Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4. Evano Zyan Sebastian

Lantai teratas hanya dihuni oleh tiga orang terpilih saja.

Dimana syaratnya harus mampu membayar fasilitas juga pelayanan terbaik yang diberikan oleh tempat ini dengan harga spesial.

"Kakak juga tinggal di lantai delapan, ya?" tanya Elga, takut-takut. Masih tidak menyangka bahwa akan ada orang yang menekan tombol itu, untuknya.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Elga hanya dibalas dengan anggukan singkat. Bibir ranum cowok bertubuh tinggi itu masih tertutup rapat.

"Si kasat mata, toh," bisik Elga. Mengangguk-angguk kecil. Ia teringat dengan percakapannya bersama Abbas, sesaat lalu.

"Sorry?"

Rupanya suara yang ia buat rendah itu masih tertangkap jelas di telinga orang ini, membuat Elga menegang seketika.

Gelagatnya persis seperti orang yang tertangkap basah melakukan suatu kejahatan. Malu sekali!

"Heum. Enggak, kok, Kak." Elga bersuara dengan gagap, "By the way, nama Kakak siapa?"

Sejujurnya, Elga masih tidak menyangka bahwa pertemuannya dengan satu lagi tetangga di sebelah unitnya akan secepat itu.

Sosok yang diajak Elga bicara nampak melirik sekilas, tak langsung menjawab.

"Gua harus banget, ya, kasih tau lo?" katanya, kemudian.

Wajar saja, sebetulnya. Di zaman ini, seseorang cenderung menyimpan hal-hal yang terbilang cukup privacy untuk diri sendiri.

"Menurut gue, harus. Karena kita tinggal di lantai yang sama!" Elga tetap percaya diri, mengulurkan tangannya. Tak lupa memberi senyuman secerah rembulan.

Ketika ia mendongak ke atas, menatap lurus ke arah pria di hadapannya ini, barulah Elga menyadari sesuatu.

'Kok kaya kenal, ya?'

'Kaya pernah temu, tapi dimana?'

Diantara pemikiran pelik yang menjumpai kepalanya, pria itu membuat Elga tersadar saat suara bariton memecah suasana.

"Gua nggak tahu hubungannya apa."

"Heum?"

"Hubungan antara kita tinggal di lantai yang sama, dengan gua yang harus memperkenalkan diri sama lo," seloroh si tak kasat mata, kata Abbas, menghardik pemikiran Elga.

"Y-yaaa, justru karena kita tetangga satu gedung, bukannya hal wajar kalau kita saling berkenalan?" Elga mencari cara mendukung hipotesinya.

Walau jujur saat ini ia merasa terpojok.

Demi menahan malu Elga sudah ingin menangis sedari tadi berusaha sebaik mungkin menyikapi santai prilaku pria sombong ini.

Saat mereka sedang saling bertatapan, pintu lift terbuka. Sesuai tebakan, tetangga kamar Elga itu melenggang pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.

"Astaga!" umpat Elga, mengelus dadanya. "Ada, ya, orang kaya dia? Pantes aja disebut tak kasat mata!"

Pintu unit seorang yang baru Elga hina itu terbuka, "Kita impas, 'kan? Lo ngatain gua, gua buat lo marah tanpa perkenalan."

Rahang Elga jatuh, ia sampai terhuyung kebelakang. "Maaf? Gue —"

Sekali lagi, tanpa penjelasan, cowok itu berlalu.

Menutup pintunya.

"Nggak, sih, El. Nggak mungkin itu orang yang sama, yang lo temuin satu tahun lalu!" simpulan Elga, sepihak.

Gadis itu memutar bola matanya, jengah. "Jelas banget dua orang ini beda jauh! Yang satu, perfect, tanpa kekurangan sama sekali. Sementara yang ini, buat hipertensi!"

Elga masuk ke kamar, mencari air dingin demi menenangkan dirinya yang tersulut mood buruk. Untunglah ada stok es-krim, gadis itu tersenyum dan segera menikmatinya di balkon.

"Huah, baru sahari tapi udah banyak banget kejutan yang gue temuin di sini!"

Ingatannya terlempar pada pengalaman menarik dengan si tak kasat mata. Entahlah, mengapa otaknya justru mengulik yang satu itu.

"Gimana kalau bener dia orang asing yang sempat gue cium dulu, ya?" celetuk Elga, asal. "Enggak mungkin, nggak mungkin banget, sih!"

Gerakannya memakan es-krim sampai terjeda, "Yakali masa, sih?"

"Tuhan nggak mungkinkan buat kebetulan demi kebetulan ini hadir di kehidupan gue, 'kan? Mustahil!"

"Bencana besar kalau itu sampe bener!"

"Gue harus gimana?"

Awalnya, Elga sama sekali tidak memperdulikan tindakan apa yang pernah, sempat, ia lakukan di masa lalu.

Toh, keduanya asing dan tidak akan pernah bertemu lagi, yang Elga pikirkan saat itu. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengira tak lagi kelanjutan dari insiden partynya.

Tuhan memberinya season kedua.

"Gimana kalau dia sadar, terus dia kenal gue? Ya Tuhan!" Elga menghentakkan kakinya ke lantai, "Lo bakalan mampus, sih, El. Kalau sampe hal ini beneran kejadian, lo selesai!"

Bertemu kembali dengan si pemiliki ciuman pertamanya adalah apa yang Elga semogakan tidak sampai terjadi.

Sebab, bukan kekasih apalagi pacar, ia mencium sembarang orang!

"Kayanya gue harus pastiin ingetan itu orang dulu, baru bisa memikirkan gimana langkah berikutnya," ujar Elga, mengusap wajah frutasi.

"Terserah harus membungkam dengan cara apa, yang penting aib masa lalu ini bisa dikubur!" tegas gadis bermata sipit itu, "Gue pasti bisa!"

"Gue pasti berhasil!"

***

Paginya, semesta memberi Elga kesempatan untuk melangsungkan rencana dengan cepat.

Abbas mengatakan bahwa tetangga mereka yang cuek itu sangat jarang bisa ditemui, tetapi Elga justru seringkali berpapasan dengannya tanpa sengaja.

"Selamat pagi, Kak!" sapa gadis itu, ramah.

Mengulik sejauh apa si kasat mata mengingatnya, dan apakah benar dia orang yang sama yang Elga temui di partynya, adalah tujuan utama.

Diam-diam, dia mencoba curi pandang dengan sosok di sebelahnya ini. Bertubuh tinggi, memiliki wajah menawan dengan hidung mancung dan bibir tipis khasnya.

Elga patutlah berbangga hati karena pemilik ciuman pertamanya adalah sesempurna orang ini.

"Gimana cara mulainya, ya?" bisik gadis itu, kata-kata yang tertuju untuk dirinya sendiri. "Basa-basi gue enggak mempan sama sekali sama ini orang."

Elga teringat, kemarin saja ia kesulitan berkenalan dengan si ketus ini. Maka harus ada pendekatan lain yang ia pergunakan.

"Lo Univ mana, Kak? Soalnya almamater lo mirip punya gue," tukas Elga, ikut memperlihatkan jas kampus miliknya.

"Angkatan berapa?"

Yash!

Tak bisa menahan kebahagiaan, Elga sampai hampir memekik gembira. Akhirnya, ia bisa memulai obrolan dengan si tak kasat mata ini.

"Angkatan duadua, Kak."

"Oh."

"Kakak sendiri, angkatan dua puluh, ya?"

Anggukan singkat diberikan pria itu, tanpa melirik Elga sama sekali.

"Gue Elga, Kak." Sekali lagi, Elga berusaha memperkenalkan diri, "Boleh, ya, gue tau nama lo? Gue pengen banget punya kenalan senior di kampus."

"Buat apa?" Pria itu memiringkan kepala, menaikkan satu alis miliknya. "Buat apa mau kenal sama senior?"

'Dapet nama lo aja susah banget, astaga!' sungut Elga, dalam hati.

"Kalau lo enggak mau, ya, gak apa-apasih, Kak." Akhirnya Elga menyerah, "Toh itu hak Kakak juga." tambahnya, ketus.

"Zyan."

"Heum?"

"Nama gua, Zyan. Evano Zyan Sebastian."

Elga tergugu di tempat, tersentak fakta bahwa keduanya orang asing yang ia kenali, dan seniornya ini adalah dua orang yang sama.

"E-Evan?"

Zyan menggeleng, "Zyan aja. Enggak semua orang bisa panggil gua Evan."

Tapi Elga dikenalkan dengan nama itu!

Apa pria ini lupa?

Apa itu artinya ....

Orang asing yang terjebak satu insiden dengannya saat party satu tahun yang lalu, tak ingat apa-apa soal dirinya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel