Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Si Pemberi Luka

“Dari mana aja kamu jam segini baru pulang?” tanya laki-laki paruh baya dengan wajah marah

“Ehm itu Yah… aku habis… ehm belajar kelompok,” bohong Bulan

“Jangan bohong kamu sama Ayah.”

“Aku gak bohong Yah, Bulan habis belajar kelompok makanya pulang telat.”

“Sudah pandai berbohong kamu ya…”

“Bulan gak bohong Ayah.”

“Atau jangan-jangan kamu mengikuti jejak ibumu yang suka menjajakan tubuh pada laki-laki di luaran sana hah!”

“Ayah… Bulan tidak seperti itu.”

“Rupanya kamu ingin mengikuti jejak ibumu itu, bagus sekali anak dan Ibu tidak jauh berbeda.”

“Ibu tidak mungkin melakukan hal menjijikkan seperti itu Ayah…”

“Kamu itu masih kecil, sia-sia saja saya menyekolahkan kamu kalau sikapmu sama seperti ibumu.”

“Ayah…” teriak Bulan serak

“Kamu harus saya beri pelajaran,” kata Matahari menunjukkan senyum smirk yang menyeramkan

“Ayah… maafin Bulan hiks tolong jangan pukul Bulan pakai itu,” mohon Bulan

“Jangan harap kamu saya ampuni.”

“Ayah… Bulan janji gak akan ulangi lagi.”

“Rasakan ini,” ujar Matahari yang sudah kalut

~Ctarr~

“Arghh sakit…” ringis Bulan kesakitan

~Ctarr~

“Ampun Ayah… sakit.”

“Jangan harap.”

~Ctarr~

“Arghh ampun…”

“Rasakan ini.”

~Bugh~

“Arghh…”

Laki-laki paruh baya itu pergi meninggalkan Bulan yang sudah tidak berdaya di lantai dengan darah yang merembes keseragam sekolahnya, dimata laki-laki itu tidak ada sedikit belas kasihan dengan keadaan Bulan saat ini.

Bulan memilih memaksa tubuh lemahnya untuk menaiki tangga satu persatu menuju kamarnya sendiri, tidak ada bantuan dari orang lain bahkan asisten rumah tangganya yang menyaksikan Bulan dipukul hanya bisa diam tanpa berbuat apapun sedangkan Kakak laki-lakinya yang menyaksikan dari atas hanya melihat tidak peduli saat Bulan dengan bringas dikasari oleh Ayah mereka.

Setelah berhasil menahan rasa sakit yang mendara ia langsung masuk ke kamar tidak lupa mengunci pintunya lalu menangis sekencang-kencangnya di balkon.

“Ya Tuhan sampai kapan aku seperti ini… aku gak kuat,” teriak Bulan kencang

Tanpa disadari ada seorang laki-laki yang mendengar teriakan Bulan dari arah balkon.

Bulan menangis sejadi-jadinya malam itu hingga kelelahan dan berakhir terlelap dengan beralaskan tikar bulu bahkan baju seragam yang penuh darah masih menempel ditubuhnya.

Pagi pun tiba tapi Bulan tak kunjung sadar padahal pintu kamar sudah beberapa kali diketuk dari luar dengan orang yang berbeda.

~Toktok~

“Bulan…” panggil seorang laki-laki

“Dia ngapain sih di dalam,” kesalnya

“Bibi juga gak tahu Den.”

“Bulan kamu gak sekolah,” ujarnya dengan suara dingin

Tidak kunjung mendapatkan respon dari si empunya membuat Awan menahan kesal.

“Bi ada kunci cadangannya gak?”

“Ada Den sebentar.”

“Oke Bi jangan lama.”

“Nih Den kunci cadangannya.”

“Astagfirullah al`adzim Non Bulan,” ucap Bibi histeris

“Dia kenapa Bi?”

“Semalam Non Bulan habis kena pukul sama Bapak,” adu Bi Inem

“Huft ya sudah tolong bilang sama Pak Tono siapkan Mobil.”

“Baik Den.”

Asisten rumah tangga itu berlari secepat kilat dengan perasaan cemas disusul Awan dengan Bulan yang ada dalam gendongannya.

“Pak Tono kita ke rumah sakit sekarang,” perintahnya

“Bi…” panggil Matahari

“Iya Tuan?”

“Awan mau ke mana pagi-pagi buta gini?”

“Emm itu Tuan… Den Awan mau ke rumah sakit mengantar Non Bulan.”

“Oh gitu nanti kalau dia sudah kembali suruh dia ke ruangan saya.”

“Baik Tuan.”

***

Mobil itu berjalan dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah besar itu Awan Raindra White nama laki-laki yang saat ini terlihat cemas melihat keadaan Bulan. Setelah sampai di rumah sakit terdekat Awan langsung berteriak histeris memanggil dokter dan suster di rumah sakit itu.

“Dokter… suster… tolong…”

Sesaat suster membawa ranjang pasien, Bulan langsung dibawa ke ruangan ICU untuk diperiksa sedangkan Awan menunggu di luar ruangan dengan perasaan cemas dan khawatir yang belum pernah dirasakan semenjak hari itu.

Setelah beberapa jam menunggu akhirnya dokter yang menangani Bulan keluar lengkap dengan peralatan khasnya sebagai seorang dokter tanpa basa-basi Awan langsung menanyakan keadaan Bulan saat ini.

“Gimana Dok keadaannya?” tanya Awan

“Maaf Mas siapanya ya?”

“Saya… ehm saya kakaknya Dok,” jawab Awan terpaksa

“Oh jadi Mas itu kakaknya perempuan ini, keadaannya sekarang kritis banyak luka ditubuhnya yang tidak langsung diobati ia juga sangat tertekan itu yang menyebabkan dirinya tidak sadarkan diri.”

“Jadi kira-kira kapan dia sadar Dok?”

“Kami belum bisa memastikan kapan dia akan sadar Mas… tapi kami akan melakukan yang terbaik dan semaksimal mungkin.”

“Baik Dok makasih.”

“Tolong sebisa mungkin jangan membuatnya lebih tertekan lagi mentalnya,” ujar sang Dokter

“Baik Dok.”

“Kalau begitu saya permisi dulu Mas.”

“Iya Dok silahkan.”

Jam 8 malam Awan baru saja tiba di rumah dengan wajah yang lesu dan terlihat lelah tapi saat dirinya baru akan menaiki tangga tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dengan dingin.

“Awan…” panggil Matahari dengan suara dingin

“Iya?”

“Di mana anak itu?”

“Rumah sakit.”

“Ngapain susah payah bawa dia ke rumah sakit buang-buang uang saja,” jawab Matahari tanpa rasa berdosa

“Aku hanya menyelamatkan nyawanya saja.”

“Apa sebegitu penting untukmu nyawa anak itu hah!”

“Dia sedang sekarat.”

“Siapa tahu dia hanya akting, anak itu sudah pandai berbohong persis seperti ibunya.”

“Perempuan yang Ayah benci itu juga Ibu Awan asal Ayah ingat.”

“Jangan sebut lagi itu ibumu Awan,” ujar Matahari tajam

“Ayah benci ibunya kenapa anak itu yang Ayah siksa?”

“Kamu gak perlu tahu Awan.”

“Awan sudah cukup dewasa untuk paham tentang masalah yang menerpa keluarga kita.”

“Sekarang di rumah sakit mana anak itu biar Ayah bawa pulang.”

Tidak ada respon dari anak laki-lakinya membuat Matahari menggepalkan tangannya sampai terlihat urat-urat di tangan.

“Jawab Awan!”

“Ayah gak perlu tahu dia di mana,” balas Awan tenang

“Dasar anak kurang ajar!” geram Matahari

Awan memilih meninggalkan Ayahnya yang sedang menatap kesal pada dirinya, ia langsung merebahkan tubuh kokohnya di ranjang yang sangat nyaman sambil memijat kepalanya yang sedikit terasa pusing.

Di tempat lain Bulan sudah mempelihatkan tanda-tanda akan sadar, jari-jarinya mulai bergerak tapi matanya masih setia untuk terpejam.

“Dik…”

“Eughh… aku di mana? Apa aku sudah di surga?” tanya Bulan

“Kamu di rumah sakit Dik.”

“Hah rumah sakit arghh…” ringis Bulan

“Tolong jangan banyak bergerak dulu ya,” ujar sang Suster

“Siapa yang bawa saya ke sini Sus?”

“Tadi pagi kamu dibawa seorang laki-laki.”

“Laki-laki?”

“Iya dokter bilang itu Kakak anda.”

“Kakak?”

“Iya.”

“Ohh sekarang dia di mana Sus?”

“Tadi pagi setelah berbicara dengan dokter ia langsung pergi dan sampai sekarang saya belum melihatnya lagi.”

“Emm Sus saya haus.”

“Sebentar.”

“Makasih Sus.”

“Sama-sama.”

“Emm Sus kalau Suster mau keluar silahkan saya bisa sendiri.”

“Kalau begitu saya keluar sebentar ingin mengecek pasien yang lain kalau butuh bantuan Adik bisa tekan bel ini,” ujar Suster itu ramah

“Iya Sus terima kasih.”

Tinggalah Bulan sendirian di ruangan ini dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk menyerangnya, matanya sulit terpejam padahal hari sudah mulai larut. Bagian tubuhnya yang terlukapun masih terasa nyeri saat dirinya ingin pindah dengan posisi yang lebih nyaman.

“Aku kira tadi sudah di surga ternyata di rumah sakit,” ucap Bulan kecewa

“Tapi kok tumben Bang Awan mau mengantar aku ke rumah sakit biasanya kalau aku minta tolong dia selalu tolak,” heran Bulan

Bulan kembali diam menatap lurus dan berharap seseorang yang memukulnya datang lalu merawat dirinya seperti ia masih berumur 2 tahun tapi nyatanya mimpi hanyalah mimpi tidak mungkin akan terjadi sesuai yang diharapkan.

Keesokan paginya saat Bulan terbangun sudah ada yang menunggu dan menatapnya dengan intens, dirinya memasang wajah terkejut melihat laki-laki tampan dengan wajah tanpa ekspresi.

“Abang dari kapan di sini?” tanya Bulan yang masih kaget

“Tadi.”

“Abang gak kuliah?”

“Siang.”

“Oh gitu.”

“Makan,” titah Awan

“Hah?”

“Makan,” ujarnya lagi tegas

“Ahh iya Bang.”

“Apa?” tanya Awan yang melihat pergerakan Bulan

“Bisa antar aku ke kamar mandi?” ujar Bulan lirih

“Ayo.”

“Emm makasih Bang.”

“Setelah sekian lama aku bisa sedekat ini lagi.”

“Mata.”

“Hah?”

“Sana.”

“Iya Bang.”

“Sudah?”

“Sudah.”

“Gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Luka.”

“Sudah mendingan kok cuma masih suka nyeri.”

“Abang pergi.”

“Abang mau ke mana?”

“Kuliah.”

“Nanti ke sini lagi gak?”

“Iya.”

“Ya sudah hati-hati Bang,” ujar Bulan tulus

Awan pergi meninggalkan Bulan sendiri di ruang rawat itu.

“Seandainya kejadian beberapa tahun lalu tidak terjadi mungkin sekarang aku gak akan kaku gini sama Bang Awan,” lirih Bulan

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel