher Gaby dengan ciuman lembut yang membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, ciuman itu bergeser ke dada yang membusung, mencium dengan penuh kasih sayang, lalu naik ke bibir Gaby, menahan napasnya sebelum melepas ciuman penuh gairah yang membakar.
“Ahahhh, lebih cepat sayang, aku udah mau keluar,” suara Gaby terputus-putus, tubuhnya mulai menggeliat tak terkendali.
Galang menatap matanya yang penuh harap dan menggoda. Meski hatinya ingin menikmati momen dengan santai, kata-kata Gaby membuatnya tak bisa menolak.
Dengan tenaga yang sedikit lebih kuat, ia mempercepat ritme pompaannya, mengoyak batas kesenangan Gaby.
Tubuh Gaby mengejang hebat, tangannya menggenggam kuat punggung Galang, suara desahnya berubah menjadi jeritan kecil saat puncak itu menghantamnya.
Galang menahan napas, tetap menjaga setiap gerakan agar momen itu sempurna. Setelahnya, keduanya terdiam, napas memburu dan tubuh saling menempel, meresapi kehangatan yang tersisa.
Saat mereka mencapai puncak, dunia di sekitar mereka seakan berhenti berputar. Hanya ada mereka berdua, dalam pelukan yang penuh dengan kehangatan dan kepuasan. Akhirnya, mereka rebahan di samping satu sama lain, nafas mereka masih tersengal, namun ada senyum puas terukir di wajah keduanya.
"Pantas saja, disebut surga dunia, hah, hah," bisik Galang dengan nafas yang masih terengah-engah, senyumnya lebar, mata berbinar menatap Gaby yang terbaring di sampingnya, sama-sama merasakan kebahagiaan yang sebenarnya bisa ia dapatkan setiap saat.
"Andai saja kita tidak perlu makan, mungkin aku hanya akan berdiam di kamar, berdua denganmu. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu," ucap Galang, suaranya lembut, penuh keinginan.
Gaby tersenyum, menggenggam tangan Galang. "Hehehe, sayangnya hidup itu butuh makan, mas," sahutnya, suara bergetar sedikit karena terharu.
"Iya, dan sebenarnya aku merasa bersalah padamu, karena merelakan kamu untuk ikut mencari nafkah," timpal Galang, matanya menunduk, memikirkan semua pengorbanan yang telah Gaby lakukan untuk mereka.
Seketika, Gaby menaruh telunjuknya di bibir Galang, membuatnya terdiam. "Jangan ungkit itu lagi mas, aku ikhlas, setidaknya aku bahagia bersamamu," timpal Gaby, matanya berbinar penuh keikhlasan dan cinta. Suasana di kamar itu menjadi hangat, penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan bersama, meski di luar sana mereka harus berjuang melawan kerasnya kehidupan.
Di sela obrolan mereka, tiba-tiba saja Galang mendengar suara dengkuran halus dari sampingnya.
Sesaat mata Galang memandang langit-langit kamar yang remang-remang. Ia bergumul dengan pikiran yang mengusik ketenangannya. Di keheningan malam, ingatan tentang mimpinya yang baru saja dialami kembali melintas, mendorongnya ke dalam dilema batin yang memusingkan.
"Apa benar tubuh mertuaku seindah itu?" bisik pikiran Galang yang segera membuatnya merasa canggung dan bersalah. Ia mencoba mengusir bayangan itu, namun seakan-akan mimpi tersebut terpatri jelas dalam benaknya, menggoda imajinasinya dengan skenario yang tidak sepatutnya.
"Anjir, kok aku malah mikirin itu sih, jelas-jelas aku udah punya istri. Sadar diri woe," batin Galang, mencoba keras untuk mengingatkan dirinya sendiri tentang batasan yang tidak boleh dilanggar. Keningnya mengerut, bibirnya menggigit bibir bawah, tanda perang batin yang sedang berlangsung.
