Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3. Tempat Tinggal Baru

Meski menjalani kuliah dengan berat hati, Elga sampai pada titik dimana ia berhasil melewati satu tahun pertama dengan baik.

Berulang kali ia mencoba meyakinkan diri apakah ini nyata, berulang kali pula ia disadarkan bahwa memang sekuat itu ia bertahan.

"Iya, Mom."

"Elga udah sampe ke alamat yang Papi kasih," balasnya, menanggapi pernyataan yang berasal dari poselnya. "Ini lagi coba cari lantai berapa unitnya."

Sambungan telpon terputus setelah Elga berhasil menemukan apa yang ia tuju.

"Huah, kejutan dari Papi memang gak bisa ditebak. Gue minta kost yang biasa aja, tapi dikasih apartemen kaya penthouses gini," seloroh Elga, takjub.

Sebuah tempat tinggal yang berisi sepuluh kamar, dibedakan menjadi beberapa lantai. Sang pemilik gedung mengatakan bahwa tiap kamar dibuatkan sesuai uang sewa. Semakin mahal, semakin mengagumkan.

Lantai kamar Elga berada di paling atas, dengan dua kamar lainnya. Kelas dua terbaik selanjutkan berada di bawah, ada tiga kamar namun lebih sederhana. Sampai seterusnya kelas paling akhir.

Yang tentu saja, biayanya tergantung dimana letak lantai mereka berada.

Setiap kamar difasilitasi elektronik terbaik. Lemari pakaian, ranjang dengan kasur yang cukup besar, meja belajar beserta kursi, lengkap.

Bahkan ada tempat untuk menonton tv yang luasnya dua kali lipat dari ruang tidur. Dapur pribadi, kamar mandi yang terdapat bathup pribadi.

"Kalau gini mah namanya bukan kost. Sama aja kaya di rumah," komentar Elga, tersenyum puas. "Papi memang paling the best!"

Satya sebagai ayah memberi segala yang terbaik untuk Elga. Apalagi, ia tahu menjadi mahasiswi kedokteran bukan hal yang mudah.

Usai membereskan barang, Elga berniat untuk mencari udara segar sekaligus menyusuri tempat tinggal barunya.

Ia perlu tahu untuk beradaptasi. Berkenalan dengan penghuni kost yang lain karena mereka tinggal disatu gedung yang sama.

"Anak baru?"

"Astaga!" Kaget, Elga memekik tanpa sadar, "Ya Tuhan!"

Baru saja hendak melangkah keluar, ia dikejutkan dengan sosok pria yang menatapnya keheranan.

Jantung Elga seperti berlarian!

"Gue sempet denger ada suara, ternyata bener ada orang baru." Selesai berujar santai, pria itu mengulurkan tangan, berkenalan lebih dulu. "Gue Abbas, unit kita satu lantai."

"Ini unit lo, sementara yang satu ini unit gue," tunjuk pria itu, ke arah pintu yang berada tepat di depan unit milik Elga. "Mau mampir, nggak?"

Menggeleng sekilas, sejak tadi Elga bingung harus merespon apa, "Mungkin lain kali. Aku masih harus berkunjung ke tempat yang lain dan melihat-lihat."

"Okay. Kalau lo butuh apa-apa, jangan ragu buat kasih tahu gue, ya?"

Menurut pandangan Elga yang sudah menemui berbagai macam sikap dan sifat manusia di luaran sana pria yang mengapanya ini adalah pria yang baik.

Meskipun tidak bisa menghapus fakta bahwa sepertinya tetangga baru Elga ini memiliki ketertarikan pada tiap jenis wanita. Ia mudah jatuh cinta. Playboy kelas kakap.

"Kalau yang sebelah ini, unitnya siapa?" tanya gadis itu, penasaran. Tersisa satu lagi pintu yang belum Elga ketahui siapa penghuninya.

Arah pandang pria itu mengikuti ekor mata Elga, menatap ke tempat yang sama, "Yang itu?"

"Iya."

"Kamarnya si tak kasat mata."

Elga terbatuk, ia tak sengaja tersedak savilanya sendiri ketika mendengar pernyataan creppy tersebut. Tenggorokannya menjadi sangat sakit.

"Eh, kenapa?" Abbas terbahak melihat reaksi Elga, diluar dugaannya. "Kok malah keselek, toh, Mbak!" Membantu agar Elga berangsur pulih, Abbas memberi sebotol air mineral.

Setelah merasa lebih baik, keduanya melanjutkan percakapan.

"Kasat mata?" ulang Elga, "Hantu gitu maksudnya, Mas?"

Karena Abbas lebih dulu memberinya julukan 'Mbak' maka Elga menyelaraskan dengan memanggilnya pria itu menggunakan panggilan 'Mas'

Terdengar lebih sopan.

"Bukan hantu, kamar itu dihuni sama manusia kaya kita, kok. Bedanya-" Abbas menggantungkan kalimatnya beberapa saat, maju dan berbisik di sebelah telinga Elga. "Dia memang agak aneh."

Pikiran Elga menerawang jauh saat ada kata 'aneh' yang Abbas selipkan.

Seperti di film atau drakor yang seringkali ia tonton, apa gedung ini juga punya banyak misteri yang tidak ia ketahui?

"Tapi yang punya tempat kost ini bilang kalau mereka menjamin keamanan tempat ini. Masa orang aneh di sini tinggal di sini, sih?" protes Elga, mulai berpikir buruk.

Abbas melongo, "Jangan bilang lo ngebayangin kalimat gue kaya di film?"

"Iya!"

Refleksi menepuk jidat dan tertawa untuk yang kesekian kalinya, Abbas merasa ia akan sangat cocok dengan tetangga barunya, Elga.

"Ya Tuhan, lo memang selalu sepolos ini, ya?!" Nilai Abbas, "Dia aneh, karena menurut gue beda dari penghuni kost lainnya. Cenderung menolak berinteraksi."

"Menolak berinteraksi, maksudnya?"

"Ya, gitu." Abbas menggunakan kata-kata yang mengandung unsur ambigu atau dengan kata lain punya beberapa makna sebagai jawaban.

Elga sebenarnya menolak untuk terlalu ikut campur dan membiarkan tiap orang punya ruang mereka sendiri.

Sama seperti tetangga barunya. Gadis itu tidak keberatan dan selama penghuni satu lantainya tidak melakukan kejahatan apapun.

"Si pemilik kamar ini padahal dokter, lho," celetuk Abbas, lagi. Matanya menyipit, menatap penuh selidik seolah sedang berpikir keras. "Tapi heran, dia tuh cuek buanget!"

"Dokter?" ulang Elga, tertarik dengan gelar yang satu itu. "Mas-mas penghuni kamar ini seorang dokter?"

"Belum jadi, sih." Abbas mengoreksi, "Kelihatannya masih adek mahasiswa. Masih muda banget, soalnya. Enggak beda jauh sama lo."

Meski masih sangat penasaran, Elga dan Abbas terpaksa tidak melanjutkan percakapan karena pria itu harus pergi bekerja.

Elga melanjutkan tour singkatnya dengan berkunjung ke lantai paling bawah, sekaligus mencari kafe agar bisa meneguk segelas kopi dingin karena mulai lelah.

Kejutan hari itu masih belum selesai, ia melihat seseorang yang dikenalinya di kampus sedang ikut memesan kopi.

"Elga, ya?" tegur gadis dengan rambut bergelombang itu, "Kok bisa temu lo di sini, sih?"

"Oh, hai." Sapa balik Elga, seramah mungkin.

"Gue Helen, lo inget?" tanyanya.

"Inget, kok." Elga menjawab terbata-bata, "Kita satu kelas, 'kan?"

"Kali aja lo lupa. Selama di kampus, 'kan, lo menolak untuk berinteraksi dengan orang-orang kaya gue." Helen berujar sinis, tapi anehnya gadis itu melampirkan senyuman ketika menghardik lawan bicara.

Elga merasa tak nyaman.

"Gue tinggal di tempat ini. Gue harap dengan begitu kita bisa lebih saling kenal lagi," ragu-ragu tapi pasti, Elga menjawab setenang yang ia bisa.

Memutus perasaan gelisah, Elga mencari alasan dengan pergi dari sana memilih kembali ke kamar dan menyudahi kegiatan kelilingnya.

Namun ketika ia hendak memasuki lift, insiden lain tak berhenti untuk menyapanya. Ada saja kejutan lebih kejutan yang ia dapatkan di tempat ini.

"Kok kaya kenal, ya?" bisik Elga, suaranya ia buat sepelan mungkin.

Matanya melirik awas, pada seorang laki-laki yang kebetulan menekan lantai yang sama dengannya.

"Siapa, sih, El? Kok lo pelupa banget kaya gini!" umpatnya pada diri sendiri, masih terus mencoba untuk mengingat orang di sebelahnya ini.

Benar saja!

Dia mirip orang itu!

Orang yang datang ke pesta Elga, tepat satu tahun lalu.

Evan, si pemilik ciuman pertamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel