BAB 6. Perpustakaan dan Insiden Kecil
Elga masih tidak bisa berhenti memerhatikan pintu di sebelah kamar kost miliknya. Masih belum terbuka, sepertinya niatan hati bertemu dengan Zyan harus ia tunda.
"Nungguin Zyan, ya?" Abbas menyapa dengan kebiasaannya yang muncul tiba-tiba.
"I-iya, Mas."
"Udah gue bilang, Zyan itu si tak kasat mata. Sulit buat ketemu dia di tempat ini," tutur pria itu, berbicara serius seolah yang sedang ia sampaikan adalah informasi yang sangat penting.
Tapi Elga tak mau menyerah. Buktinya, beberapa hari yang lalu ia berhasil berangkat bersama Zyan, menuju kampus tercinta.
"Bukannya Kak Zyan harus pergi ke kampus tiap hari, ya?" Elga bergumam pelan.
Ia mencoba mengulik alasan mengenai atas dasar apa rata-rata penghuni di sana jarang bertemu dengan si tampan kulkas berjalan yang satu itu.
Abbas menanggapi rasa ingin tahu itu, memberi jawaban sungguh-sungguh, sikapnya memperlihatkan bahwa ialah sumber infomasi terbaik di tempat ini.
"Nih, gue kasih tau, ya. Zyan punya dua alasan kenapa juarang banget bisa sepapasan dengan penghuni kost yang lain."
Elga mendengarkan dengan seksama, ia melebarkan telinga juga matanya. Pokus.
"Pertama, dia memang jarang pulang. Karena tempat ini cuma ruang singgah buatnya. Ibarat, apa, ya? Kalau capek di kampus, ya, baliknya ke sini."
"Kedua, dia sama sekali enggak pulang. Bisa satu sampe dua minggu, memilih tinggal di rumah utamanya. Alasannya? Ya enggak ada yang tau."
Penjelasan dari Abbas membuat Elga beroh ria. Akhirnya, ia tahu mengapa Zyan jarang berinteraksi.
Pria itu tidak menjadikan ini sebagai tempat hunian utama. Karena cenderung jadi tempat singgah, Zyan lebih suka pokus terhadap diri sendiri dibanding membangun hubungan dengan yang lain.
"Omong-omong-" Abbas melirik penuh tanya pada Elga, "Lo kenapa tertarik banget buat ketemuan sama tu orang, dah."
Elga terkejut!
"Boleh gue tau alasannya apa? Kalian berdua memang saling kenal atau semacamnya?"
Sayang, Elga tidak bisa menjelaskan mengapa ia sangat ingin bertemu Zyan, saat ini. Menjelaskan alasan terbesarnya.
Bermula dari banyaknya kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dengan sang senior tersebut.
Pertemuan terakhir mereka justru pada insiden tak menyenangkan, momen Elga tertangkap basah, terlihat sedang melakukan sesuatu yang tak wajar dengan penghuni di lantai bawah-Kamal. Dipergoki oleh Zyan sendiri.
Gadis itu ingin menjelaskan, tapi sayangnya tak punya kesempatan.
"Enggak ada alasan apa-apa, kok. Gue dan Kak Zyan juga enggak saling kenal, sebelumnya. Itu cuma perasaan lo aja."
"Kalau gitu, gue ke bawah duluan, ya, Mas." Mengakhiri topik pembicaraan, Elga memilih berlalu dan pergi begitu saja.
***
Selama perjalanan ke kampus, Elga teringat bagaimana satu tahun lalu Zyan menjadi satu yang begitu motivasinya, membantunya menjalani hidup sebagai orang baru dengan baik lebih lapang dan ikhlas melalui pahit manisnya takdir.
"Padahal, gue berniat untuk lebih deket sama lo, Kak. Tapi aneh, semesta kayanya enggak setuju dengan keinginan gue yang satu ini," cicit Elga, berat hati.
Helaan napas panjang pertanda frustasi terus dihembuskannya dengan berat hati. Hari ini, moodnya begitu buruk. Entah apakah ilmu akan ia terima dengan mudah, atau justru sebaliknya.
"Len, lo tadi ditebengin sama mobilnya Kak Zyan, ya?!" pekik seorang siswi di kelas, membuat heboh suasana yang semula tenang.
"Gimana rasanya? Ceritain, dong!"
Elga yang sejak tadi berusaha mencari kedamaian jadi ikut terganggu. Apalagi, disinggung nama Zyan yang teman-temannya itu tadi sebutkan. Membuat pokus gadis itu teralihkan.
"Enak enggak, jadi pusat perhatian satu kampus?" celetuk gadis bermake up tebal, "Baunya mobil orang ganteng gimana? Wangi?"
"Jelas, dong! Kak Zyan gitu, lho. Bau mobilnya aja udah ketebak bau surga!"
Helen mengangkat dagu saat dia tahu kalau Elga sedang meliriknya diam-diam karena penasaran dengan ceritanya.
Matanya tak sengaja bertemu saat melirik ke arah Elga, sinis sekali. Saking sinisnya membuat Elga merinding.
"Yang jelas, Kak Zyan enggak akan biarin sembarang orang, ya, deket sama dia." Sisil berujar sombong, "Gue adalah satu yang beruntung, bisa dapet momen sedekat itu bareng senior unggulan kita!"
"Cih," sungut Elga, yang entah mengapa mendadak cemburu, tak suka bila Kak Zyan harus berbagi kenangan dengan orang lain, "Gue lebih dari itu. Lebih dari dapet tebengan!"
Tersenyum penuh kemenangan, gadis yang pernah terjebak dalam insiden yang tak hanya sekadar satu mobil itu tertawa dalam hati.
"Gimana reaksi mereka kalau tau gue malah pernah ciuman sama Kak Zyan, ya? Kejang-kejang, kali." Monolog Elga dalam hati.
Muak mendengar hal yang dilebih-lebihkan mengenai Zyan dan Helen, Elga memutuskan untuk pergi ke perpustakaan.
***
Prinsip hidup anak kedokteran adalah banyak membaca. Tak ada waktu bersantai yang bisa dihabiskan untuk berleha-leha.
"Pinjem buku apa, ya, enaknya?" Elga memerhatikan tiap rak buku dengan pandangan serius, tenggelam diantara euforia kebahagiaan karena ada banyak yang bisa ia pelajari.
Matanya melebar kala menemukan satu yang telah lama ingin ia baca. Sayangnya, buku itu berlokasi di tempat yang Elga benci. Terlalu tinggi untuk digapai olehnya yang bertubuh mungil ini.
"Siapa, sih, yang meletakkannya di atas sana?"
"Sengaja banget supaya enggak ada yang minjem apa gimana, sih!"
Meski mengumpat kesal dan memerotes tanpa henti, Elga tetap berusaha sebaik mungkin agar buku yang ia dambakan untuk baca bisa diraih tangan mungilnya.
Tak hanya melompat, Elga juga dapat momen dimana buku yang jadi tujuannya melakukan semua hal ini ditarik paksa. Yang menimbulkan insiden dimana pada akhirnya semua buku di sebelah ikut tertarik, jatuh.
"Eh, astaga!"
Rak buku yang akhirnya miring itu membuat semua buku menimpa Elga secara bersamaan. Namun satu kala Elga memekik pasrah, seseorang yang entah datang darimana menjadi benteng dan melindunginya.
Semua terjadi secara cepat.
Elga yang memejam takut, mendadak dibuat bingung karena tidak ada satupun buku mengenai kepalanya. Saat ia membuka mata, bayang samar seorang pria tengah menatap penuh khawatir.
Perawakannya tampan. Rambut yang dibuat maskulin, menambah intensitas keren yang ada.
"Lo ceroboh banget!" umpat orang itu, menghardik kebodohan Elga. Matanya berubah tajam, "Apa yang lo lakuin?!"
Baru Elga ingin melontarkan pembelaan, pria itu tetap menimpali. "Ada yang luka?"
"Eh?"
"Gua tanya, ada yang luka? Lo enggak apa-apa?"
Elga sempat mengerjap, memastikan berulang kali bahwa apa yang ia dengar dari orang yang berada hanya sekian jengkal ini benar adanya.
"Kakak nanyain kondisi gue?"
"Menurut lo? Ada orang lain di sini yang pantes dapet pertanyaan itu?" balas pria itu, dingin namun terasa begitu perhatian sekali.
Sontak, jantung Elga berdetak sangat kencang. Ia tak terbiasa pada momen seperti ini, dimana dirinya bisa berinteraksi dengan Zyan melebihi orang-orang di sekitar.
"Lo kemana aja, Kak?"
Kernyitan dahi Zyan menandakan kebingungannya, "Sorry?"
"Gue tanya, lo kemana aja? Kenapa baru muncul sekarang?"
