Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MDR - 5

Marchell tidak pernah membayangkan, akan jatuh hati sedalam ini. Wanita, adalah hal yang tidak pernah dianggapnya serius. la begitu menyayangi dan mencintai dirinya sendiri, sehingga pernah bersumpah hanya ingin menjalani hidup seperti yang diimpikan.

la ingin tinggal di Ubud dan sesekali menjelajahi daerah lain di Bali demi menangkap kebebasan sebanyak mungkin, kemudian menuangkannya ke atas kanvas. la menikmati melukis bertelanjang dada di pagi hari, sambil menyesap rokok dan ditemani segelas

kopi yang berangsur dingin. Marchell, sebenarnya hanya ingin hidup seperti itu sampai tua. Namun, gadis berwajah polos bernama Allana itu sanggup membuat hatinya gelisah sejak pertama kali bertemu.

Tak sengaja berjumpa saat sedang sama-sama membuang sampah di depan rumah, nyatanya Allana saat itu mampu menimbulkan getar aneh di hatinya. Marchell masih ingat, waktu itu Allana mengenakan kaos kebesaran dan juga celana pendek sebatas lutut. Rambut hanya diikat asal dan tampak sedikit berantakan.

“Baru nempatin?” sapanya saat itu, hanya untuk sekadar berbasa-basi pada tetangga baru.

Pasca enam bulan nmenempati rumah di kompleks, Marchell merasa luar biasa lega akhirnya ia mempunyai tetangga. Mau bagaimana lagi, hanya ia satu-satunya penghuni di blok ini.

“Iya,” jawab Allana ramah. “Kakak udah lama di sini? “

“Baru enam bulan...”

“Saya Allana. Panggil aja All.” Gadis itu menangkupkan kedua tangannya.

“Saya Marchell,” jawab Marchell sambil memperhatikan rona merah di kedua pipi Allana.

Tidak, ia yakin rona itu bukan disebabkan karena wajahnya yang kelewat tampan, melainkan matahari memang sedang terik-teriknya. Wajah kecil dengan kelopak mata yang lebar itu mampu menarik perhatiannya dengan cepat. Kedua alis yang menaungi mata besar itu tertata dengan rapi. Tidak terlalu tebal, juga tidak tipis. Tatapannya beralih pada dagu runcing Allana yang membuat Marchell mendadak ingin menyapu sudut lancip itu dengan kuas.

“Panggil aja Chel,” ucapnya kemudian sambil mengamati bibir Allana yang masih membentuk senyuman.

Merah muda, warna ranum bibir Allana yang saat itu tertangkap matanya dengan begitu sempurna. Marchell, telah berkali-kali memenjara keindahan gadis mana pun dalam bingkai kanvasnya. Namun belum ada satu pun di antara mereka, yang mampu membuat jantungnya berdetak lebih kencang hanya dengan memakai pakaian rumahan dan tanpa polesan make up.

Setelah proses basa-basi yang cukup singkat, Allana menghilang di balik pagar besi yang menjulang tinggi. Marchell ingat betul, hari itu juga ia menghubungi jasa pembuatan pagar demi membatalkan pagar pesanan, yang baru saja dipesan sehari sebelumnya. Di blok ini hanya ada mereka berdua, sisanya rumah yang masih dalam tahap pembangunan dan tanah kavling kosong. Marchell ingin suatu hari nanti Allana datang dan mengetuk pintu rumahnya. la ingin mengurangi pembatas di antara mereka dengan membiarkan gadis itu bebas menginjakkan kaki di halaman rumahnya, kapan saja.

Keinginannya terwujud. Allana, hampir selalu datang dan pintu rumahnya terbuka dua puluh empat jam untuk gadis itu. Allana menjelma menjadi satu-satunya wanita yang ia lukis. Marchell tidak bisa menahannya. la membiarkan Allana masuk dan menguasai hatinya dengan bebas.

“Mantan kamu ada berapa?” Allana bertanya suatu hari, saat ia sedang menempelkan sebelah sisi wajah di permukaan perut yang kian membesar.

Lucunya, pertanyaan itu dilontarkan setelah usia kehamilan Allana memasuki bulan ke-empat.

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?” Marchell tersenyum geli, kemudian mengecup lembut permukaan perut Allana.

“Hmmm... penasaran aja.” Senyuman Allana mengembang. “Sebenernya udah lama aku pingin nanya ini. Tapi aku takut kamu nanti nanya balik berapa mantan aku...”

“Emang berapa mantan kamu? “ Marchell malah bertanya dan membuat Allana cemberut lucu.

“Tuh kan kamu nanya...”

“Aku bakal jawab berapa mantan aku, kalau kamu jawab dulu berapa mantan kamu.” Marchell mengulum senyum.

“Mmm... oke. Mantan aku ada... tapi janji jangan ketawa ya!”

Senyuman Marchell terurai lebar.

“Tuh kan, ketawa!”

“Nggak, nggak ketawa..” Marchell buru-buru menyesap pipi bagian dalam.

“Chel! Muka kamu jeleeek..” Allana tak dapat menahan tawanya.

“Bohong! Kamu pasti sering muji-muji kalau muka aku itu ganteng.” Marchell tersenyum angkuh.

“Buruan berapa mantan kamu?” desak Marchell yang sudah terlanjur penasaran.

“Mmm.. satu,” jawab Allana malu-malu sambil mengangkat jari telunjuknya.

“Satu doang?” Marchell menatap tak percaya.

Allana mengangguk dengan wajah memelas.

“Kasihan. Nggak laku ya?”

“Ihhh!” Sebelah tangan Allana gemas mencubit lengannya, kemudian bibir ranum itu mengerucut lucu.

Sungguh saat sedang hamil muda Allana semakin menggemaskan saja. Jika tidak ingat apa kata dokter, mungkin Marchell sudah menyeret Allana ke dalam kamar dan melakukan sesuatu yang sedikit brutal. Namun ia selalu teringat apa kata dokter, “Pelan-pelan ya Pak, istrinya lagi hamil muda. Jangan digoyang keras-keras.”

“Sekarang jawab, berapa mantan kamu!”

Tatapan tajam Allana serasa ingin membunuhnya.

“Mmm...” Marchell memutar kedua bola matanya. Berusaha mengingat-ingat. Ah sulit. Bahkan ia lupa, kapan terakhir kali pacaran.

“Lama!” Allana menatap galak.

“I stop counting from...” Marchell mengacungkan ke sepuluh jarinya dengan cengiran di wajah.

“Sepuluh?” Kedua mata Allana membulat.

“Mmm.. sebelas, dua belas... lima belas... Eh...”

“Chel!”

“Aku lupa he he he... “ Marchell tersenyum kikuk memamerkan seluruh giginya.

Mau bagaimana lagi, sama sekali tidak ada yang serius. Bahkan tahun-tahun belakangan, ia mulai tidak tertarik pada komitmen sebelum akhirnya bertemu dengan Allana.

“Nak, jangan kayak bapakmu ya..” Allana memasang tampang sedih yang dibuat-buat sembari mengusap perutnya.

“Kenapa cuma satu? Apa dia segitu spesialnya? Jangan-jangan cinta pertama kamu,” goda Marchell kemudian.

Allana tersenyum kecil. “Dia memang spesial. Kita putus baik-baik begitu lulus SMA, dan sejak itu aku nggak tertarik sama siapa pun sampai akhirnya ketemu kamu.”

“Thanks to him. Dia jaga kamu dengan baik. Nggak kayak aku..” Senyuman nakal Marchell mengembang.

“Hm iya. Dia alim. Nggak kayak kamu yang langsung sosor terus,” ledek Allana dengan senyumannya yang centil menggoda.

“... terus lanjut di kamar, Sayang.” sambung Marchell kemudian mengangkat tubuh Allana dari sofa.

“Chel, mau ngapain??” Allana menatap panik.

“Susu kamu tambah montok... mau mikcu,” jawab Marchell tanpa perasaan bersalah, padahal kemarin malam sudah dapat jatah.

“Chel! Dasar maniak!” Diiringi tatapan protes, Allana memukul pelan bahunya. Namun, Marchell saat itu tidak peduli.

Rasanya Marchell rindu masa-masa itu. Rindu Allana tidur di sampingnya. Rindu menyelami seluruh jiwa raga wanitanya di malam-malam sunyi. Setelah Allana hamil, mereka menikah dan menggelar syukuran secara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat. la pindah ke rumah Allana, sementara rumahnya sendiri beralih fungsi menjadi studio seni kecil- kecilan, yang sebagian besar berisi lukisan-lukisannya.

Awal-awal menikah, segalanya masih terasa begitu indah hingga mereka tiba pada hari kelahiran Michy. Pada hari itu, Marchell juga terlahir menjadi seorang Papa. Peran baru dengan tanggung jawab yang demikian besar. Seiring bertambah hari, cinta Allana terkikis oleh peran baru mereka sebagai orang tua. Cinta mereka menjadi kian hambar. Perselisihan kerap terjadi yang sumber masalahnya itu-itu saja. Apalagi kalau bukan soal uang.

Marchell tidak menyesali kehadiran Michy. Sama sekali tidak. Namun tidak dipungkiri, kehadiran Michy justru membuat perasaan Allana semakin jauh darinya. la bukan lagi prioritas Allana dan Marchell bisa menerima itu. la tidak bisa cemburu pada putri kecilnya. Michy, bagaimana pun juga adalah alasannya bertahan dari serangan demi serangan yang kerap dilakukan oleh Allana.

Marchell ingin Michy tetap merasakan kasih sayang utuh darinya. la tidak ingin Michy kehilangan peran Papa. la ingin selalu dekat dengan putri kecilnya meski pun hati dan telinga seringkali tidak tahan terhadap perkataan Allana. Namun sayangnya, Allana menyerah. Wanita itu memilih berpisah.

“I'm sorry. I cant love you anymore,” ucap Allana saat mengungkapkan keinginannya untuk bercerai.

la tidak bisa menahan keputusan Allana. Kedua orang tua mereka bahkan saling bertemu untuk membantu proses mediasi. Namun sepertinya ia sudah menjadi pria yang gagal di mata Allana, hingga wanita itu membulatkan tekad untuk tetap bercerai. Dan kini setelah mereka resmi bercerai, Allana masih merasa berhak mengatur-atur dirinya? Seseorang harus mengingatkan Allana akan status pernikahan mereka saat ini!

“Itu urusan aku! Karena wanita itu bakal jadi mama tirinya Michy!” Semalam wanita itu berucap dengan nada tinggi. Napas memburu, dada naik turun, ditambah sebelah tangan tangguh tak bergeming setelah menggebrak meja.

“Kamu cemburu?” tanya Marchell dengan senyuman samar.

“Nggak!” Allana buru-buru merubah mimik wajahnya menjadi lebih kalem. “Aku cuma khawatir sama Michy. Khawatir bapaknya bawa pulang lonte.” Allana menatap sinis ke arah Marchell.

“All... kan kamu tahu aku nggak punya duit? Kamu pikir lonte mau dipake gratisan cuma karena aku ganteng? Kan cuma kamu yang terpesona sama kegantengan aku yang nggak menghasilkan duit ini..” Marchell tersenyum kering saat melihat bibir Allana terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut wanita itu.

“Maksud aku, bukan lonte dalam arti sesungguhnya. Maksud aku cewek gatel yang kesengsem sama kamu, terus nyamperin kamu gitu! Yang ngintilin terus, nggak guna pokoknya! Aku nggak mau ya, kamu pacaran di depan Michy!”

“Kamu ngomongin masa lalu kamu?” Marchell tersenyum mengejek.

“Eh enak aja! Aku nggak gatel!” Kedua mata Allana melebar pertanda protes.

“Alah bilang aja itu kamu! Kamu tuh bisa ngatain orang lain yang kamu nggak tahu wujudnya, karena berkaca dari pengalaman kamu sendiri kan? Kamu dulu sering buang sampah pake hotpants demi pamer paha sama aku kan? Biar aku kena jebakan kamu gitu... ngaku aja dulu kamu suka kan liat aku?”

Senyuman Marchell makin mengembang saat melihat wajah tidak terima Allana.

“Hiih! Ngapain! Justru aku tahu selera kamu itu ya cewek-cewek yang gampang masuk ke rumah kamu!”

“Ya kayak kamu kan? Dulu gampang masuk rumah aku...”

“...” tak ada perlawanan dari Allana

“... gampang buka baju juga.”

“...” lidah kelu Allana dan ingatan masa lalu membuat otaknya membeku seketika.

“Padahal kamu ngaku polos, tapi kamu buka-buka sendiri baju kamu!”

“Chel! Kamu duluan ya yang buka baju aku!”

“Terus kenapa nggak nolak?”

“...” oke, selesai sudah.

Skak mat! Allana tidak mampu menjawab satu pun pernyaataan Marchell. Sedari tadi ia hanya mampu membuka dan mengatupkan bibirnya tanpa ada satupun suara yang keluar.

“Hahahahahaha,” tawa Marchell berderai saat melihat ekspresi serba salah Allana.

“Aku serius! Awas kalau kamu pacaran di depan Michy! Kalo udah punya pacar, nggak usah minta sampo sama parfumku lagi! Nggak usah numpang cuci baju di rumahku! Nggak usah...”

Marchell tersenyum geli saat mengingat bagaimana saat itu membungkam mulut Allana dengan bibirnya. la segera bangkit dari kursi dan mencuri kecup singkat dari bibir penuh wanita itu.

“Siap!” ucapnya sambil menatap lekat wajah Allana yang bersemu merah.

Wanita itu masih mencintainya. Marchell tahu itu.

‘What if I’m not done in love with you’

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel