4. Kutub
Sudah 3 hari Bulan berada di rumah sakit dan selama itu pula Awan selalu menemani adiknya meski hanya datang lalu duduk di sofa yang tersedia sudah membuat Bulan senang setengah mati karena ternyata dibalik sikap dingin abangnya masih memiliki rasa peduli.
“Bang…”
“Kenapa?”
“Bulan mau roti yang kemarin,” ujar Bulan manja
“Sebentar.”
“Bang…”
“Apa?”
“Bulan mau ikut emm bosen di sini terus.”
“Gak.”
“Bang… boleh ya?” bujuk Bulan
“Gak.”
“Bang…”
“Huft ayo.”
“Gendong tapi heheh.”
“Jangan banyak tingkah!” ujar Awan dengan suara tinggi
“Bulan gak jadi ikut deh,” lirih Bulan yang menunduk
“Oke.”
Tinggallah Bulan sendiri dengan perasaan takut karena mendengar bentakan Awan tadi.
“Bulan ke taman sendiri aja kalau gitu.”
Bulan membawa dirinya ke taman yang ada di rumah sakit dengan kakinya yang masih lemah, perlahan tapi pasti perempuan cantik itu sampai di taman yang dari kemarin ingin dikunjungi.
Di tempat itu dirinya sendirian hanya ada hembusan angin yang menerpa wajah cantik, lagi-lagi hanya melamun dan menatap lurus ke arah langit yang penuh dengan bintang yang bertebaran. Seketika ia teringat dengan perkataan ayahnya seperti kaset rusak pikirannya memutar teriakan ayahnya itu tanpa sadar air matanya pun ikut turun.
“Harusnya kamu mati saja!”
“Harusnya kamu gak ada di dunia ini!”
“Harusnya dia masih ada sampai sekarang!”
“Dasar anak pembawa sial!”
“Hei…” panggil seorang laki-laki
“Iya?”
“Lu ngapain malam-malam di sini sendirian?” tanya laki-laki itu
“Cuma cari udara segar.”
“Kenapa gak di kamar aja? Gak bagus udara malam buat lu.”
“Bosan di kamar terus.”
“Oh ya kenalin nama gua Mars,” ujarnya memperkenalkan diri
“Bulan.”
“Nama yang cantik kayak orangnya.”
“Baru kenal aja sudah gombal,” lirih Bulan
“Heheh ya tapi kan emang faktanya gitu.”
“Hahah.”
“Apalagi kalau ketawa gitu makin cantik.”
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Suasana kembali hening sampai pada akhirnya terdengar suara dari arah belakang yang memanggil namanya dengan tegas.
“BULAN!”
“Abang?” kaget Bulan
“BALIK!”
“Tapi Bang…”
“BALIK!” tekannya lagi
“Sudah sana balik,” ujar Mars
“Gua duluan ya Mars.”
“Iya.”
“Bagus ya lo sudah berani jalan sama cowo.”
“Bulan gak jalan sama cowo Bang,” elak Bulan
“Enggak jalan mata lo tadi apaan namanya hah!” ujarnya tajam
“Aku gak tahu Bang tiba-tiba dia datang.”
“Bohong aja kerjaan lo.”
“Bulan gak bohong.”
“Malam-malam tuh istirahat bukannya jalan sama cowo yang gak dikenal emang lo mau ngikutin Ibu lo itu,” ujar Awan
“Apa-apaan sih Bang! Bulan sudah jelasin dengan jujur sama Abang kalau Abang gak percaya ya sudah terserah tapi jangan bawa-bawa Mama kayak gitu,” ucap Bulan dengan emosi
“Berani lo bentak gua!”
~Plakk~
“Bang Awan jahat!” teriak Bulan memegangi pipinya yang panas
Setelah mengatakan apa isi hatinya perempuan cantik itu langsung kembali ke kamar rawat dengan perasaan hati yang tidak karuan, ia menangis sejadi-jadinya dibawah selimut tanpa mengeluarkan suaranya.
“Selalu… selalu seperti ini, kapan semua ini berakhir akan Tuhan?” batin Bulan
Awan yang melihat emosi adiknya yang tidak bisa terkontrol dengan baik hanya menatap acuh sekaligus juga heran dengan santainya berkata dengan kalimat yang sangat tajam.
“Gak usah nangis lo baru gue tampar tadi belum gue bunuh seperti yang lo lakuin dulu sama dia,” ujar laki-laki itu
“Aku gak bunuh dia Bang, gimana lagi aku harus ngomong biar Abang percaya sih,” jelas Bulan
“Ngapain gue harus percaya sama lo hah! Seharusnya lo mempertanggung jawabkan apa yang sudah lo lakuin dulu,” sentak Awan
“Abang mending pulang aja,” usir Bulan serak
“Bagus deh gue juga malas terus-terusin ada di sini.”
~Brakk~
Pintu dibanting dengan sangat kencang oleh laki-laki yang berstatus sebagai abangnya itu.
“Sebelum Abang bunuh Bulan, aku juga sudah mati dari lama karena ulah kalian.”
Tanpa disadari ada seseorang yang tidak sengaja mendengar ucapan Bulan dan hatinya juga ikut merasakan sakit.
“Hiks… Bulan lelah… sudah enggak sanggup lagi,” tangis Bulan pecah
“Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa?”
Keesokan paginya tidak ada lagi seorang yang menunggu dan menatapnya dengan intens seperti biasa, ia sendirian pagi ini benar-benar sendirian sampai tiba-tiba datang seorang Suster yang masuk ke ruangannya dengan senyum ramah seperti matahari yang selalu menyinari bumi walaupun banyak yang membencinya.
“Permisi.”
“Iya Sus?”
“Ini sarapannya ya Dik, gimana keadaan kamu sekarang?”
“Sudah lebih baik Sus.”
“Kalau begitu saya periksa sebentar ya.”
“Iya Sus.”
“Tensi kamu normal emm semuanya normal kok tapi usahakan jangan banyak pikiran ya, setelah infus ini habis kamu sudah boleh pulang.”
“Iya Sus terima kasih.”
“Gimana bisa gak banyak pikiran, sumbernya aja dari rumah.”
“Oh iya laki-laki yang biasa menemani Adik belum datang ya?”
“Belum Sus.”
“Ya sudah kalau begitu saya permisi, jangan lupa sarapannya dihabiskan.”
“Iya Sus terima kasih.”
“Sama-sama.”
Lagi-lagi Bulan hanya bisa melamun, memikirkan perkataan yang diucapkan abangnya semalam juga ucapan-ucapan yang selalu terlontar oleh ayahnya. Hatinya kembali merasakan sakit mengingat semua perkataan, isi kepalanya bagaikan kaset rusak yang selalu berputar tanpa henti.
Tanpa disadari sudah ada laki-laki yang memperhatikan dari jauh dengan senyuman manis yang terukir diwajah tampannya.
“Ehem…”
“Lho?”
“Lu kaget ya…”
“Enggak.”
“Kaget kali.”
“Enggak.”
“Kaget.”
“Enggak.”
“Kaget.”
“Enggak.”
“Kaget.”
“Enggak.”
“Kaget.”
“Enggak.”
“Iya-iya enggak,” ngalah Mars
“Ada apa?”
“Enggak ada apa-apa.”
“Terus?”
“Terus apa?”
“Ya terus?”
“Terus mentok belok kiri.”
“Dih apaan sih.”
“Lu pulang sama siapa nanti?”
“Belum tahu mungkin pakai taksi.”
“Gua antar aja gimana?”
“Ga usah.”
“Lho gapapa nanti gua antar aja dari pada pakai taksi, lu juga baru keluar dari rumah sakit.”
“Gua bisa pulang sendiri.”
“Lu takut ya karena kita baru kenal?” tebak Mars
“Enggak.”
“Enggak salah.”
“Ishh.”
“Gua keluar dulu ya nanti balik lagi ke sini.”
“Mau ngapain balik lagi?”
“Kan mau antar lu pulang.”
“Gua bilang gak perlu ngerti gak sih!” ujar Bulan dengan emosi yang memuncak
“Iya sudah.”
Setelah Mars pergi, Bulan keluar dari ruangan dengan mengendap-endap memastikan tidak ada orang lain yang melihat dirinya keluar dari rumah sakit.
Sudah sore tapi remaja cantik itu masih menyusuri jalanan sepi sendirian dengan tas besar yang ditenteng di tangan kanannya dengan perlahan kakinya melangkah semakin jauh dari rumah sakit tempat ia dirawat.
“Aku ke mana sekarang, mau pulang gak berani.”
“Lagian dari rumah sakit ke rumah jauh banget, aku gak punya uang buat naik taksi.”
Tiba-tiba ada lampu mobil yang bersinar ke arahnya.
“Ngapain lo di sini?”
“Jalan Bang.”
“Bukan mau cari…”
“Abang sendiri ngapain di sini?” potong Bulan yang malas mendengar ucapan Awan
“Nyariin lo lah apalagi.”
“Abang nyariin Bulan?” beo Bulan senang
“Gak usah geer deh lo ini juga karena Ayah yang suruh.”
“Jadi karena Ayah suruh jemput?”
“Naik buruan! Gue cariin di rumah sakit tau nya di sini.”
“Abang gak bilang mau jemput.”
“Ngapain juga gue mesti bilang sama lo, lo bukan siapa-siapa gue.”
“Tapi aku kan adiknya Bang Awan.”
“Gak sudi gua punya adik kayak lo,” sentak Awan tajam
“Bang Awan jahat banget sih, aku punya perasaan Bang.”
“Sejak kapan lo jadi cengeng gini, biasanya juga kalau Ayah…”
~Brakk~
Bulan langsung turun dari mobil yang dikendarai abangnya lalu pergi dengan air mata yang terus menerus turun membasahi wajah cantiknya, tidak lama kemudian hujan turun sepertinya semesta juga ikut bersedih melihat salah satu manusianya menangis.
Awan hanya melihat tanpa berniat untuk mengejar Bulan yang sudah mulai jauh dari pandangan matanya bahkan saat ada seorang laki-laki yang mendekati adiknya ia hanya diam tak bergerak setelah itu pergi meninggalkan adiknya yang dibawa laki-laki itu.
“Sekarang gue harus apa? Adik gue dibawa laki-laki yang gue sendiri gak tahu itu siapa. Gue benar-benar gak becus jadi seorang kakak. Bodoh!!!” umpat Awan dalam hatinya
