Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB TIGA Pria berambut merah kecokelatan itu....

Lorong rumah terasa sepi, tak ada seorangpun, kecuali seorang pelayan yang tadi menyambutnya.

Kinan berjalan menuju kamarnya dengan wajah lelah. Adiknya, Luna, suka sekali ke kamarnya untuk menunggunya dan sekadar bergolek-golek di ranjangnya.

"Kakak sudah pulang," kata gadis berusia 20 tahun itu menoleh sebentar. Dia sangat asyik menonton sebuah drama Thailand.

"Ya," sahut Kinan, mendesah sambil merebahkan badannya ke ranjang. "Nonton drakor apa?"

"Bukan drakor, tapi lakorn—drama Thailand," jawab Luna. "Ceritanya tentang boy x boy gitu?"

"Maksudnya homo?"

"Iya!"

Kinan terkesiap, menegak sedikit ke arah TV. Ia melihat dua aktor tampan tengah beradegan romantis, yang kemudian berakhir dengan kecupan manis di sebuah pantai.

Luna yang suka mengkhayal, meleleh melihat adegan itu. Namun, Kinan justru merasa jijik. Ia tahu kalau negara itu tidak mempermasalahkan soal hubungan sejenis atau transgender. Hanya saja....

Tiba-tiba, ia teringat pada kejadian yang barusan dilihatnya. Di TV, itu hanya cerita rekaan. Kalau yang tadi itu memang nyata.

Luna menyadari kakaknya tengah duduk sambil termenung. Ia mengernyit, lalu bertanya, "Kakak kenapa? Apa yang lagi dipikirin?"

"Eh? Enggak." Kinan tertegun. "Em ... Lun."

"Iya, Kak?" sahut Luna tanpa memalingkan wajah dari TV.

"Kamu pernah kenal pasangan homo, nggak?" tanya Kinan sangsi.

"Kenal sih nggak. Tapi aku tahu ada yang begitu di kampus," jawab Luna, lalu memasukkan popcorn ke dalam mulutnya.

"Menurut kamu gimana?"

"Em ..." Luna terdiam sambil berpikir, lalu menoleh pada Kinan. "Nggak kenapa-kenapa. Memangnya, aku harus apa? Menjelek-jelekkan mereka? Itu jahat, Kak."

Kinan melirik menelaah pemikiran adiknya itu.

"Bagaimanapun juga, mereka manusia," lanjut Luna, kembali berbalik ke depan layar TV. "Bukan salah mereka kalau hidup mereka jadi seperti itu."

"Ya!" Kinan melompat turun dari ranjang, berjalan menuju sofa, dan duduk di samping Luna sembari berkata, "Tapi, bukannya melanggar agama dan adat, ya?"

"Dunia yang modern ini memang nggak bisa lepas dari dua hal itu, tapi kita juga nggak perlu menambah lumbung dosa kalau hanya bisa menjelek-jelekkan orang," jawab Luna. "Kecuali, kalau mereka merasa mampu menasihati kaum itu dengan benar. Bukannya aku skeptis sih. Tapi memang susah mengembalikan para kaum LGBT menjadi straight."

Kalau diperhatikan, Luna tipe bocah yang punya pemikiran luas. Kinan jadi kagum sekaligus merasa ingin tertawa kecil ketika mendengarnya. Dia seperti terlihat tua dibanding umurnya.

Kedua gadis itu kembali menonton drama itu. Lumayan seru menurut Kinan, sampai ia mencomot popcorn milik Luna. Akan tetapi, si pemiliknya tidak memperbolehkanya. Luna protes, dan menepuk tangan Kinan yang akan mengambil popcorn lagi.

Ya, sudah. Kinan yang sudah tidak mood menonton, menghempaskan diri ke ranjang. Tapi kemudian, ia kembali berkata sambil menatap langit-langit kamar.

"Lun. Kalau kamu sendiri, apa yang kamu lakukan pada pasangan homo yang ada di kampus kamu?"

"Emang mau ngapain lagi? Biar saja. Lebih baik ngurusin hidup sendiri daripada ngurusin hidup mereka. Hidup kita aja udah repot, nggak usah ditambah susah."

Kinan tersenyum geli, berbaring lagi. Meski terdengar lucu, tapi ia setuju dengan ucapan Luna. Sekarang, yang dipikirkannya adalah pernikahan tanpa cinta yang akan berlangsung sebentar lagi.

Meskipun sudah melihat rupa Danial lewat foto, Kinan ingin sekali melihat wajah pria itu. Em ... mungkinkah pria itu sudah melihat rupanya dari foto?

Ia heran. Apa tidak ada terbesit sedikitpun di dalam benak pria itu untuk bertemu atau sekadar mengenal sebagian kecil tentang dirinya?

Tepat. Memang sama sekali tidak!

Karena hal itu, menjadi topik pembahasan untuk makan malam di keluarga Darmaji. Papa dan mama Danial mengetahui semuanya dari Fahlevi, sekretaris kepercayaan Danial.

Papa tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Danial hampir tersedak ketika menyesap segelas anggur. "Kapan kamu mau menemui Kinandita?"

Danial mengelap bibirnya dengan serbet. "Sudah," jawabnya.

"Kapan?" tanya papanya lagi.

"Sekitar lima hari yang lalu."

Pria berumur sekitar 60an itu menghela napas. "Tapi kau tidak menemuinya, 'kan? Malah kau menyuruh Fahlevi untuk menemuinya."

Rahang Danial mengeras. Siapa lagi yang memberitahukan soal ini pada papanya kalau bukan Fahlevi? Awas saja anak itu!

"Jangan menyalahkannya," sahut papanya dengan tenang, memotong daging panggangnya, setelah melihat ekspresi Danial. "Aku mengetahuinya dari orang lain."

Mata Danial menyipit, datar dan dingin. Lalu, menyunggingkan senyum sinis. "Papa buang-buang uang untuk menyewa mata-mata?"

Entah apa yang telah dilakukannya, hingga anaknya sampai sedingin ini pada orangtuanya? Apa karena Danial mengenyam pendidikan di luar negri?

Pria tua, yang kini duduk di atas kursi roda karena penyakit yang dideritanya, mulai geram. Kini, ucapan yang keluar dari mulutnya begitu keras, sekeras hatinya.

"Pokoknya, kamu harus menemui Kinandita!"

Danial meletakkan garpu dan pisau dengan kasar di atas piring, menatap dengan sikap menantang pada papanya.

"Apa tidak cukup aku menerima perjodohan ini?"

Mendengar suara keras dari anaknya, papanya naik darah. Sang ibu mulai khawatir, takut akan ada perselisihan lagi di antara anak dan suaminya.

"Sudah! Cukup!" kata wanita itu, tegas tapi lembut. "Danial, Mama mohon, jangan lagi buat papamu marah." Pandangannya kemudian mengarah pada suaminya. "Sudah, Pa. Papa tenang, ya? Papa ingat pada ucapan dokter, 'kan, kalau Papa harus mengontrol emosi?"

Seakan tak mendengar ucapan sang istri, pria itu berkata, "Papa menjodohkanmu dengan gadis itu demi masa depan kamu!"

Masa depan? Danial selalu mendengus sinis setiap papanya memberikan alasan yang sama, ketika ia memilih sebuah keputusan. Hidup selama 32 tahun, ia hanya bisa terkekang oleh aturan papanya yang merasa bagaikan Dewa. Meskipun begitu, ia tak bisa melawan lebih dari ini.

Dilemparkannya serbet yang digunakan untuk mengelap mulutnya ke atas meja, menatap papanya dengan geram sembari berkata, "Baiklah, jika itulah yang Anda inginkan!"

- ;-;-;-

Kinan merasa bodoh. Di dalam hati menggerutu pada dirinya yang selalu percaya pada janji seseorang.

Kemarin, sebuah nomer asing menghubunginya. Suara bass nan dingin mengatakan sesuatu dengan singkat, tanpa basa-basi, tanpa bahkan menyapa.

"Aku ingin bertemu denganmu di restoran Etoile pukul 7 malam." Sudah, begitu saja. Lalu, teleponnya ditutup oleh pria itu.

Kinan tercengang bingung, dengan ponsel masih didekatkan ke telinganya.

Apa tadi katanya? Janjian ketemuan lagi? Ini benaran, atau hanya sekadar janji palsu belaka? Jangan-jangan, ia hanya akan bertemu dengan sekretarisnya lagi?

Kinan mondar-mandir di dalam kamarnya sambil berpikir. Ia menghela napas panjang. Sudah ia putuskan untuk tidak menemui pria itu besok malam!

Nyatanya....

Kinan malah duduk di sebuah meja yang telah dipesan oleh Danial, memakai dress kesukaannya yang berwarna merah muda.

Pria itu belum datang, padahal ia sengaja datang lebih lambat dari waktu janjian karena tak ingin menunggu pria itu.

Dasar tukang ngaret! Sudah pukul 19.40, tapi batang hidungnya yang mancung itu belum juga terlihat di restoran ini!

Cukup! Kalau memang tidak serius, lebih baik bertemu di hari pernikahan saja!

Kinan beranjak, sambil menenteng tas tangan hitamnya keluar dari tempat itu. Namun, derap langkahnya semakin memelan ketika menghampiri pintu yang terbuat dari kaca yang bening, mengernyit melihat sesosok pria yang sedang menghadap belakang sambil menelepon.

Bukannya apa-apa. Pasalnya, punggung atletis dan rambut merah kecokelatan itu tampak tak asing baginya. Ya! Pria yang waktu itu dilihatnya di apartemen kakaknya.

Tanpa suara, ia semakin mendekati pria itu, hingga jaraknya jadi kurang sekitar satu meter. Matanya semakin membulat ketika pria itu berbalik, memperlihatkan sebuah rupa pria tampan yang dilihatnya di sebuah foto yang ada di ponsel Fahlevi.

"Apa Anda Danial Arslan Darmaji?" gumamnya tercengang.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel