Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2. First Kiss

Elga tak menyukai segala hal yang ada di pesta ini.

Sebaik, semeriah, atau sebagus apapun Satya mempersiapkan segalanya, kesimpulan sang putri tetaplah sama.

"Gue pasti jadi olok-olokan semua orang!" bisik perempuan bergaun hitam selutut itu, memanyunkan bibir setelahnya.

Ia menutup wajah, menahan malu yang besar, "Yang berhasil bukan cuma gue, tapi ada puluhan orang. Kenapa Mommy dan Papi membuatnya seolah gue paling wow, sih?"

"Karena lo memang luar biasa-"

Diantara pikiran berkecamuk itu, seseorang terdengar menimpali kalimat Elga. Datang dari arah belakang, berjalan anggun mendekatinya.

"Gue Helen, mahasiswi baru yang akan jadi satu angkatan sama lo," ujar gadis itu, mengulurkan tangan. "Gue tertarik untuk jadi temen lo."

Elga bukannya tak mau membalas uluran tangan itu, hanya saja, kedua tangannya masih terlalu basah karena baru ia cuci di wastafel sesaat yang lalu.

"Gue Elga," balas si pemilik pesta. "Lo tadi bilang gue apa?"

Dengan berat hati, teman satu jurusan Elga itu menarik dan menyimpan kembali tangannya tanpa tahu alasan mengapa Elga tak menerima dan menjabat balik.

"Gue bilang lo beruntung," kata gadis yang tampil dengan sangat glamor menurut pandangan Elga begitu, menegaskan bahwa orang ini pasti ingin jadi pusat perhatian.

"Beruntung?" balas Elga, mengulangi bagian yang ia tak mengerti, "Beruntung gimana?"

"Ya, beruntung. Lo punya segalanya, dapet pesta perayaan pula. Gue sebetulnya iri sama lo." Helen berujar rendah diri.

Elga melampirkan senyum tak percaya, "Orang kaya gue harusnya nggak diiriin. Kalau lo mau, lo boleh ambil segala yang gua punya."

Malas meladeni orang yang tak bersyukur dengan hidup yang Tuhan beri membuat Elga memutuskan berlalu, pergi begitu saja.

Helen menatap gadis yang semula diajaknya berteman dengan tatapan datarnya, "Harusnya lo nggak mengucap hal semacam itu, Elga Heidee."

***

"Apa yang orang itu mau iriin dari gue, coba?" Elga masih tak percaya dengan kejadian yang menimpanya sesaat lalu.

Kehidupan yang sebetulnya selalu ia eluh-eluhkan, mendadak diinginkan oleh orang lain.

Entah karena dirinya yang kurang bersyukur, atau orang itu yang tidak tahu tentang kisah lengkap hidupnya. Elga acuh mencari tahu.

"Gue malu, banget. Mana yang dateng rame lagi! Gue harus kemana?" Mencari lokasi yang jauh dari riuhnya para tamu, tibalah Elga di pinggiran kolam.

Matanya melebar kala melihat cantiknya tempat itu. Banyak lampu, ia juga bisa melihat betapa indahnya langit di malam hari.

"Kenapa perasaan gue tetep kosong, ya?"

"Artinya lo butuh teman berbagi."

Jantung Elga terasa seperti hendak meninggalkan tubuhnya, saking terkejutnya ia. Ada yang datang, begitu tiba-tiba sampai tidak memberi kode apapun.

"Si-siapa lo?" tanya gadis itu, terbata-bata.

"Evan," jawaban singkat, hanya satu kata, dilontarkan dengan santainya.

"Lo satu angkatan sama gue juga?" tanya Elga, memastikan juga memerhatikan dengan seksama.

Cowok berkemeja itu hanya mengangkat bahunya, tak memberi jawaban spesifik. "Gua ke sini buat gantiin seseorang."

Elga menyipit, "Gitu, ya?" balasnya kemudian, tak tertarik. "Bisa tolong tinggalin gue sendiri di sini, nggak? Gue sengaja cari tempat sepi, tapi lo dateng."

Evan yang baru berkenalan dengan gadis itu justru diusir pergi.

Menggoyangkan gelas berisi jus, cowok itu mengalihkan pandangannya. "Anggep aja gua enggak ada. Kita gak saling kenal, lo bebas lakuin apa yang lo mau."

"Kalau cerita, boleh?"

"Sure."

Anehnya, Elga yang tidak terbiasa curhat pada orang lain justru tertarik untuk mengatakan kekesalan hatinya kepada orang asing itu.

"Yang lebih nggak masuk akalnya lagi, lo itu orang asing. Tapi gue merasa nyaman banget deket lo dan ngobrol kaya gini," ujar gadis bermata sipit dan berlesung pipi tersebut.

Elga mulanya tak sadar kalimat itu terlontar begitu saja dari sudut bibirnya, kejujuran mengenai apa yang ia rasa.

Yang ia tahu, kebahagiaan karena moodnya berangsur pulih adalah berkat kehadiran sosok yang disebutnya orang asing.

"Berbincang hal random sama lo membuat gue merasa jauh lebih baik!"

Pria itu mengangkat sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman tipis yang tidak Elga mengerti maknanya.

"Justru karena gua adalah orang asing."

"Eh?"

"Karena gua orang asing, lo bisa seterbuka ini."

Yang dikatakan oleh pria itu hampir seratus persen benar.

Bahwa dengan mengutarakan apa yang dialami yang coba dipendam dalam hati kepada orang asing akan menimbulkan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.

Nyaman.

Karena orang tersebut tidak sepenuhnya mengenal apa yang kita lalui sejauh ini. Karena mereka tidak akan menghakimi juga memberi penilaian secara sepihak tanpa tahu yang sebenarnya terjadi.

Elga terkejut saat teman ceritanya itu mendadak bangkit, merapihkan tatanan kemejanya dan hendak berpamitan.

"Mau kemana?"

"Sorry?"

"Maksud gue, lo kelihatan mau pergi. Pestanya aja belum dimulai, lo mau pulang?"

Laki-laki berparas menawan itu membalas sekadarnya. "Gua udah bilang, gua di sini karena permintaan gantiin seseorang. Waktu disepakati udah habis."

"Tapi-" Elga ingin menahan orang itu lebih lama, hanya saja sayangnya ia tak punya alasan bertindak demikian.

Harusnya pertemuan itu cukup berakhir sampai di sana.

Harusnya tidak ada lagi yang membuat mereka terlibat antara satu sama lain. Tak ada alasan membuat perjumpaan itu spesial.

Seperti konsep orang asing pada umumnya, bertemu untuk pada akhirnya berlalu seolah tidak ada yang terjadi, berlaku juga untuk kali ini.

Terlepas dari itu, Elga merasa ada yang aneh dengannya.

Memikirkan bahwa ia tidak akan bertemu dengan orang itu lagi membuatnya merasa sedih.

Ini konyol, Elga tahu itu.

"Te-terimakasih," ucap Elga, sungguh-sungguh. "Siapapun lo, terimakasih karena sudah bersedia mendengarkan cerita gue."

Pria itu mengangguk sekilas, "Hidup adalah yang pertama kalinya buat kita semua. Buat lo, buat gua. Nggak usah terlalu dipikirin, jalanin aja."

Bersamaan dengan kalimat terakhir yang si orang asing itu lontarkan, Elga merasa ada magnet besar yang menariknya.

Membuatnya melangkah menuju tempat dimana pria itu berdiri.

Tenggelam bersamaan dengan harapan-harapan baik yang ditujukan kepadanya, satu kecupan hangat rupanya menjadi akhir dari perjumpaan asing mereka berdua.

Dua bibir ranum itu menyatu, menempel lembut.

Elga membiarkan ciuman pertamanya jatuh pada orang asing, yang tidak ia kenali sama sekali tak tahu nama maupun asal usulnya terjadi begitu saja.

'Lo gila, El. Lo kehilangan akal sehat!' umpatnya, dalam hati.

Tapi bukannya mengambil langkah mundur, Elga malah memosisikan dirinya lebih dekat, menekan kepalanya lebih dalam lagi.

Sementara sosok yang diserang Elga dengan ciumannya itu membeku, mematung di tempatnya. Awal mula terkejut, lalu saat kehangatan membaur diantara jiwa mereka berdua, barulah si lelaki mulai menuntut.

Ia membalas ciuman dadakan itu dengan memperlakukan Elga layaknya tuan putri.

Memberikan pengalaman luar biasa di pesta perayaan gadis blasteran yang akan menjadi dokter kelak di masa depan ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel