Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MDR - 6

“Mending lo ikut gue ke Ubud,” ucap Deon siang itu.

Lama tidak bertemu, hari itu Deon sahabat karib sejak di universitas menyempatkan mampir mengunjungi rumahnya. Marchell hanya tersenyum kecut sembari melihat—lihat foto dalam tablet milik Deon.

Sungguh, Deon tengah menjalani kehidupan yang ia impi-impikan. Memiliki galeri seni sendiri di Bali dan sukses menjual beberapa lukisan setiap tahunnya. Bahkan, lukisan-lukisan itu terjual dengan harga yang bagus.

“Lo nggak mau ikut gue aja? Lo bisa taruh lukisan lo di galeri gue. Lo bisa tinggal di tempat gue. Selain Bali, gue sering kirim lukisan ke Solo, Jogja, Jakarta, banyak deh. Bahkan bulan lalu gue kirim dua lusin lukisan ke Singapura.” Deon menatap serius.

Tawaran Deon, memang terdengar menggiurkan.

“Gue pingin tapi...” Kalimat Marchell menggantung di ujung bibirnya. “Gimana sama Michy? Gue nggak bisa jauh dari dia. Gue nggak bisa sehari aja nggak cium pipinya.... “ Marchell termangu menatap lantai.

Deon terdiam kemudian menyesap rokoknya dengan penuh khidmat. Mereka berdua duduk melantai di teras rumah, sambil menikmati segelas kopi hitam yang berangsur dingin.

“Gue kasian liat lukisan-lukisan lo...” Deon menatap nanar belasan kanvas yang terbungkus kain putih dan disandarkan begitu saja di dinding. “Dunia harus tahu bakat lo.”

Marchell tersenyum tipis, kemudian membuang asap rokoknya secara perlahan. “Gue pingin. Bener. Tapi dunia gue sekarang Michy.”

“Hmmm...” Deon menatap getir.

“Gue nggak bisa bayangin jauh dari dia. Gue nggak bisa bayangin, nggak cium-cium dia. Gue suka banget bau kecut Michy. Enak banget, bikin gue tenang...” Marchell membayangkan bau kecut Michy yang menjadi aroma favoritnya kini.

“Halah! Bau kecut Michy apa bau kecut beha mantan bini lo? Ha ha ha!” ledek J0se disusul tawa nyaringnya.

“Beha mantan bini gue nggak kecut Bro.” Marchell hanya bisa meringis.

“Oh...” Dalam sekejap Deon menghentikan tawanya. “Beha bini gue doang berarti yang kecut...”

Marchell hanya menatap datar. Sungguh, tidak ingin mendengar selipan informasi maha tidak penting itu.

“Chel. Come on. Fight for your life. Lo nggak harus ke luar negeri jadi TKI dan bertahun-tahun nggak ketemu anak. Bali deket Man! Inget, living in Bali itu impian lo. Lo masih bisa pulang sebulan sekali. Mau sampai kapan lo kayak gini Man? Gue kebetulan mau buka cabang di Jogja. Gue bakal sibuk di sana urus ini itu. Gue butuh orang di Bali, dan gue rasa lo orangnya. Lo pasti bisa urus lukisan-lukisan gue, juga karya-karya seni lainnya dengan sangat baik di sana.” Deon masih berusaha meyakinkannya.

“Thanks tawarannya. Gue pertimbangin dulu ya. Sementara ini kalau boleh gue nitip beberapa lukisan gue dulu di tempat lo.”

“Okey Chel, okey... “Deon mengangguk pasrah pada keputusannya. “Lo pikir dulu baik-baik ya...”

Marchell mengangguk lesu. Ia ingin sekali pergi, akan tetapi tidak sanggup membayangkan terpisah jauh dari Michy. Apalagi Michy sudah duduk di bangku Paud. Meski jadwal sekolah Michy hanya tiga kali dalam seminggu, pagi-pagi sekali Allana sudah mengantar Michy ke rumahnya. Di saat Allana tengah bersiap untuk berangkat ke kantor, ia memandikan Michy dan menyiapkan gadis kecilnya itu untuk pergi ke sekolah.

Tidak ada yang berubah pasca mereka bercerai. Daripada menitipkan Michy di day care yang mana akan menambah biaya bulanan semakin membengkak- mereka sepakat mengasuh Michy secara bergantian.

Gaji Allana tidaklah seberapa, meskipun dua bulan setelah hamil wanita itu diangkat menjadi pegawai kontrak. Untuk ukuran hidup di Jakarta, penghasilan Allana bisa dibilang pas-pasan. la sendiri belum bisa memberikan nafkah secara rutin.

Jadi Marchell merasa, keputusan mereka untuk bergantian mengasuh Michy adalah keputusan yang paling baik untuk saat ini. Setelah mengantar Michy sekolah, biasanya Marchell kembali ke rumah untuk mengerjakan lukisannya. Namun tentu saja ia tidak bisa maksimal karena dua jam setelahnya ia harus menjemput Michy.

Terkadang, ia tidak langsung pulang dan membawa Michy jalan-jalan sebentar. Seringnya mereka mengunjungi mini market atau sekadar membeli camilan untuk Michy. Kadang ia membawa Michy ke perpustakaan dan memperkenalkan gadis kecil itu pada aneka buku penuh warna.

Ketika sampai di rumahnya, ia masih harus menyuapi Michy makan siang. Jika Allana tidak meninggalkan makan siang, Marchell lebih memilih memasak sendiri daripada membeli makanan di luar. Jika sedang tidak ingin memasak, ia membeli bakso untuk Michy.

Bakso merupakan salah satu makanan favorit Michy selain sup. Gadis kecil itu lebih mudah disuapi dengan makanan yang berkuah dan masih hangat. Selesai menyuapi Michy, ia akan menemani Michy bermain hingga gadis kecilnya itu lelah. Marchell kadang menyempatkan melukis sambil mengawasi Michy bermain sendiri di depan televisi. Namun tentu saja gadis itu akan berceloteh dan menanyainya akan berbagai hal. Kadang Michy juga mengajaknya bermain masak-masakan dan barbie-barbiean.

Menjelang jam tiga sore, Marchell akan memandikan gadis kecil itu lalu membacakan dongeng pengantar tidur. Biasanya Michy tidur sebentar antara satu sampai dua jam. Kemudian menjelang jam enam sore, ia sudah harus menyuapi Michy makan malam agar Allana bisa memiliki waktu untuk beristirahat sepulang dari kantor.

Jika Michy sedang libur sekolah, ia tidak berhenti mengasuh Michy sejak pagi. Terkadang, Marchell membawa Michy mengunjungi rumah kedua orang tuanya agar gadis itu tidak jenuh.

Semua itu ia lakukan tanpa rasa terpaksa. Seringkali ia juga merasa lelah. Namun, apakah Allana melihat apa yang telah ia lakukan? Semua yang telah ia lakukan tertutup begitu saja karena belum bisa menafkahi Michy secara utuh. Ia masih membuat Allana memilih bekerja hingga sering pulang malam.

Marchell tidak pernah menyesali kisah cintanya yang singkat bersama Allana. Meskipun wanita itu bersikeras melepas ikatan di antara mereka, nyatanya hatinya selalu terikat. Pernikahan mereka memang terjadi karena kecelakaan. Namun mencintai Allana bukanlah kecelakaan.

Marchell tidak menyimpan dendam meski Allana memilih menceraikannya. Perasaan di hatinya tidak pernah berkurang meski wanita itu bersikap apa adanya. Terkadang ia merasa bagai raja lantaran perasaan Allana melambungkan ego-nya setinggi langit, akan tetapi di lain waktu ia merasa hanyalah budak cinta yang merindukan pemujaan dan penghambaan dari perempuan itu.

“Bro, suatu saat nanti Allana bakal move on dan punya kehidupan sendiri meski pun lo bapaknya Michy. Lo sanggup liat keluarga kecil lo sama laki lain? Every day, tepat di depan mata lo? Lo sanggup liat Michy menemukan someone itu sementara lo masih gini-gini aja? Sori gue ngomong gini. Di sini lo ga berkembang Bro... “ Sebelum pamit pulang tadi, Deon kembali menasihatinya.

Jujur, Marchell kerap merasa takut tiap kali hal itu terlintas dalam pikirannya. Bagaimana jika suatu saat nanti Allana kembali membuka hati bagi pria baru? Akankah ia sanggup melihatnya? Akankah ia sanggup melihat Michy memanggil pria lain dengan sebutan Papa? Untuk saat ini, Marchell sungguh tidak ingin memikirkan hal itu.

Bali masih menjadi impiannya. Namun saat ini keadaannya sudah jauh berbeda. Secara sukarela Marchell bersedia terpenjara di sisi Allana dan Michy, entah sampai kapan. Mungkinkah sampai Allana menemukan pengganti dirinya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel