Mendapat Tamparan
Ammar Rafidan, pengusaha muda yang memiliki perusahaan multinasional dan bergerak di beberapa Negara, tampak sibuk pada laptop di pangkuannya. Bibirnya yang
merah sensual bergerak membaca data di laptop. Wajahnya khas blasteran Iran – Indonesia.
Sangat tampan. Penampilannya selalu rapi, jas dan dasi tak pernah lepas dari balutan di
tubuhnya.
Pengemudi mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi.
“Lebih cepat lagi! Jangan biarkan waktuku terbuang,” titah Ammar.
“Baik, Tuan Muda!” Supir menginjak gas, mempercepat kelajuan mobil.
“Besok aku akan ada meeting penting dengan klien dari Jerman. Kau harus bersiap sebelum jam tujuh.”
“Baik, Tuan muda.”
Tak lama kemudian, tiba-tiba mobil berhenti.
“Hei, aku baru saja memrintahmu untuk mempercepat kelajuan mobil. lalu kenapa
malah berhenti?” Tanya Ammar masih dnegan pandangan fokus ke laptop.
“Maaf, Tuan Muda. Sepertinya ada masalah dnegan mobil ini,” jawab supir dengan
suara gemetaran, takut bosnya mengamuk. Dia sangat pahan dengan sifat bosnya itu. Bisa berang jika mendapati kesalahan kecil saja.
“Apa? Mobil ini bermasalah? Bukankah aku sudah memerintahmu supaya mengecek
mobil setiap saat, servis mobil tepat waktu. Lalu apa lagi?” hardik Ammar.
“Saya akan cek, Tuan!” Supir bergegas turun.
Ammar melepas nafas berat sambil membuang pandangan ke luar. Dahinya
mengernyit mendapati pemandangan di seberang jalan sepi yang dia lalui. Meski jarak lumayan jauh, namun kejadian itu dapat dilihat dengan jelas oleh Ammar.
Masih dengan dahi mengernyit, Ammar melihat seorang wanita dipeluk oleh sosok
pria dari arah belakang, digeret memasuki sebuah gang.
Dengan sekuat tenaga, gadis itu meronta meminta untuk dilepaskan.
Sementara sosok pria lain mengikuti sambil menjulurkan tangan ke arah wajah gadis itu. Bahkan memukul gadis itu hingga tak sadarkan diri.
Ammar melipat laptop dan meletakkannya ke jok samping. Dia turun dari mobil dan berlari secepat kilat, menyeberangi jalan menuju dimana gadis itu diletakkan di tanah. Supir sampai bingung melihat bosnya lari ngibrit entah kemana, seperti dikejar iblis.
Baru saja salah seorang preman memposisikan tubuhnya dalam keadaan berlutut di hadapan tubuh si gadis yang terbaring tak sadarkan diri, lalu menurunkan resleting celana.
Sebelum sempat preman itu melakukan hal gila, Ammar melompat dan menendang
tubuh pria itu hingga tumbang ke tanah. Pria berkaos hitam yang merupakan komplotan preman itu pun terkejut melihat kedatangan Ammar. Segera pria itu membalas tendangan Ammar dnegan pukulan bertubi-tubi yang sayangnya dnegan mudah ditangkis oleh Ammar.
Tak butuh waktu lama hingga Ammar mampu melumpuhkan kedua lawannya dan
terkapar di tanah setelah menghadiahi pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
“Cabut!” seru salah seorang preman sambil mengacungkan jari tengah ke arah Ammar.
Kedua preman lari tunggang langgang.
Sepeninggalan para preman itu, pandangan Ammar tertuju ke arah gadis yang
terbaring lemah. Gadis itu sangat cantik.
Ammar terdiam sebentar, bingung harus melakukan apa terhadap tubuh gadis itu.
Namun kemudian ia menggendong tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke mobilnya, membaringkan tubuh gadis itu ke jok belakang.
“Nona! Hei, Nona! Bangunlah!” Ammar membungkukkan tubuh dan menepuk pipi
gadis itu pelan. Namun usahanya sia-sia. Gadis itu tetap terpejam.
Ammar lalu menutup pintu mobil belakang lalu memilih duduk di sisi kemudi. Supir
menyusul masuk ke bagian kemudi.
Ammar menepuk-nepuk jasnya yang kotor akibat perkelahian sengit tadi. Lalu ia
menoleh, pandangannya tertuju pada tubuh gadis itu. Netranya berhenti saat mendapati
wajah cantik si gadis.
“Mobil sudah beres. Apakah kita pulang sekarang, Tuan muda?” tanya Supir.
“Jalankan saja mobilnya!” titah Ammar. Sebenarnya Ammar juga bingung akan
membawa gadis itu kemana, mustahil dibawa pulang. Mamanya pasti akan mempertanyakan siapa gadis yang dia bawa pulang. Kemudian ia mngambil ponsel dari saku kemeja di balik jasnya. Ia menelepon Talita, kekasihnya.
Tak lama suara gadis menjawab di seberang. “Halo, sayang!”
“Kau di rumah sekarang?”
“Ya. kenapa? Kau ingin menemuiku? Kemarilah! Aku di rumah.”
“Ada seorang gadis pingsan di jalan. Dan dia bersamaku sekarang. Aku tidak tahu siapa dia. Bisakah kubawa dia ke rumahmu? Biarkan dia menginap di rumahmu untuk beristirahat satu malam saja."
“Oh..” Terdengar suara dipenuhi kekecewaan.
“Talita.”
“Eh? Ya, bisa.”
“Baiklah aku ke rumahmu sekarang.” Ammar memutus sambungan telepon.
Sesampainya di depan rumah elit yang tak lain adalah rumah Talita, Ammar turun dari
mobil sesaat setelah supirnya membukakan pintu untuknya. Ia menuju ke pintu mobil bagian belakang, lalu memposisikan kedua tangannya untuk menggendong tubuh gadis yang tak lain adalah Ziva. Ammar mengeluarkan tubuh Ziva keluar dari mobil. Pria itu melangkah
menuju ke pintu gerbang yang baru saja dibuka oleh satpam.
Ziva yang berada di gendongan Ammar, merasakan tubuhnya terayun-ayun dalam
gendongan. Dia juga merasakan tubuhnya berada dalam lingkaran lengan seseorang. Mata Ziva terbuka, dia membelalak kaget menatap wajah pria tampan yang berada di dekatnya.
“Aaaa…” Ziva menjerit.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Ammar hingga pipi putih itu memerah hanya dalam
hitungan detik.
“Lepaskan aku!” teriak Ziva yang tentunya salah paham, mengira Ammar adalah
komplotan dari para preman yang hampir memperkosanya.
Kesal, sontak Ammar menjatuhkan tubuh Ziva dari gendongannya.
“Jangan macam-macam kamu!” seru Ziva kemudian lari ngibrit meninggalkan Ammar.
“Sial!” Ammar memegangi pipinya yang sakit.
.
.
To be continued
