Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Hanya Kata Maaf

Bulan’POV

Sudah beberapa hari setelah kejadian di mana dirinya kena tampar oleh Matahari dan Awan yang tiba-tiba peduli saat dirinya dikasari Ayah kandungnya sendiri, sampai kinipun perubahan sikap Awan terlihat sangat beda dari yang sebelumnya. Dirinya sendiripun masih belum percaya melihat sang kakak mau membantu dan membela di depan sang ayah rasanya bagaikan mimpi.

“Woy.”

“Kenapa sih Bang malam-malam teriak gak jelas?” ucapnya kesal

“Lagian dari tadi gue panggil gak nyaut.”

“Emang Abang manggil Bulan?” tanyanya bingung

“Lah tidur lo.”

“Gak lihat mata Bulan masih ke buka gini.”

“Ya kali gitu lo tidurnya melek.”

“Abang ngelawak?”

“Lo lihat wajah gue lagi ngelawak gak?”

“Enggak sih.”

“Nah.”

“Apaa?”

“Enggak, lo ngapain malam-malam masih di balkon?”

“Memandang langit.”

“Ngapain ngelihatin langit kayak gitu?”

“Habis langitnya masa gak ada Bulan.”

“Lagi berawan makanya gak ada Bulan.”

“Mungkin.”

“Masuk! Besok lo sekolah,” perintah Awan

“Iya nanti.”

“Suka banget sih lo duduk di sini,” tukas Awan

“Emang Abang sering lihat aku di sini?”

“Iya lah kamar kita sebelahan jadi gue sering lihat lo melamun.”

“Dih dasar tukang ngintip.”

~Hening~

“Bul…”

“Hmm.”

“Gue mau minta maaf.”

“Minta maaf soal apa Bang?”

“Soal semuanya. Tentang sikap gue yang dingin, acuh, dan suka nuduh-nuduh lo tanpa bukti.”

“Iya Bang, udahlah gak usah dibahas lagi.”

“Lo serius maafin gue?”

“Iya.”

“Ikhlas gak?”

“Nanya mulu dih.”

“Songong!”

“Mending Abang duduk dan diam gak usah ngomong terus, Bulan lagi malas bicara.”

“Lah itu lo ngomong.”

“Please Bang,” mohonnya

“Iya-iya.”

Suasana kembali hening cuaca dimalam ini sangat mendukung, suasana sejuk yang mampu membuat dirinya betah berlama-lama untuk duduk diam di balkon meski angin malam tidak baik untuk tubuhnya.

Angin yang berhembus kencang membuat daun dan ranting saling bergesekkan, rambut yang sengaja diurai membuat rambutnya dengan mudah mengikuti ke mana arah angin. Sang kakak yang duduk di sebelah pun ikut diam memperhatikan langit malam yang gelap tanpa bulan dengan pikiran-pikiran yang entah di mana.

Menurutnya melamun adalah salah satu hobi semenjak masalah menimpa meski ia tahu hal yang dilakukan tidak akan merubah semuanya.

SEPI

“Ayo Bul masuk!” perintah Awan

“Abang duluan aja.”

“Lo?”

“Nanti.”

Tanpa diduga Awan mengangkat tubuhnya ala bridal style, membuat dirinya terkejut setengah mati karena takut terjatuh.

“Astaga Abang…” teriaknya

“Apaan sih gak usah teriak-teriak gue ada di depan lo.”

“Turunin Bang!”

“Okey nanti gue turunin di ranjang.”

“Turunin sekarang!

“Hustt diam aja udah.”

“Huft.”

“Nah nurut gini kan enak.”

“Turunin Bulan!”

“Iya elah bawel bener lo jadi cewe.”

“Emangnya Bulan cowo apa.”

“Malam ini Abang tidur sini ya,” pinta Awan

“Hah?”

“Gak usah pakai hah Bul.”

“Di kamar Abang aja sana,” tolaknya

“Boleh ya, please.”

“Enggak boleh.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Boleh.”

“Enggak.”

“Adik Abang yang cantik, izinin Abang tidur di sini ya...”

“Enggak.”

“Oke boleh.”

“Dih apa-apaan sih Bang, keluar sana!”

“Gue ngantuk gak kuat jalan.”

“Elah rese banget sih.”

“Bodo wlekk.”

“Terserah Abang deh.”

Dirinya mengalah karena melihat wajah Awan yang sangat kelelahan, matanya yang belum mengantuk memilih untuk membuka buku diary dan menuliskan sedikit kata-kata yang mewakilkan hatinya.

Dimalam sunyi ini dan penuh dengan pertanyaan yang tersimpan dalam kepala tanpa adanya jawaban pasti aku ingin bertanya satu hal, entah itu akan ada jawaban pasti atau tidak.

Apa semuanya yang terjadi beberapa hari ini nyata? Apa harapanku selama ini jadi kenyataan? Apa semua doa-doaku selama ini terkabulkan?

Bulan Aurora

Dirinya menutup kembali buku yang baru saja digoreskan lalu merebahkan tubuhnya di sebelah Awan yang sudah tertidur lelap, berusaha untuk memejamkan mata tapi tidak bisa tiba-tiba terdengar bisikan di telinganya.

“Bul maaf gue terlalu pengecut, gue cuma bisa ngomong saat lo sudah tidur. Gue benar-benar minta maaf sama apa yang sudah gue lakuin dimasa lalu, maaf untuk sikap gue yang terlalu acuh di saat lo dikasari oleh ayah, maaf karena gue gak bisa jadi Abang yang baik buat lo, maaf karena gue gak pernah ada disaat lo butuh seseorang sebagai tempat bersandar, maafin gue yang selalu nuduh lo yang macam-macam, maaf karena gue gak bisa jadi seseorang yang membuat lo tersenyum seperti yang lain, maaf karena gue sudah terlalu dalam menggoreskan luka di hati lo, maaf untuk semua hal yang pernah gue lakuin dari dulu. Gue benar-benar nyesal sudah ngelakuin hal itu, gue benar-benar gak pantas jadi Abang lo. Gue tahu semua yang gue lakuin akan membekas walau gue meminta maaf beribu-ribu kali. Maaf karena lo harus punya Abang pengecut kayak gue, maaf hikss.”

“Bang Awan nangis,” batinnya

“Maafin gue Bul hikss,” tangis Awan

“Gue nyesal karena gak pernah ada buat lo Bul, gue tahu lo selalu ngelukain diri lo sendiri. Kemarin gue gak sengaja lihat lo nyayat tangan lo tapi gue pura-pura gak tahu karena gue takut lo bakal ngejauh dari gue. Maafin gue karena ternyata lo benar-benar terluka hiks.”

“Abang tahu kalau aku sakit? Gimana ini?”

Karena sudah terlalu larut kamipun tenggelam dalam mimpi masing-masing, terlelap hingga keesokan paginya kami berdua terbangun karena sercecah sinar matahari yang menyinari langsung ke wajah cantiknya.

“Pagi cantik,” sapa Awan

“Pagi.”

“Muka lo kenapa cemberut gitu pagi-pagi?”

“Ehm aku mau mandi dulu.”

“Etdah gue tanya juga.”

“Abang mandi sana!”

“Iya-iya.”

Dirinya memasuki kamar mandi untuk melakukan ritual pagi sebelum berangkat ke sekolah meninggalkan Awan yang masih mengumpulkan nyawa di atas ranjang. Setelah selesai dan sudah rapih dengan pakaian sekolah tidak lupa mematut dirinya dicermin melihat dirinya sendiri lalu berkata.

“Apa wajah ini akan selalu memakai topeng ke manapun aku melangkah? Apa kaki ini akan kuat menompang diriku dan luka yang sudah sangat dalam?” ujarnya lalu membuka buku diary kesukaannya

Aku Rindu Suasana Rumah

Terkadang kehangatan yang tercipta, membuat rindu ingin terulang kembali, suasana harmonis yang terjadi membuat hari-hari yang melelahkan menjadi berwarna.

Hidup di suasana rumah hangat membuat betah untuk tetap tinggal tapi semua itu hanya khayalan semata, hanya imajinasi yan tercipta di dalam kepala.

Dipaksa untuk menjadi dewasa oleh keadaan membuatku kehilangan hal-hal menyenangkan untuk dijalani.

Dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya membuat diri ini belajar untuk berdiri tegar dengan kaki sendiri.

Aku rindu suasana rumah yang harmonis, rindu kehangatan yang tercipta saat bersama keluarga, rindu hari-hari penuh warna yang diisi oleh keluarga.

Aku merindukan suasana rumahku sendiri…

Aku rindu keluargaku yang dulu…

Bulan Aurora

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel