Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5. Kepergok Bercinta?

Helen merutuki nasib sialnya sebab harus bertemu dengan orang yang ia benci pagi-pagi sekali, tepat mengawali hari.

Ketika baru saja melangkah keluar dari kamar, pemandangan yang biasa ia tunggu-tunggu justru berubah menjadi perusak moodnya, berakhir hancur.

"Tatapan mata lo ngeliat Kak Zyan kok berubah gitu, Len?" celetuk suara dari arah belakang, "Yang sebelumnya berbinar-binar, malah kaya jijik gitu. Kenapa? Lo enggak suka dia lagi?"

Kamal, mendadak penasaran dengan keanehan yang dialami sahabatnya itu, tak seperti biasa.

"Itu karena ada nenek lampir yang keluar bareng Kak Zyan!" ketus Helen, emosi.

"Siapa?"

"Lo enggak perlu tahu! Dia perempuan licik yang sombongnya kelewatan!"

Helen melontarkan pernyataan mengenai penilaiannya terhadap yang baru ia lihat dengan nada tak suka yang begitu kentara. Tidak tanggung-tanggung, hinaan demi umpatan ia utarakan.

"Saking sombongnya, dia merasa kalau dunia ini punya dia!" sambung gadis itu, meludah sembarang.

Kamal melampirkan smirk tipisnya, "Kak Zyan juga senior sombong tingkat dewa, tapi lo suka."

"Kak Zyan dan perempuan itu dua hal yang berbeda, Mal!" Helen berbalik, menatap tajam Kamal.

Ia tak terima karena orang yang diidam-idamkan olehnya justru disamakan dengan si perempuan songong.

"Gue enggak mau denger lo nyama-nyamain Kak Zyan dengan penyihir itu!"

"Iyadeh."

Kamal mencoba menebak, sekaligus mencari cara agar bisa mengembalikan kembali mood sahabatnya. "Cewek baru yang tinggal selantai sama Kak Zyan, ya?"

"Kalau enggak salah, namanya Elga," sambung Kamal. "Dia yang buat lo kesel?"

Dengan berat hati Helen mengangguk, membenarkan informasi itu.

"Lo tau kalau gue dan tu perempuan munafik satu kelas, 'kan?" Helen bersungut-sungut kembali, "Itu artinya kami akan sering bertemu. Enggak cuma di kampus, tapi di kost juga. Nyebelin banget, sumpah!"

"Kenapa sampe sebenci itu, sih, Len?" selidik Kamal, matanya sampai menyipit, "Omongan lo dari tadi kasar banget. Lo punya masa lalu buruk dengan tu cewek?"

Helen mengpalkan kedua tangannya. "Kalau lo jadi gue, lo nggak akan sudi ketemu sama dia."

Kamal mengatakan ia bersedia mendengarkan kesukaran yang Helen rasakan, "Sejahat apa dia ke lo?" tanya cowok itu, bernada dingin.

Helen menceritakan insiden yang ia alami setahun lalu. Secara berurut, dari sudut pandangnya. Luka lama yang tak akan pernah ia lupakan. Sesuatu yang sudah ia anggap sebagai penghinaan besar.

"Padahal, niat gue bagus, kok."

"Gue mau berteman dengan tulus sama dia. Gue bilang, harusnya dia bersyukur punya takdir yang lebih baik, daripada orang di luaran sana," jelas Helen, membuat Kamal agar masuk ke pihaknya.

Selama ini, Helen tak pernah berhenti menceritakan kisah yang sama.

Mengenai keangkuhan dan kesombongan Elga gadis dari keluarga kaya raya yang memiliki hati busuk dan menoreh pengalaman penuh penghinaan kepadanya.

Kamal mengeraskan rahangnya, "Dia serius bilang gitu ke lo?"

"Apa untungnya gue bohong?" balas Helen, membenarkan sepenuhnya cerita yang ia katakan, "Elga itu perempuan naif yang nggak semua orang tau kalau dia busuk!"

"Harusnya tu cewe bisa lebih ramah ke orang yang bakalan satu seperjuangan sama dia," komentar Kamal, tatapannya berubah tajam. "Lo enggak salah, dia yang salah."

Sisil berkaca-kaca. Baru kali ini ada orang yang memutuskan untuk berada dipihaknya.

"Gue memendam semua luka ini sendirian, Mal," kata gadis itu, mendramatisir. "Sepanjang waktu, tanpa adanya permintaan maaf dari perempuan itu."

"Dia hidup dengan normal, menjalani dunianya dengan tertawa dan berbahagia. Tanpa menyadari bahwa ada orang yang hampir menghabisi diri sendiri akibat perlakuannya!"

"Lo butuh bantuan?" tukas Kamal, bertanya. Bagian terbaik dari mengutarakan cerita pada sahabat adalah langsung mencari solusi bersama.

Refleks, Helen menoleh. Wajahnya yang semula bersedih mendadak berbinar bahagia. "Lo mau bantuin gue?"

"Selagi itu bisa buat dia pergi dari hidup lo, dari bayang-bayang lo, gue bersedia." Kamal setuju.

Laki-laki yang sudah bersahabat dengan Helen semenjak SMA ini melangkah maju, "Gue janji sama lo, Len. Gue akan buat dia bertekuk lutut, minta maaf ke lo dan menyesali perbuatannya."

"Gue akan lakuin apapun, bahkan bertaruh nyawa sekali pun, asal bisa menyingkirkan orang itu dari lo!"

***

Pulang kuliah, Elga memutuskan berbenah kamar kostnya dan menciptakan lingkungan study yang lebih nyaman.

"Bagian terburuk, membuang sampah!" kesal gadis berkulih putih itu, menutup hidungnya.

Kala sampai di lantai paling bawah, ia bertemu dengan seorang cowok yang asik mengisap rokok elektriknya, menatap ke arah air pancur di sisi belakang gedung.

Awalnya, Elga ingin meminta bantuan. Tetapi karena tak saling kenal, ia mengurungkan niatnya.

Mau tak mau, Elga melanjutkan kegiatan merepotkan yang harus segera ia selesaikan agar bisa kembali ke dalam.

Yakni meletakkan sampah ke atas tong besar yang anehnya dibuat tinggi, hingga butuh effort lebih menggapainya membuat Elga begitu kesulitan.

"Dengan tubuh mini seperti ini, gue ... mana ... bisa —"

"Butuh bantuan?" tawar seseorang, suara bariton khas yang terdengar menawan.

"Eh?" Elga menatap lama, menyadari yang bicara dengannya ini adalah si cowok gang merokok tadi.

Selesai membantu Elga, orang itu juga menawarkan diri membawa kotak sampah yang gadis itu bawa hingga ke lantai atas.

"Gue Kamal," ujar sosok yang barusaja membantu Elga, bersikap baik dan ramah. "Gue tinggal di lantai paling bawah."

"Makasih, ya. Berkat bantuan lo pekerjaan gue jadi lebih cepat selesai," kata Elga, mengucapkan rasa syukurnya.

Masih sibuk menyiapkan segelas es teh untuk Kamal, ungkapan rasa terima kasih, Elga sama sekali tidak menyadari atas alasan apa penghuni lain di gedung itu bersikap sangat humble dengannya.

"Nih, buat lo. Diminum," tawar Elga.

Kamal maju, mendekatkan diri. Ia mencondongkan wajahnya memangkas jarak antara dirinya dan Elga hingga posisi mereka terlihat seperti seseorang yang hendak berciuman.

"E-eh, mau apa lo?"

Lama Kamal tak menjawab.

Elga hendak mendorong Kamal agar menjauh. Ia sama sekali tidak menduga akan terjebak momen tak nyaman dengan orang yang semula dinilai baik, olehnya.

"Ada sampah yang nyangkut di rambut lo," ucap Kamal, selang beberapa saat. "Boleh gue ambil?"

"Gue bisa sendiri!" Buru-buru Elga mundur. Napasnya tercekat. Sepertinya, keputusan salah menilai orang hanya dari luarannya saja.

"Sekali lagi, terima kasih. Lo bisa pergi."

Kamal tersenyum pahit, "Lo mikir gue cowok nggak baik, ya?" celetuknya, tiba-tiba.

"Eh, apa?" Elga tergugu, "Enggak, kok!"

Sekali lagi, Kamal maju, menekan tubuh Elga semakin terpojok ke permukaan meja. "Harusnya, kalau dari awal lo cenderung curigaan ke orang, jangan pernah terima bantuan dari siapapun!" hardik cowok itu, kesal.

Elga jadi tak enak hati, padahal niatnya tidak seperti itu, "Lo salah paham! Gue-"

Bruaaak!

Arah pandang keduanya sama-sama teralihkan ke luar kamar. Berdiri seorang pria bertubuh tinggi dengan topi hitam senada pakaiannya, merapihkan kardus yang baru dijatuhkan.

"Kak Zyan!" pekik Elga, secepat kilat mendorong tubuh Kamal yang sengaja mengunci tubuh mungilnya.

Sayangnya, Zyan keburu menyaksikan yang satu itu.

Yang Kamal dan Elga lakukan, saling berbagi kemesraan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel