5. Hujan
Kakinya menelusuri jalanan sepi yang basah akibat hujan deras yang turun dengan sengaja tubuh perempuan cantik itu dibiarkan basah dibawah guyuran hujan yang deras masih dengan tangisan yang terasa sangat pilu juga hati yang terasa semakin sesak.
Tiba-tiba kilat menyambar disertai suara guntur yang terdengar sangat keras seakan-akan langit juga ikut merasakan sakit yang dialami oleh Bulan.
“Mengapa Tuhan? Mengapa semua harus terjadi sama aku…” teriak Bulan dengan tangisannya
“Sakit sekali… apa aku harus pergi dari dunia ini?”
Tiba-tiba pundaknya terasa ada yang menyentuh saat menengok kearah belakang ternyata ada seorang laki-laki yang kemarin menyapa di taman rumah sakit sambil membawa payung yang digenggam di tangan sebelah kiri.
“Hei…”
“Ngapain lu di sini?”
“Lu yang ngapain hujan-hujanan baru juga keluar dari rumah sakit.”
“Apa peduli lu hah! Lu bukan siapa-siapa gua!” ucap Bulan kasar
“Ayo ikut gua,” ajak Mars
“Gak!”
“Ayo Lan nanti lu sakit.”
“Gak!”
“Ayo Lan gapapa.”
“Mars… gua gak mau.”
“Ayo gapapa gua antar.”
“Tapi…”
“Ayo gapapa ikut sama gua aja.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, ayo.”
“Kita mau kemana?”
“Gua antar lu pulang gimana?”
“Enggak, gua gak mau pulang hikss…”
“Terus lu mau nya ke mana?”
“Ke mana aja.”
“Ya sudah kita ke rumah gua aja gimana?”
“Maaf ya gua ngerepotin lu padahal kita baru kenal.”
“Gapapa Lan, gua gak merasa direpotin kok sama lu.”
“Makasih ya Mars.”
“Sama-sama Lan.”
Mereka memasuki mobil dengan suasana sunyi, selama perjalanan yang entah akan ke mana nantinya. Bulan hanya menatap keluar jendela sedangkan Mars sesekali melirik kesebelah mempehatikan dalam diam.
Laki-laki itu mengkerutkan kening menatap bingung dan heran, di dalam lubuk hatinya yang sangat dalam sebenarnya ia penasaran dengan perempuan yang duduk di sebelahnya tapi ia segan untuk menanyakan masalah sensitif seperti ini.
“Sebenarnya ada apa sih sama perempuan ini? Ingin tanya tapi gak sopan dan dia bakalan marah kalau gua tanya-tanya masalah pribadinya,” batin Mars
“Sudah sampai.”
“Ini rumah siapa?”
“Rumah gua emm lebih tepatnya ini rumah orang tua gua.”
“Oh memangnya gapapa?”
“Gapapa ayo masuk lu harus segera ganti baju.”
“Assalamualaikum Ma, Pa.”
“Waalaikumsalam ehh anak Mama sudah pulang.”
“Ehehe iya nih Ma, Papa mana?”
“Ada apa nanyain Papa?” tanya laki-laki paruh baya dari arah Belakang
“Mau minta izin…”
“Ini siapa Mars?” tanya Pelangi Mama Mars
“Nah ini yang mau aku obrolin.”
“Siapa memangnya? Pacarmu?” goda Jupiter
“Ini teman ku Ma namanya Bulan.”
“Halo Bulan kenalin nama saya Pelangi,” ucap Pelangi ramah dengan senyuman
“Bulan tante.”
“Saya Jupiter,” ucap Papa Mars dengan ramah
“Bulan Om.”
“Baju kamu basah gini kehujanan?” ucap Pelangi khawatir
“Iya Tante.”
“Ayo ganti dulu pakai baju Tante aja gapapa ya,” ucap Pelangi hangat
“Aku jadi ngerepotin nih.”
“Enggak kok, Mars kamu juga ganti baju nanti sakit.”
“Iya Mama cantik,” puji Mars
“Ayo sayang,” ajak Pelangi
“Iya.”
Setelah mereka berdua mengganti pakaian masing-masing, keluarga Mars ke ruang makan untuk makan malam bersama tapi bedanya ada saat ini Bulan juga ikut makan bersama dengan hikmat.
~Hangat~
Suasana hangat mengelilingi keluarga kecil ini, tawa canda pun tercipta diantara mereka tapi Bulan hanya sesekali menampakkan senyum tentunya senyuman paksa yang selalu diperlihatkan pada dunia.
“Ma… Pa… Bulan hari ini nginep di sini gapapa kan?” tanya Mars
“Boleh kok, gapapa kan Pa?”
“Iya boleh.”
“Ahh jadi makin sayang deh sama kalian.”
“Tante… Om… memangnya gak ngerepotin kalau saya bermalam di sini?”
“Gapapa Bulan, Tante senang malah ada teman.”
“Oh jadi Mama selama ini gak punya teman terus kita berdua apa dong,” ujar Mars pura-pura ngambek
“Tumben kamu ngambek biasanya juga gak pernah.”
“Iya nih Mama gak anggap kita berdua teman ternyata,” imbuh Jupiter
“Dih jadi ikutan.”
“Bulan… kamu sudah minta izin sama orang tuamu kalau kamu sekarang di sini?” tanya Jupiter
“Emm belum Om.”
“Kok belum nanti dicariin lho.”
“Enggak apa-apa Om.”
“Atau harus saya yang izin sama orang tuamu?”
“Ehh enggak Om enggak perlu lagian mereka juga gak akan cari saya,” pungkas Bulan sedih
“Ehh… Papa!”
“Kenapa Ma?”
“Huss mending Papa diam deh.”
“Iya-iya.”
“Bulan kamar kamu di atas ya samping kamarnya Mars, Mars antar Bulan ke kamarnya sana!”
“Iya Ma jangan galak-galak kenapa sih.”
“Mars…”
“Iya-iya ayo Lan gua antar ke kamar.”
“Makasih semuanya Bulan duluan ke kamar ya selamat malam…” pamit Bulan
“Selamat malam Bulan.”
“Pa jangan bicara soal keluarga di depan Bulan,” bisik Pelangi
“Lho kenapa?”
“Nanti Mama ceritakan kalau Bulan sudah masuk ke kamarnya.”
“Siap Mama cantik,” goda Jupiter
Bulan mengikuti langkah Mars menaiki satu persatu anak tangga menuju ruangan yang tersedia di atas sana.
“Nah ini kamar lu Lan.”
“Makasih Mars maaf ya gua ngerepotin,” kata Bulan merasa tidak enak
“Yaelah santai aja kali.”
“Gua jadi gak enak nih padahalkan kita baru kenal.”
“Ya kalau gak enak jangan dimakan.”
“Yeuh bukan itu yang gua maksud,” kesal Bulan
“Terus yang gimana?” tanya Mars polos
“Gua gak tahu kalau misalnya gak ada lu, bisa-bisa gua tidur di pinggir jalan kali malam ini.”
“Ya sudah sana masuk terus langsung istirahat.”
“Oke makasih sekali lagi.”
“Bilang makasih lagi nanti lu dapat hadiah piring nih.”
“Hahah iya sudah gua masuk ya,” izin Bulan
“Iya, have a nice dream Lan.”
“Have a nice dream juga Mars.”
Perempuan rapuh itu memasuki kamarnya ia tidak langsung memejamkan mata tapi memilih untuk menggoreskan tinta dikertas yang kebetulan ada di kamar itu.
Tuhan…
Ingin rasanya aku memiliki keluarga yang hangat seperti keluarga ini tapi nyatanya semua hanyalah angan-angan yang tidak akan terjadi sampai kapan pun.
Aku merindukan kehangatan yang tercipta di keluargaku, aku rindu menjadi anak perempuan yang disayang oleh cinta pertama ku, aku rindu kasih sayang dari perempuan yang sering aku panggil dengan sebutan Mama juga rindu dengan kakak yang selalu membela ku meski nyatanya aku yang bersalah.
Tuhan…
Aku merindukan semua hal dari keluarga yang sudah hilang sejak lama, aku ingin semua nya kembali seperti sedia kala.
Tuhan…
Beri aku kesempatan merasakan hangatnya keluarga…
Bulan Aurora
Ia meronggoh kantung baju yang di dalamnya ada sebilah pisau yang selalu dibawa ke mana pun dirinya pergi, tangannya mengarahkan pisau itu ke kaki jenjang yang tidak tertutupi oleh celana pendek yang dikenakan.
Darah segar mengalir tidak terlalu banyak hanya saja luka yang baru saja digoreskan cukup dalam dan mungkin esok akan terasa ngilu jika ditekan.
Satu goresan…
Dua goresan…
Tiga goresan…
“Luka ini tidak akan bisa mewakilkan sakit yang aku rasakan selama ini, hiks…”
“Semuanya tidak adil, kenapa Tuhan? Kenapa?”
Lagi-lagi Bulan hanya bisa menangisi keluarganya yang tidak sehangat keluarga Mars, ia begitu mendambakan hangatnya keluarga yang sejak lama telah hilang.
“Lu cuma mimpi Bul jangan berharap terlalu tinggi nanti kalau jatuh sakit,” lirih Bulan
“Hiks tapi emangnya gak boleh berharap jika keluarganya kembali seperti dulu… tapi dari dulu aku bukan anak yang di harapkan oleh keluarga ku sendiri, mimpi itu hanyalah mimpi yang gak mungkin terjadi.”
