Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Harapan 2

Dengan perasaan takut Bulan memasuki rumah didampingi sang Kakak yang berada di sebelahnya. Terlihat laki-laki paruh baya keluar dengan wajah dingin juga tatapan tajam keluar dari dalam rumah besar itu.

Bulan yang dtatap seperti itu hanya bisa menundukkan kepala dengan arah mata yang hanya menatap ke ujung sepatu juga tangan yang saling bertautan satu sama lain.

“Kalian dari mana saja baru puang jam segini hah?!” tanya Matahari dingin

“Ehm Bulan baru pulang sekolah Yah,” jawab Bulan terbata-bata

“Sekolah? Dari kemarin baru pulang sekarang, gak sekalian nginap aja di sekolahanmu itu.”

“Ahh kemarin aku diajak ke apartemen Bang Awan.”

“Kenapa gak pulang ke sini?”

“Karena gak ingin pulang ke sini,” jawab Awan tidak kalah dingin

“Bang…” bisik Bulan

Perdebatan sengit antara Matahari dan Awan terjadi tidak ada yang mau mengalah diantara mereka berdua saling mengeluarkan pendapat masing-masing yang berbeda satu sama lain.

“Kamu ngapain dekat-dekat dengan anak ini hah!”

“Dia adikku jadi wajar kalau Awan dekat sama Bulan.”

“Kamu gak ingat apa yang dilakukan dia dulu hah!”

“Itu masa lalu dan juga sudah takdir yang ditetapkan.”

“Kamu apakan anak saya Bulan?!” sentak Matahari emosi

“Jangan pernah sentuh ADIK SAYA!” ujar Awan penuh penekanan di akhir kalimat

“Sejak kapan kamu mengakui dia adikmu hah!”

“Dari dulu Bulan memang adikku Ayah.”

“Hahah kamu sudah tertipu dengan wajah polos itu dan kamu akan menyesal sebentar lagi,” kata Matahari dengan tawa yang mengerikan

“Itu tidak akan terjadi justru Ayah yang akan menyesal seumur hidup!” teriak Awan penuh emosi

“Bang sudah…” ucap Bulan menenangkan

“Kamu masuk ke kamar sana!” perintah Awan

“Iya.”

“Nanti Abang nyusul ke kamar mu.”

“Buat apa?”

“Memangnya tidak boleh Abang ke kamarmu?”

“Ehm ya boleh aja Bang.”

“Ya sudah sana jangan lupa bersih-bersih.”

“Iya Abang juga.”

Mereka memasuki kamarnya masing-masing suasana di dalam rumah besar itu kembali tegang dan memanas setelah perdebatan yang terjadi antara anak dan ayah.

“Ayah kenapa selalu menatapku penuh kebencian sih, memangnya aku punya salah apa sama Ayah?” batin Bulan

Malam harinya saat perempuan cantik itu sedang sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya yang menumpuk tiba-tiba terdengar teriakan namanya dengan sangat lantang.

“BULAN!” teriak Matahari

“Ayah kenapa teriak-teriak manggil nama aku,” ucapnya sendiri

“Iya Yah?” tanya Bulan yang sudah ada di depan Matahari

“Kenapa makan malam hari ini belum ada di atas meja?”

“Maaf Ayah hari ini aku banyak tugas jadi untuk malam ini aku pesan online,” ujar Bulan takut-takut

“APA! Pesan online.”

“Iya Ayah.”

“Lancang kamu ya, kenapa tidak bertanya dulu sama Ayah hah!”

“Ehm aku takut mengganggu Ayah yang sedang sibuk bekerja.”

“Harusnya kamu bertanya dulu sama saya jangan mengambil keputusan sendiri seperti ini.”

“Maaf Ayah… lain kali Bulan janji gak akan ulangi hal yang sama seperti hari ini.”

“Hanya maaf yang selalu keluar dari mulutmu itu hah!”

“Maaf Ayah.”

“Benar-benar anak yang merepotkan dan hanya menjadi beban untuk keluarga ini!” ujar Matahari kasar

“Ayah…” lirih Bulan

“Apa? Mau nangis, nangis aja gak akan ada yang peduli sama kamu di sini.”

“AYAH!” bentak Awan

“Apa-apan kamu bentak Ayah seperti itu!”

“Seharusnya Awan yang tanya kenapa Ayah membentak Bulan padahal dia sudah minta maaf sama Ayah.”

“Kenyataannya memang anak ini hanya jadi BEBAN dikeluarga ini,” ujar Matahari penuh penekanan disetiap kata

“Jaga bicara Ayah!” tunjuk Awan yang tersulut emosi

“Kamu apakan anak saya sampai dia berani membentak saya hah!”

“STOP! Jangan pernah bentak Bulan.”

~Plakk~

“AYAH!” teriak Awan

~Bughh~

“Arghh…” ringis Bulan yang terbentur dinding

“Bulan… STOP AYAH!”

“Kali ini kamu selamat,” ucap Matahari lalu pergi

“Bulan kamu gapapa?” tanya Awan khawatir

“Aku gapapa Bang.”

“Abang bantu kamu ke kamar.”

“Bulan bisa sendiri,” tolak Bulan

“Bulan…”

“Kenapa?”

“Abang ambil kompresan dulu di dapur.”

“Ehh Bang…”

Terlambat, Awan sudah lebih dulu pergi ke dapur mengambil kompresan sebelum Bulan selesai menyelesaikan ucapannya. Setelah itu Awan buru-buru menyusul adiknya tanpa sengaja ia melihat Bulan sedang menggoreskan lengannya menggunakan benda tajam.

Awan masih diam di depan pintu memperhatikan dengan perasaan sedih karena ternyata apa yang dibilang oleh Dokter sewaktu di rumah sakit beberapa hari lalu benar dan ia menyaksikan dengan mata telanjangnya.

“Tuhan apa separah itu hingga Bulan melukai dirinya sendiri,” batin Awan sedih

“Kenapa Tuhan, kenapa harus aku?” tangis Bulan pecah

“Astaga tangannya berdarah,” lirih Awan

“Kenapa harus aku yang lahir dikeluarga ini.”

“Kakak yang tidak berguna,” kata Awan menyalahkan diri sendiri

Dengan segera Awan masuk ke dalam kamar Bulan membuat adiknya terkejut terlihat dari wajah cantiknya yang terkejut.

“Abang kompres dulu pipi kamu.”

“Gak usah Bang.”

“Sini wajah kamu Abang kompres dulu.”

“Bulan bisa sendiri Bang.”

“Bulan!” ujar Awan dengan suara yang naik satu oktaf

“Emm iya.”

“Tanganmu kenapa di belakang punggung?” tanya Awan pura-pura

“Ehh gak apa-apa Bang.”

“Benar?”

“Iya Abang awh,” ringis Bulan

“Bohong ya?” tanya Awan penuh selidik

“Enggak aww Abang pelan-pelan dong,” kesal Bulan

“Iya-iya maaf.”

“Sini ahh aku sendiri aja.”

“Habis ngapain tangannya berdarah?”

“Ehm… habis itu…”

“Habis apa Bulan?” tanya Awan dengan tatapan tajam

“Kena kaca iya kena kaca.”

“Serius?”

“Iya hehe kena kaca Bang.”

“Sini coba lihat tangannya, benar kena kaca?”

“Iya Abang kena kaca.”

“Bukan kena itu?” ucap Awan menatap pisau lipat

“Ehh enggak Bang,” elak Bulan

“Kamu gak mau jujur aja.”

“Jujur soal apa Bang?”

“Jujur soal tangan kamu yang berdarah ini.”

“Kan aku sudah bilang kalau kena kaca.”

“Kamu bohong kan?”

“Mmm.”

“Usahain jangan kayak gini lagi ya, besok Abang antar kamu berobat gimana?”

“Berobat? Aku gak sakit Bang kenapa harus berobat.”

“Tapi…”

“Aku gak mau berobat titik,” potong Bulan cepat

“Iya-iya.”

Dengan telaten Awan mengobati setiap luka yang ada di tubuh Bulan, wajahnya menampakkan wajah ngeri dan merasakan ngilu saat tanpa sengaja menyentuh luka Bulan yang begitu dalam. Tapi yang diobati hanya menatap tanpa ekspresi tidak ada tanda-tanda merasakan sakit.

Tanpa suara Awan bagaikan seorang dokter yang siap mengobati luka luar Bulan juga sebagian luka di hatinya yang penawar utamanya adalah sang Ayah.

Hari ini aku senang sekali melihat orang yang sangat aku sayangi bisa sedekat dan sepeduli ini padaku, seseorang yang sudah sejak lamaku sebut dalam doa setiap malam, seseorang yang sudah sejak lama mau memeluk luka-luka di hatiku, seseorang yang dengan sigap melindungiku dengan jiwa dan raganya.

Terima kasih untuk kesempatan hari ini, terima kasih karena telah mengabulkan doa-doaku yang selaluku panjatkan setiap malam, terima kasih karena harapan yang dulu hanya angan-angan menjadi nyata, terima kasih karena bahagia yang kau berikan walaupun aku tahu ini hanya sementara.

Terima kasih untuk kebahagiaan hari ini…

Bulan Aurora

“Sudah gue obati semua luka lo sekarang waktunya tidur,” titah Awan lembut

“Uhm tapi…”

“Gue temani ya.”

“Iya.”

“Good night cantik,” ucap Awan sambil mengecup kening Bulan

“Night to Bang.”

Perlahan mereka berdua memasuki alam mimpi dengan posisi tidur yang saling berpelukan memberikan kehangatan satu sama lain, Bulan yang dipeluk dengan erat oleh sang kakak terlihat sangat senang.

“Semoga kehangatan ini tidak berjalan singkat,” batin Bulan

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel