Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Harapan

Keluarga Mars sudah berkumpul di ruang tengah dengan suasana hangat yang tercipta, canda tawa dan gurauan-gurauan kecil terdengar membuat Bulan yang melihatnya dari arah tangga hanya bisa tersenyum miris.

“Haha Pa nanti beliin Mars ini ya,” pinta Mars

“Iya nanti beli.”

“Kamu ini Mas anaknya jangan dimanja gitu nanti kebiasaan.”

“Mama lagian aku cuma minta satu kok gak banyak.”

“Emang buat apaan sih itu?” tanya Pelangi penasaran

“Itu aksesoris buat motor Ma biar tambah keren.”

“Gak usahlah lagian gak pakai gituan kamu juga sudah keren kan anak Mama.”

“Cinta banget deh sama Mama,” ujar Mars memeluk Pelangi

“Sama Papa enggak?”

“Hahah Papa cembukur tuh.”

“Cembukur bukannya yang buat motong rambut?” tanya Jupiter polos

“Itu cukuran Papa ihh.”

“Mars juga cinta sama Papa.”

“Gak boleh cinta-cintaan sama Papa.”

“Tuh Ma… otak Papa makin gak beres deh kayaknya perlu diperiksa,” adu Mars

“Sembarangan aja kamu.”

“Hahah Papa bercanda terus deh.”

“Mars…” panggil Pelangi

“Iya Ma?”

“Bulan masih di kamar?”

“Iya mau aku panggilin?”

“Iya sana panggilin dia dari pagi belum sarapan.”

“Hah? Kenapa Mama gak bilang dari tadi sama aku.”

“Tumben amat khawatir gitu.”

“Aku ke atas… eh Bulan sejak kapan lu di situ?”

“Barusan,” jawab Bulan

“Ayo lu belum sarapan kan?”

“Gak usah nanti aja sarapannya,” tolak Bulan

“Mama… Bulan gak mau makan,” teriak Mars mengadu

“Prftt gak usah teriak-teriak Mars.”

“Tuh Bulan gak mau makan katanya.”

“Lho kenapa? Nanti sakit gimana?”

“Gapapa nanti aku mau langsung pulang aja gak enak ngerepotin terus di sini.”

“Sebelum pulang kamu harus makan dulu kalau belum makan ya gak boleh pulang.”

“Ehh iya sudah deh Bulan makan.”

“Nah gitu dong, Mars kamu temani Bulan sarapan ya Mama mau ke Papa.”

“Iya Ma siap.”

“Mars… antar gua pulang ya sekarang,” ajak Bulan

“Lu makan dulu baru gua antar pulang.”

“Tapi gua mau pulang sekarang.”

“Lu gak dengar tadi nyokap gua bilang apa?”

“Makan dulu,” jawab Bulan

“Iya sudah sekarang makan.”

“Iya deh.”

Perempuan itu mengalah memilih untuk menghabiskan makanan yang sudah disiapkan di atas meja, merasa tidak enak dengan laki-laki di depannya ia menawarkan makanannya.

“Lu mau?” tanya Bulan

“Enggak buat lu aja,” tolak Mars

“Kalau mau sini gua suapin.”

“Ehh enggak.”

“Buka mulut lu Mars… aaaaa”

“Gwa syudwh mwkwn twdi.”

“Lu ngomong apaan Mars hahah.”

“Gua sudah makan tadi.”

“Gapapa makan lagi biar kuat.”

“Lu lebih kuat Bul.”

“Hah?”

“Enggak.”

“Ayo Mars sudah selesai nih.”

“Lu pulang ke arah mana?” tanya Mars

“Ke komplek Luar Angkasa, lu tahu kan?”

“Ohh yang perumahan elite itu kan?”

“Perumahan lu juga elite Mars.”

“Iya juga sih.”

“Hahah.”

“Lan…”

“Kenapa?”

“Gua lihat lu jarang ketawa deh.”

“Tadi ketawa kok.”

“Tapi kayak bukan ketawa yang lepas gitu.”

“Itu sudah ketawa lepas Mars.”

“Tapi…”

“Stop.”

“Kenapa?”

“Sudah sampai.”

“Ini rumah lu?”

“Iya Mars makasih ya.”

“Sama-sama.”

“Gua masuk dulu ya,” pamit Bulan

“Bagus baru pulang,” ujar seseorang dari arah dalam

“Ayah…”

“Halo Om saya Mars, maaf baru antar Bulan pulang soalnya semalam dia nginap di rumah orang tua saya.”

“Bagus berani kamu nginap di rumah laki-laki.”

“Bukan gitu Ayah semalam…”

“Masuk!” ujar Ayahnya marah

“Om ini salah saya yang ngajakin untuk nginap di rumah orang tua saya.”

“Lebih baik sekarang kamu pulang!” usir Ayahnya

“Kalau begitu saya permisi Om.”

“BULAN!”

“Iya Ayah.”

“Sudah berani kamu tidak pulang ke rumah ini.”

“Maaf Ayah aku semalam kehujanan dan Mars tidak berani mengantar karena...”

“Kemarin Ayah sudah suruh Awan untuk jemput kamu kenapa gak ikut sama dia saja.”

“Aku…”

“Kenapa kamu malah turun dari mobilnya Awan?”

“Emm itu Bang Awan…”

“Gak usah banyak alasan kamu Bulan!”

“Ayah maafin aku.”

“Kamu masih belum puas setelah keluar dari rumah sakit kemarin.”

“Ayah aku minta maaf, Bulan gak akan ulangi lagi.”

“Sepertinya kamu harus di beri pelajaran.”

“Ayah…”

~Plakk~

“Ayah sakit…”

~Plakk~

“Ayah ampun…”

~Bughh~

Ayahnya hanya diam memperhatikan Bulan yang sudah duduk di lantai, matanya tidak menunjukkan bahwa dirinya menyesal lalu memilih untuk pergi dari hadapan anaknya.

Bulan bangun dan memilih masuk kamar lalu mengunci pintu, tangisannya pun pecah kembali setelah mempertahankan mati-matian agar dirinya tidak nangis di depan sang Ayah. Tangannya meraih buku dan menari-nari di atas kertas menghasilkan tulisan indah yang selalu mewakilkan isi hatinya yang hanya bisa dipendam sendirian.

Ayah… lagi-lagi kau hanya memberikan luka yang amat sangat dalam menjadi lebih dalam, yang sebelumnya basah kini menjadi lebih basah.

Ayah apa kau tidak bisa memahami anakmu ini? Kenapa kau selalu melakukan hal yang membuat diri ini semakin mati, kau membuat duniaku hancur.

Ayah apa kau tidak menyayangi anak perempuanmu yang satu ini? Mengapa aku di perlakukan berbeda olehmu? Apa salahku selama ini?

Bulan Aurora

Setelah menggoreskan tinta di buku diary bersampul biru dengan aksesoris luar angkasa, perempuan itu memutuskan untuk mengobati luka yang memenuhi wajahnya.

“Aishh,” ringis Bulan

“Sudah jelek makin jelek karena luka ini.”

“Ishhh lumayan sakit tapi gapapa cuma luka ringan.”

“Ngapain lo ngomong sendiri?” tanya seorang laki-laki dari arah belakang

“Abang?” kaget Bulan

“Muka lo biasa aja kali.”

“Ada apa Bang?”

“Gapapa.”

“Ohh.”

Mereka berdua kembali diam membuat suasana menjadi hening, Bulan memilih melanjutkan aktivitasnya yang tertunda lalu memasuki kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket.

Awan pun hanya memperhatikan dalam diam tanpa suara dengan mata yang setajam elang tapi tiba-tiba wajahnya terkejut mendengar suara merdu dari dalam kamar mandi yang menyanyikan lagu yang terdengar sangat menyedihkan.

Last Child ~ Diary Depresiku

Malam ini hujan turun lagi

Bersama kenangan yang ungkit luka di hati

Luka yang harusnya dapat terobati

Yang ku harap tiada pernah terjadi

Ku ingat saat Ayah pergi, dan kami mulai kelaparan

Hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan

Disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian

Yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian

Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah

Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Mungkin sejenak dapat aku lupakan

Dengan minuman keras yang saat ini ku genggam

Atau menggoreskan kaca di lenganku

Apapun kan ku lakukan, ku ingin lupakan

Namun bila ku mulai sadar, dari sisa mabuk semalam

Perihnya luka ini semakin dalam ku rasakan

Disaat ku telah mengerti, betapa indah dicintai

Hal yang tak pernah ku dapatkan, sejak aku hidup di jalanan

Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian

Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah

Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Wajar bila saat ini,

Ku iri pada kalian yang hidup

Bahagian berkat suasana indah dalam rumah

Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidup ku yang kelam

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

“Lagu itu menyedihkan sekali kedengarannya,” batin Awan yang juga tersentuh

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel