BAB 7. Satu Langkah Lebih Dekat
"Lo kemana aja, Kak?"
Kernyitan di dahi Zyan menandakan kebingungannya. Pasalnya, ia tidak bertanya dimana jawaban yang diberikan justru pertanyaan balik.
"Sorry?"
"Gue tanya, lo kemana aja?" ulang Elga, masih menatap serius. "Kenapa baru muncul sekarang?"
"Lo terbiasa mau tau urusan semua orang, ya?" Zyan berceletuk asal, tanpa tahu bahwa apa yang ia katakan jelas membuat sang lawan bicara menjadi sangat terkejut.
Nampak ada senyum tipis di sudut bibir pria itu, "Sekarang lo bahkan berusaha mencari tahu dimana keberadaan gue."
Tak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan balasan yang seperti apa, Elga memutuskan untuk tetap bungkam.
Ia menutup rapat-rapat bibirnya, tak ingin lagi salah bicara.
"Setelah ini, apalagi yang berusaha lo ketahui?"
Menunduk penuh sesal, Elga tak punya penjelasan dari sudutan yang Zyan berikan. Karena hal tadi seperti terlontar begitu saja darinya, tak terkontrol.
"Sorry kalau lo ngerasa nggak nyaman dengan pertanyaan gue," kata gadis itu, merasa bersalah.
Melihat Elga yang merubah ekspresi wajah menjadi murung membuat Zyan justru tak enak hati. Terlihat dari bagaimana caranya menghela napas.
Tangan kekar itu terulur, memberikan buku yang sebelumnya ingin Elga ambil.
"Gue enggak perlu lagi bukunya," ujar Elga, serak.
Mood membacanya jelas saja sudah hilang. Ilmu yang seharusnya ia dapatkan dari sumber bacaan mungkin takkan ia peroleh bila memaksa membaca dikeadaan seperti ini.
Zyan mendadak membuka buku itu, usai memerhatikan gadis di hadapannya ini dengan intens.
"Aturan dua satu, orang yang bersalah cenderung akan diam, menutup bibirnya rapat-rapat, memutus pedebatan daripada berusaha menang."
"Lo bersalah?" suara itu penuh selidik, "Katanya lo mau buku ini, kenapa memutuskan untuk mengalah?"
Elga mendongak. Sejauh ini, itu adalah kalimat terpanjang yang Zyan ucapkan kepadanya. Sebab sebelumnya, Zyan terbiasa mengucapkan satu dua patah kata saja.
Tidak hanya pada Elga, tetapi pada semua orang.
"Ambil. Gua berkorban tertimpah satu rak ini demi melindungi lo yang bersikeras mengambil buku ini," kata pria itu, menambahkan.
Elga merasa saat ini dirinya sedang dibujuk.
Diam-diam, gadis itu menarik sudut bibir, malu. "Thanks," cicit Elga, pelan.
"Gue enggak tahu kalau lo enggak ada," jujurnya, menimpali. "Mungkin satu rak —"
"Siapa di sana?!" Suara yang mereka kenali memutus obrolan.
Elga dan Zyan kompak melirik ke tempat munculnya penjaga perpus.
Dengam mata tajam yang mampu menelan orang hidup-hidup, wanita berkacamata itu memandangi Elga dan Zyan secara bergantian.
"Kalian berdua!" tunjuknya, "Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Kekacauan macam apa yang kalian buat ini!"
Penjaga perpus itu murka.
Tentu saja, bagi yang merawat dengan baik tempat ini, menjaga dan memastikannya nyamam akan sangat menjengkelkan dan memupuk emosi bila mengetahui tempat yang semula rapi berubah menjadi sekacau ini.
Zyan maju, ia mengambil beban yang seharusnya ditanggun Elga dan meminta maaf. "Saya yang salah, Bu. Saya tidak akan ulangi."
"Kamu, ya, Zyan!" sebut wanita itu, "Nggak biasanya kamu bertingkah aneh begini! Pokoknya, Ibu gak mau tau. Pastikan ini menjadi rapi seperti semula!"
Zyan adalah pengunjung tetap perpustakaan. Elga dapat menebak itu dari bagaimana wanita tadi mengenali Zyan, dan terkejut sekali dengan apa yang keluar dari bibir pria itu.
"Saya akan bertanggung jawab membuatnya seperti semula, Bu. Sekali lagi, saya minta maaf." Zyan menundukkan sedikit wajahnya, memperlihatkan penyesalan.
Segala gerak-geriknya diperhatikan Zyan tanpa berkedip.
Ketika mereka hanya tinggal berdua, Elga menerbitkan senyum lebarnya. "Kak, makasih banyak!"
"Untuk?"
"Kalau enggak ada Kakak, sekali lagi, gue pasti bakal dimarah habis-habisan!"
Zyan menggeleng kecil, meraih beberapa buku yang berserakan. Lalu memberikannya pada Elga dengan ekspresi datar.
"Eum?" Elga bergumam pelan, "Kok dikasih ke —"
"Lo yang berantakin, lo yang beresin."
***
Suasana di ruang baca terlalu hening.
Saking heningnya, sampai tertangkap suara helaan napas yang keluar dari bibir Elga. Begitu jelas, berulang kali.
"Gue denger lo berangkat bareng Helen pagi ini," bisik gadis itu, memulai obrolan.
Dalihnya semata menginginkan berada di ruang baca yang sama dengan Zyan. Sebetulnya, ini karena ia mau bicara dan meluruskan kesalahpahaman.
"Kalian ketemu di jalan?"
"Karena enggak mungkin bareng dari kost, 'kan? Soalnya setahu gue lo enggak pulang."
"Helen keliatan seneng banget, satu kelas sampai tau berita lo berangkat sama dia. Lucu banget. Lo diidam-idamkan seperti artis."
Masih Elga yang nampaknya memulai percakapan, sementara sang lawan bicara hanya memilih untuk tetap bungkam.
Memusatkan seluruh pokusnya pada buku bacaan, Zyan sama sekali tidak tertarik dengan Elga yang terus mengoceh di hadapannya.
Tidak berhasil memancing Zyan bicara tak membuat semangat Elga mengendur. Ia tetap berpikir keras mencairkan suasana dengan si gunung es.
"Kak, lo denger gue nggak, sih?" telaah Elga, mencoba memiringkan kepala, menatap respon Zyan.
"Lo enggak tau ini lagi dimana?"
Kening Elga bekerut, "Eh?" Gadis itu terbata-bata kala menanggapi Zyan yang mendadak menanyakan lokasi, kepadanya.
"Lo tau ini perpustakaan, 'kan?" sambung pria itu, melirik ke arah jejeran buku. "Ini bukan kantin tempat lo bisa banyak bicara. Jadi tolong hargai pengunjung perpus yang lain," ketus Zyan.
"Terlebih itu, gua enggak mau penjaga perpus memberi peringatan untuk yang kesekian kali. Atau lo-" Zyan menjeda. "Dan gua sendiri, enggak akan bisa dateng dan baca buku lagi di sini."
Seperti dihantam air kotor tepat mengenai wajahnya, Elga merasa sangat sedih dan malu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hal semacam itu akan jadi jawaban Zyan.
Padahal, keduanya baik-baik saja sampai kemarin.
Elga bahkan menceritakan banyak tentangnya yang barusaja pindah ke gedung baru mereka ke Zyan.
"Maaf kalau lo terganggu," sesal gadis itu. "Gue enggak bermaksud demikian."
"Gue enggak tahu kalau lo lagi baca, lo nggak mau diganggu oleh siapapun. Harusnya gue menyadari hal itu," imbuh Elga, mengakhiri.
Bicara dengan Zyan bisa Alin ibaratkan seperti menaiki wahana rolecoster. Selalu membuatnya penasaran dengan kehebohan apa di depan.
Terkadang, ia mendapatkan posisi di atas teristimewa, sebab bisa bicara dan mengobrol sedekat ini lalu tepat kala ia mulai menyombongkan hal itu, Zyan seketika berubah dingin.
Pria itu seakan memiliki benteng yang tak mampu ditembus dengan mudahnya oleh sembarang orang, bahkan Elga sekali pun.
'Gue penasaran dengan cerita apa yang membentuk orang sedingin lo ini, Kak.' bisik Elga, dalam hati.
Gadis itu sangat ingin tahu kisah hidup apa yang Zyan miliki.
Menurutnya, Zyan sangatlah misterius. Sosok yang memberinya kekuatan dalam menjalani apa yang sudah Tuhan takdirkan kepadanya ini tidak setegar apa yang ia tunjukkan.
"Kak," Elga berbicara kembali, padahal sebelumnya sudah sempat berjanji tak akan ganggu Zyan lagi.
"Gue boleh jadi temen lo?"
