Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB DUA Hampir dibuat curiga

Sebuah mobil mewah berwarna hitam tiba di depan pintu masuk kantor. Fahlevi buru-buru keluar dari dalam mobil, membukakan pintu mobil.

Seorang pria keluar. Fahlevi berdiri di samping pintu, mempersilakan bosnya itu berjalan duluan. Pria itu membetulkan jasnya, lalu melangkah masuk, yang diikuti oleh Fahlevi.

Para karyawan yang menoleh padanya, tersenyum dan menyapa. Pria yang bernama Danial itu hanya melihat lurus ke depan, tak peduli pada siapa pun.

Dua orang pria, yang salah satunya tampak memiliki posisi tinggi, menghampiri Danial, berjalan sejajar di sampingnya.

"Pagi, Pak Danial," sapa pria itu.

"Pagi," jawab Danial dingin, tanpa menoleh ataupun melirik.

Bekerja dengan pria seperti Danial mesti harus sabar. Pria yang menjabat sebagai wakil direktur itu hanya bisa menahan kekesalannya, dan harus terus tersenyum di depan Danial.

Mereka tiba di depan sebuah lift. Fahlevi memencet tombol bergambar anak panah ke atas. Setelah menunggu setengah menit, salah satu pintu lift terbuka.

Danial dan Fahlevi masuk ke dalam, begitu juga dengan sang wakil direktur dan sekretarisnya. Namun, saat akan melangkah masuk, Danial mengacungkan telapak tangannya ke arah mereka. Sontak, kedua pria itu berhenti dan tertegun.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan sekretarisku," kata Danial datar. "Jadi, kalian naik lift yang lain."

Terpaksa, mereka mundur, mematuhi keinginan Danial. Pintu lift perlahan tertutup, tapi sang wakil direktur masih sempat melihat senyum mengejek Danial.

Pria bertubuh gemuk itu geram dengan tangan terkepal. "Mentang-mentang anak pemilik perusahaan, dia bisa memperlakukan aku seperti itu! Apa dia tidak sadar, dia itu masih anak bau kencur!" umpatnya.

Danial memang tidak menyukai pria itu karena sering mendengar tabiat buruknya yang suka menggoda sekretaris-sekretarisnya dulu—makanya, Danial memberi kebijakan padanya agar memilih sekretaris pria.

Selain itu, Danial tahu bahwa wakil direktur itu diam-diam menggelapkan uang perusahaan, meskipun masih dalam penyelidikan. Juga, pria itu sebenarnya tidak menyukai Danial, bermuka dua di depannya.

"Levi, bagaimana penyelidikan terhadap Pak Baroto? Sudah mendapatkan bukti?" tanya Danial, ketika di dalam lift.

Fahlevi mencondongkan sedikit miring ke arahnya. "Saya akan kirimkan buktinya ke Bapak."

Senyum sinis Danial mengembang. "Bagus."

Mereka terdiam sejenak. Entah kenapa, Danial melihat pantulan wajah Fahlevi dari pintu lift. Tiba-tiba, ia berbalik, membuat Fahlevi melirik waspada.

Langkah Danial perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Fahlevi. Sontak, pria itu melangkah mundur, gugup sampai keringat dingin mengucur di dahinya.

Fahlevi memang sudah tahu soal penyimpangan seks yang dialami oleh bosnya. Makanya, wajahnya memucat, bahkan sering merasa waswas berada di dekatnya.

"Ada apa, Pak?" tanyanya agak terbata-bata.

Danial memperhatikan keseluruhan wajah Fahlevi, baik depan dan sampingnya. "Apa yang menarik darimu, sampai Tristan merasa cemburu setiap aku bersama denganmu?"

"Eng ... saya juga tidak tahu, Pak," jawab Fahlevi, tidak yakin.

Tangan kanan Danial diletakkan di samping kanan kepalanya, Fahlevi sontak terhenyak. Jantungnya terasa mau copot, mendelik ketika pria itu semakin mendekat.

"Kamu memang tampan, tapi—"

Ting! Pintu lift terbuka. Pandangan terkejut dari beberapa karyawan yang berdiri di depan lift mengarah pada mereka. Dengan santai dan seolah tak terjadi apa pun, Danial menegak, berbalik, lalu keluar dari dalam lift.

Sementara Fahlevi, menunduk malu. Mungkin akan sulit menunjukkan wajahnya pada mereka. Orang-orang itu akan semakin menguatkan dugaan bahwa bos mereka seorang gay, dan Fahlevi adalah kekasihnya.

Setelah mereka menjauh, pandangan para karyawan itu masih mengikuti kedua pria itu. Fahlevi sudah berpikiran buruk kalau mereka pasti membicarakannya di dalam lift. Dan memang benar firasatnya itu. Seluruh ruangan lift dipenuhi oleh pantulan gosip dari mulut mereka.

Danial duduk di kursi kebesarannya ketika memasuki ruangan. Fahlevi berdiri di seberang meja, memberikan sebuah berkas dari mejanya yang tadi diambilnya.

"Ini berkas yang Bapak minta," kata Fahlevi.

Senyum puas terlukis di bibirnya di setiap lembar berkas bermap biru itu. Setelah itu, berkas itu diletakkan di atas meja, lalu ia menegak, meletakkan tangannya di atas meja dengan jari-jari terjalin.

"Kita tunggu menyeret dia keluar dari tempat ini saja," katanya, menatap Fahlevi.

"Benar, Pak." Fahlevi mengangguk.

"Lalu, gadis itu," kata Danial, "apa dia menandatangani perjanjian itu?"

"Awalnya, dia ragu, tapi akhirnya dia setuju menandatanganinya," jawab Fahlevi.

"Lalu, apa lagi yang kalian lakukan? Apa kamu mengajaknya ke Mall?"

Sepertinya, Danial tidak benar-benar membaca penyelidikannya tentang Kinan. Mall? Gadis itu bukan tukang shopping seperti yang Danial pikirkan.

"Kami hanya makan siang, lalu saya mengantarkannya pulang ke rumah," ujar Fahlevi. "Nona Kinandita tidak suka berbelanja, Pak."

"Oh, begitu," gumam Danial, acuh tak acuh.

Tak ada lagi yang perlu dilaporkan, Fahlevi pamit undur diri untuk kembali ke ruangannya. Dan belum ada pantatnya menyentuh kursinya, tiga orang karyawan sudah berdiri di mejanya dengan dalih membawa berkas di tangannya.

"Levi!" cecar salah satu dari mereka, lalu mengerubunginya. "Tadi itu ... gue dengar lo sama bos—"

Fahlevi menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas kencang. Tuh, kan!

Maunya, ia mengabaikan mereka dengan membuka folder yang ada di komputer. Namun, ia tidak tahan. Matanya tertutup ketika cercaan teman-temannya memenuhi telinganya.

"Kalian tahu, 'kan kalau bos itu ambisius?" Akhirnya, ia menjawab, dan mereka mengangguk setuju. "Dia tadi itu mendesak aku buat melakukan penyelidikan."

"Penyelidikan?" gumam heran, seorang wanita yang berdiri di antara kedua pria. Lalu, dia memandang kedua pria itu.

"Ya. Dia menyelidik adanya kemungkinan korupsi salah satu petinggi di perusahaan ini," sahut Fahlevi, menguatkan alasannya.

"Masa?" seru kaget, gadis yang bernama Desi itu. "Siapa dia?"

Nanti kalian juga tahu!" tukas Fahlevi, yang mulai kesal. "Ya, sudah. Aku mau kerja. Please, pada balik ke meja kalian!"

Mungkin mereka kurang puas mendengar jawaban Fahlevi. Tapi mereka terpaksa membubarkan diri, setelah melihat reaksi pria itu.

Fahlevi menghela napas lega. Melihat mereka sudah menjauh, ia berhenti pura-pura mengetik, lalu bersandar di punggung kursi.

Huft! Melelahkan bekerja dengan bosnya. Kadang-kadang, ia merasa cemas bersama dengannya, prilakunya aneh. Apalagi, pria itu gay. Walaupun Danial punya kekasih, tapi pria seperti itu bisa saja tertarik dengan pria lain, sama halnya seperti wanita pada pria.

-;-;-;-

Sejak tiga tahun yang lalu, kehidupan keluarga Tanutama berantakan karena sebuah keegoisan seorang ayah. Anak pertamanya kabur, dan yang menengoknya ke apartemen ini hanyalah Kinan.

Ia berkunjung saat waktu libur. Seperti biasa, kakaknya sering berada di rumah ketika di saat seperti ini.

Seorang balita cantik menghampiri Kinan, duduk di pangkuannya. Gadis itu sangat akrab dengan bibinya, apalagi sejak dia lahir. Kinanlah yang paling senang menyambutnya.

Wanita muda yang berpenampilan sederhana meletakkan beberapa potong kue dan teh di atas meja. Lalu, ia berseru lembut memanggil Kinan yang sedang duduk bersimpuh di atas permadani.

"Kinan, duduk di sofa. Ayo, makan kue dan minum teh."

Kinan tersenyum. "Iya, Kak." Sambil menggendong balita itu, ia berjalan menuju sofa.

Tidak ada yang salah dengan wanita ini. Selain cantik, kakak iparnya baik, lembut, santun, dan pandai masak. Kinan sampai terpukau oleh setiap masakan yang dibuat wanita itu. Namun, hanya karena bukan dari kalangan berada, papanya tak menyetujui pernikahan mereka.

"Enak banget," komentarnya, mencicipi brownis cokelat. "Kakak, nanti ajarin aku, ya."

Wanita bernama Wanda itu hanya tersenyum. "Nanti, kamu makan siang di sini, 'kan?"

"Ya dong. Rugi kalau nggak makan masakan Kakak," sahut Kinan, ceria. "Lagipula, mana enak makan sendirian. Aku juga nggak melakukan apa pun hari ini. Mau main sepuasnya sama Sera keponakan Tante. Iya, 'kan?" tanyanya pada gadis kecil yang dipeluknya gemas.

"Oh, iya. Aku dengar, kamu dijodohin," kata Kelvin, kakak lelaki Kinan.

Kinan menunduk murung, lalu tersenyum. "Iya. Tapi untungnya, dia ganteng. Jadi, nggak rugi juga," katanya, terdengar asal dan terlihat memaksakan diri.

"Tapi kamu menyukainya? Jika tidak, lebih baik kamu menolaknya saja."

Saran yang bagus. Meskipun Kinan memang tidak memiliki perasaan apa pun pada Danial, tapi ia tak ingin membuat papanya kecewa. Sudah cukup Kelvin yang memberontak di dalam keluarga ini.

"Siapa bilang? Aku suka sama dia. Ganteng, kaya, tinggi dan atletis. Semuanya tipeku," timpalnya.

Kelvin dan Wanda saling memandang ragu pada Kinan. Mulut gadis itu memang berkata begitu, tapi sayangnya kebohongannya tidak bisa ditutupi. Mereka tahu bahwa semua yang dikatakannya tak sejalan dengan hatinya. Namun, mereka tidak membahasnya lagi jika Kinan membuat keputusan itu.

Makan siang berjalan seperti biasa. Keluarga kecil ini begitu bahagia, menyisakan rasa iri sekaligus senang di dalam hati Kinan.

Harapannya untuk menikah dengan pria yang dicintai memang sudah pupus. Tapi ia meyakinkan diri bahwa pernikahannya dengan Danial pasti bisa bahagia.

Kinan membantu membereskan meja bersama dengan Wanda, setelah selesai makan siang. Padahal, ia ingin berlama-lama dengan si kecil Sera, tetapi anak itu malah tidur. Jadi, ia berpamitan untuk pulang.

Apartemen Kelvin ada di lantai sebelas. Ia harus melewati sebuah lorong untuk mencapai lift. Namun, saat ia akan berbelok ke sebuah koridor, spontan ia beringsut mundur karena mendengar pertengkaran dua pria.

"Aku mencintaimu, Tristan. Mana mungkin aku berpaling," kata seorang pria.

Kinan mendelik sambil menutupi mulutnya. Tidak menyangka, bahwa yang didengarnya adalah percakapan sepasang pria homo.

"Kalau kau mencintaiku, kenapa kau setuju menikah dengan wanita itu?" sergah pria yang satunya, menghempas tangan kekasihnya.

"Kau harus mengerti. Posisiku sedang terjepit, aku tidak punya pilihan."

Hati Kinan melumer mendengarnya. Sayang sekali. Pria yang memiliki sikap manis dan tutur kata yang lembut itu penyuka sesama jenis. Seandainya, Kinan mendapatkan pria seperti itu.

"Aku mencintaimu Tristan," ucap pria itu memelas, lalu menarik kekasihnya dalam rangkulannya. "Aku mencintaimu. Aku akan tetap menjadi milikmu, meskipun aku hidup bersama dengan orang lain."

Entahlah, Kinan merasa tidak tahan ingin melihat apa yang sedang terjadi di antara pria itu. Ia pun keluar dari tempat persembunyian, mengeluarkan sedikit kepalanya untuk mengintip.

Romantis sekali. Mereka berpelukan dengan tangis haru. Ia hanya melihat rupa pria tampan berambut kuning saja yang sedang menenggelamkan separuh wajahnya ke pundak pria berambut hitam itu.

Akan tetapi, mau sampai kapan Kinan seperti tikus pengintai seperti itu? Tidak mungkin ia lewat di depan mereka. Pasti, kedua pria itu akan malu. Semoga saja, mereka berdua tidak lama berpelukannya. Bisa-bisa Kinan berjamur berdiri di sana.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel