Chapter 2: Pleasure
Lara
Aku dapat merasakan dia bergerak di atas pantatku dengan begitu cepat. Dia melebarkan kedua pahaku dengan kedua kakinya sehingga, dia memiliki ruang gerak untuk masuk dengan lebar. Dia terus memompa dengan keras sampai detak jantungku rasanya sangat kencang. Kami berdua berkeringat, sesekali aku dapat merasakan keringatnya jatuh di punggungku. Aku hanya dapat mengerang merasakan kenikmatan yang dia berikan. Aku menyukai ukuran batangnya yang ideal, dia masuk cukup dalam yang membuat labiaku bergetar ingin lebih.
Sesekali dia memijat pinggulku, menarik rambutku yang menimbulkan sedikit rasa sakit. Dia mencium leherku dengan sedikit keras yang terasa agak menyakitkan. Namun, aku terus terbuai dalam tempo gerakannya yang semakin cepat membuat jantungku berdebar lebih keras sekaligus merasakan kenikmatan yang tak terhingga. Tak ada yang mampu bercinta denganku sehebat dia. Aku dapat merasakan setiap sentuhan dan hentakannya mencapai ke pucuk dalam. Begitu dalam dia menyelamkan batangnya membuatku begitu sangat basah.
Aku hampir mencapai puncak ketika hentakannya begitu keras akan tetapi, dia memiringkan tubuhku, menusukkan batangnya dari samping kanan dengan tempo cepat, "Ahhhhhhh" Aku mengerang keras karena aku mencapai puncak. Dia masih belum berhenti bermain sampai akhirnya mengeluarkan cairan kental hangat di dalam rahimku. Jantungku masih berdetak tak teratur, napasku terengah-engah. Kami berdua sangat berkeringat, dia mencium keningku sebelum akhirnya pergi untuk membersihkan diri sementara, aku tertidur di ranjang sampai jam 4 pagi aku memutuskan untuk membersihkan diri lalu, pergi meninggalkannya yang masih tertidur lelap.
Aku tak meninggalkan pesan sama seperti ketika aku tidur dengan para lelaki di club. Aku agak sibuk akhir-akhir ini tak seperti sebelumnya dimana aku memiliki lebih banyak waktu untuk minum, bercinta dengan lelaki tampan yang tidak ku kenal. Beberapa dari mereka bermain seperti biasa tak sama seperti pria semalam yang memberikan hal berbeda. Sentuhan-sentuhan yang dapat merangsang syarafku, suaranya yang indah serta dada bidangnya yang menyejukkan mataku. Aku sangat menyukainya, dia bergerak dengan tempo yang ku suka. Aku merasakan setiap gerakannya yang begitu gentle, pelan, sedang, cepat. Dia tau bagaimana membuatku mengerang begitu keras untuk meminta lebih.
"Mama Papa!" teriak Althea ketika aku masuk rumah jam 5 pagi, astaga dia baru bangun atau memang tidak tidur? Aku harap teriakannya tidak membangunkan orangtuaku. Aku akan kacau jika mereka sampai bangun.
Aku menutup mulutku dengan satu jari sebagai tanda agar dia diam tak berteriak. Mama Papa tidak suka jika aku pulang pagi karena seks di hotel setelah berpesta di club. Mereka tak ingin aku terlibat skandal karena dapat merusak nama baik Stevenson. Hal itu terdengar membosankan padahal aku tak pernah mengenal para lelaki yang ku tiduri, itupun jarang. Semenjak, hubunganku dengan Piers kandas. Aku tak pernah tertarik dengan lelaki manapun, aku masih belum jatuh cinta. Lagipula itu bukan hal yang harus ku pikirkan karena aku tidak dipaksa untuk menikah, berbeda dengan kakakku Althea yang dipaksa menikah karena usianya telah menginjak 25 tahun.
Hubungannya dengan Liam agak naik turun, mereka sering putus nyambung tanpa sebab yang jelas. Ditambah kakakku suka kebebasan sementara, Liam yang merupakan tunangannya selalu mengatur-ngatur Althea untuk tidak pergi kesana-kemari. Liam ingin calon istrinya belajar memasak, belajar mengelola rumah tangga yang baik sementara, Althea adalah seorang CEO pada salah satu sektor perusahaan milik Stevenson. Dia terlalu sibuk untuk menyempatkan waktunya untuk memasak di dapur. Sejak kecil kami tak pernah diajarkan untuk memasak meskipun tak jarang aku lebih sering memasak ketika tinggal di Adelaide untuk menyelesaikan kuliahku masterku.
Pekerjaanku adalah seorang pengacara, Mama dan Papa yang meminta, menuntut anak terakhir mereka untuk menjadi seorang pengacara. Selain meneruskan firma hukum milik ibuku, aku bertugas melindungi setiap hal yang berkaitan dengan bisnis Stevenson. Meskipun ibuku selama ini sudah bekerja keras untuk Papa, tetap saja aku harus menjadi penerusnya. Tadinya aku ingin berkuliah di bidang kedokteran sebab menjadi dokter bedah terlihat sibuk dan menyenangkan. Aku sangat menyukai kesibukan, sebab hubunganku retak dengan Piers, aku semakin mengejar gelar master jauh dari Perth.
Selama 2 tahun terakhir di Adelaide membuatku merindukan Perth. Aku memang jarang pulang namun, sudah setahun ini aku kembali lagi ke kota asalku. Berada di Adelaide dengan serangkaian kegiatan akademik yang membuatku cukup lelah, sesekali aku merasa sedikit bosan karena berbagai hal sudah ku coba. Aku seringkali mempertanyakan bagaimana kehidupanku selanjutnya tanpa seorang Piers yang telah menemaniku selama 4 tahun terakhir. Dia meninggal tepat seminggu setelah hubungan kami retak. Meskipun sibuk selama 2 tahun bahkan hingga hari ini, aku tetap sesekali mengingat seorang Piers.
Sulit untuk sepenuhnya menghilangkan dia dari ingatanku atau mungkin aku tak mampu untuk melakukan hal itu sebab masa lalu bukan untuk dilupakan melainkan untuk diselesaikan. Masa lalu adalah hal yang telah selesai sehingga kita harus selesai, menerima semua kenyataan yang ada. Aku sudah selesai dengan hal itu hanya saja hidup terus berjalan. Aku menikmati menjadi seorang pengacara, membantu orang lain termasuk dari salah satu dari passionku. Terkadang aku menemukan kesulitan yang cukup mudah untuk dihadapi sebab aku dapat meminta bantuan dari ibuku.
"Selamat pagi, Tuan Putri. Kau baru saja bangun dari tidur dan mimpi indahmu, huh? Mengapa kau mengusir Kevin semalam?" Aku menelan makanan yang telah ku kunyah. Aku menikmati makanannya tanpa merespon pertanyaan Althea.
"Mengapa kau tidak bekerja pagi ini, huh?" Dia tertawa kecil, "Aku bekerja dari rumah, kau tau aku bisa mengadakan rapat dalam jaringan." jawabnya beralasan.
"Katakan saja kau sangat malas bekerja dengan Hank, bukan? Sepertinya dia memarahimu kemaren." Aku mengangkat alisku menatapnya tajam, raut wajahanya yang tadinya ceria kini berubah. Meskipun Hank adalah kakak kami, saudara tertua kami akan tetapi, Hank seringkali memarahi orang-orang yang ada di bawahnya tak peduli meskipun itu adalah adiknya sendiri.
"Aku tidak percaya dia marah karena hal kecil. Rasanya aku ingin-"
"Althea! Kau tau dia akan selalu begitu. Mengapa kau tidak berbicara dengan Papa?" Aku memotong kalimatnya sebelum dia mengatakan hal aneh-aneh. Aku tak suka jika dia berbicara melewati batasnya sendiri dan hendak menyakiti dirinya sendiri. Entahlah, dia seringkali mengatakan itu.
"Sudahlah, Lara. Aku sudah agak muak dengan semua ini." ucapnya.
"Lupakan itu, ceritakan semalam. Mengapa kau terlambat pulang ke rumah semalam? Mama hampir menyemprotmu dengan kata-kata mutiaranya sebelum dia pergi bekerja." Dia tertawa kecil.
Aku tersenyum tipis yang akhirnya melihat moodnya yang kembali membaik, "Aku hanya bersenang-senang sedikit. Itu tidak penting, kau pasti sudah tau jawabannya." tuturku. Aku hanya tak ingin bercerita tentang semalam.
"Apa yang terjadi padamu? Tidak seperti biasanya kau tidak bercerita. Kau biasanya bercerita tentang malam-malammu bersama pria, cerita tentang dirimu yang mencoba keberuntungan akan tetapi, selalu gagal karena para pria itu bukan tipemu. Ceritakan padaku, Lara!" pintanya memelas. Rasa ingin taunya begitu tinggi ketika aku tersandung masuk ke dalam hotel bersama pria.
"Aku setengah mabuk bersama dengan Chyntia. Aku pikir untuk menambah minuman akan tetapi, seorang pria menarikku. Aku tidak tau, itu terjadi begitu saja. Aku sekilas melihat Chyntia yang tenggelam bersama kerumunan orang berdansa di depan orang yang memainkan musik. Aku ditarik masuk ke hotel, itulah dia. Dia mengunciku di kamarnya, dengannya. Oh aku lupa satu hal bahwa dia menggendongku sampai masuk ke dalam hotelnya."
"Wah kedengarannya dia pria yang tampan. Aku suka ini!" ucapnya bersemangat untuk mendengarkan kelanjutan ceritanya, "Ya, dia memang tampan, tubuhnya yang kekar, dada bidangnya yang menawan, senyumnya yang memabukkan dibalut bola matanya yang berwarna kecoklatan gelap membuatnya tampak seperti pria jahat. Aku menyukai semuanya." Aku sedikit melamun membayangkan pria itu semalam. Aku bahkan tak tau siapa namanya.
"Jadi, mengapa kabur jika kau menyukainya?"
"Aku hanya tak ingin berakhir sama seperti Piers. Aku hanya ingin mereka hadir sebagai penyenang dalam hidupku, tidak lebih dari itu." jawabku sembari mengunyah sarapanku.
"Sepertinya kenangan Piers masih menghantui dirimu. Tapi, kau tidak bisa menyamakan semua cinta akan berakhir seperti kisah cintamu dan Piers. Mungkin saja dia berbeda, Lara?" ucapnya serius.
Aku menatap matanya sejenak, "Mungkin kau benar, aku hanya tak siap untuk sebuah hubungan saat ini. Aku ingin menikmati diriku sendiri sejenak."
"Sudah 3 tahun kau berlari dari kenyataan bahwa kau pun membutuhkan seorang lelaki untuk menyenangkanmu, Lara. Buktinya semalam kau tidak akan menikmati kesenangan itu jika kau melakukannya sendirian. Lupakan masa lalu itu, semua itu sudah selesai." Aku terpaku tak merespon ucapannya yang benar menurutku. Seharusnya aku tak berlarut-larut meskipun aku mengatakan aku sudah selesai namun, nyatanya Piers masih menghantui diriku.
Kematiannya adalah satu hal yang tidak ku harapkan meskipun kami sudah putus. Waktu itu aku sempat berharap hubungan kami akan kembali membaik. Aku tak ingin benar-benar melepaskannya, dia pun begitu. Tak ada pesan terakhir ketika kami putus karena amarahku yang terus berlanjut. Aku pernah menyangka akhirnya amarahku yang membuat Piers tak kembali denganku sampai akhirnya dia meninggal karena dibunuh oleh Foster. Piers bekerja untuk Papa sejak lama, dia banyak berkontribusi salah satunya adalah mengetahui dan memberitau alur bisnis Foster yang dapat ditiru oleh Papa.
Meskipun begitu, Papa masih mendapatkan masalah dalam pengiriman barang-barangnya ke konsumen. Tak jarang, dia rugi beberapa ratus dollar karena uangnya dicuri ketika masih dalam perjalanan pulang. Dia mengatakan bahwa Foster pun memiliki masalah yang sama akan tetapi, aku tidak begitu peduli dengan hal itu. Hal yang aku inginkan saat ini adalah fokus terhadap pekerjaanku. Tak jarang ibuku meminta bantuanku untuk menyelesaikan kasus yang seharusnya dia tangani. Dia juga memintaku untuk belajar mengajar karena dia ingin aku menjadi dosen di salah satu Law School di Perth.
Aku sudah membantu ibuku selama hampir 5 tahun atau mungkin kurang. Aku lupa kapan tepatnya aku mulai membantu ibuku menyusun berbagai gugatan, nota pembelaan maupun surat-surat lain yang berkaitan dengan acara pengadilan. Aku mendampingi dia dalam berbagai kasus baik sebelum aku tersertifikasi sebagai pengacara maupun ketika aku sudah tersertifikasi. Aku memiliki pengalaman yang cukup dalam menangani kasus sehingga, ibuku meminta aku mendampingi kasus seorang perempuan yang digugat cerai istrinya sementara, anaknya tidak merelakan kedua orangtuanya bercerai.
Ada banyak hal yang ku tangani minggu ini. Pekerjaan padat dengan berbagai undangan pesta pula minggu ini yang harus ku hadiri. Aku yang masih punya banyak pekerjaan sebetulnya tak ingin menghadiri acaranya ulang tahun Renata, salah satu anak gadis dari sahabat Papa yang merupakan teman Althea. Aku diundang karena aku adiknya Althea, menyebalkan sekali. Althea memaksaku untuk datang ke acara itu dengan dalih agar aku menemukan seorang pria. Padahal aku tau, dia mengajakku karena dia dan Liam sedang tidak baik.
"Ayolah kau pasti menyukainya, pesta Renata tidak terlalu buruk!" ucapnya terdengar senang ketika berada di dalam mobil. Dia mengenakan dress warna biru tua yang membuatnya terlihat sangat elegan dan seksi.
"Lara, jangan cemberut begitu. Aku tidak akan bilang jika kau ingin menyempatkan malam ini dengan seorang pria." ucapnya membujuk agar aku tidak cemberut.
"Seks di dasar laut sepertinya bukan ide yang buruk, kan?"
"Kau bisa menyewa ruangan di dalam kapal jika kau mau." ucapnya.
"Mereka tidak menyewakan untuk tamu, Althea. Jadi, aku lebih baik pulang dan tidur di rumah daripada tidur di kapal. Aku akan bermimpi buruk melihatmu dan Liam melakukan seks di atas pasir pantai!" ucapku mengingatkan masa itu yang sempat terpergok olehku waktu itu.
Althea tertawa mendengar hal itu. Pestanya berada di kapal pribadi yang tidak menyediakan ruang untuk para tamu. Pesta ini sebenarnya sangat pribadi, hanya beberapa orang yang diundang termasuk aku dan Althea. Ketika sampai, mereka membawa kami dengan sebuah kapal kecil untuk menuju kapalnya yang sudah berada di tengah lautan. Hawanya sangat dingin sehingga, aku tak ingin berada di luar karena aku dapat sakit apalagi pekerjaanku sangat menumpuk dan melelahkan, aku akan lebih mudah sakit jika terkena udara dingin. Althea meminta salah seorang pemandu untuk mempotret dirinya sendirian.
Ketika sampai, kami disambut para pelayan untuk diantar masuk ke dalam ruang utama di dalam kapal yang digunakan sebagai tempat pesta. Althea memperkenalkanku kepada beberapa orang terutama kepada para teman prianya. Dia bersikap sangat ramah kepada semua orang seolah tak memiliki kekasih. Aku hanya memperhatikan dia yang asik berbincang sementara, aku keluar dari kapal untuk menikmati udara malam yang tidak terlalu dingin karena kapalnya tidak bergerak.
Aku memikirkan pekerjaanku yang ku tinggalkan karena Althea. Pasti membutuhkan waktu yang lama untuk pulang ke rumah karena setelah pestanya selesai kami harus diantar dulu ke daratan dengan kapal lain atau kapal ini akan berlayar mengantarkan kami. Ntahlah, itu yang terpikir di dalam pikiranku. Aku kurang kerjaan sekali datang ke pesta ini, jika bukan karena Althea mungkin sekarang aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.
Aku kembali masuk karena Althea memanggilku, ketika akan masuk aku tersandung pada pintu yang membuatku terjatuh akan tetapi, seseorang menangkap tubuhnya yang mencegahku untuk jatuh ke lantai. Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya Althea mendekat karena khawatir. Dia melepaskan aku lalu, pergi begitu saja karena harus mengangkat telpon.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Althea khawatir.
"Aku ingin pulang sekarang." pintaku padanya.
To be continued....
