MDR - 4
Tidak ada aktivitas terbaru dari Instagram Marchell. Postingan terakhir sudah satu bulan yang lalu. Allana juga tidak menemukan foto selfie terbaru yang ditujukan untuk sekadar pamer ketampanan, yang ada hanya gambar lukisan. Terus Allana menggulirkan layar gawainya, mencari petunjuk atas pertanyaan hatinya.
Istirahat sejenak, Allana menghela napas panjang. Makanan di dalam kotak bekalnya sudah tak bersisa sejak beberapa saat lalu, tapi Allana masih enggan beranjak dari tempatnya. Sejak semalam, hatinya masih diliputi perasaan galau.
Apa iya, Marchell telah menemukan tambatan hati baru? Lalu bagaimana dengan Michy? Apa gadis kecilnya itu harus beradaptasi dengan mama baru? Ah tidak-tidak! Allana kembali menghela napas sembari menggeleng pelan, berusaha mengusir pikirannya yang terlalu jauh. Namun, Allana sungguh sadar lambat laun hal itu pasti akan terjadi bukan? Bukankah mereka sudah resmi bercerai?
Selama satu setengah tahun pasca bercerai, Marchell tidak pernah menunjukkan perubahan sedikit pun. Masih perhatian, dan masih bersikap menyayanginya seperti sebelum mereka bercerai. Pria itu masih tampak sendiri, bahkan masih sering menggodanya. Marchell juga masih mencuri kecupan dari bibirnya yang kering.
Ah! Allana menjilati bibirnya sendiri. Marchell tampan, tidak sulit bagi pria itu untuk menemukan pengganti dirinya. Tapi rasanya Allana belum siap melihat Michy harus berbagi dengan wanita lain. Sekadar membayangkan saja rasanya tak rela.
“All, masih lama?” Audrey, rekan sebelah mejanya,muncul di ambang pintu pantry yang terbuka lebar.
“Sori, tapi nasabahnya mendadak rame All...”
“Oke wait! Gue sikat gigi bentar, terus balik.” Allana segera menyahut pouch make up di atas meja dan mengambil sikat gigi mini.
“Oke makasih ya All.” Audrey tersenyum tipis.
“Lo udah makan Drey?” tanya Allana sambil mencuci kotak bekalnya.
“Gue gampang ntar aja kalau udah agak sepi,” jawab Audrey sembari berlalu dari hadapannya.
Allana menggeleng kecil, beginilah kehidupannya yang monoton. Ia harus berangkat ke kantor pagi-pagi sekali dan pulang selalu di atas jam enam sore. Lupakan beristirahat penuh satu jam, karena jika antrean nasabah menumpuk, Allana harus kembali ke depan secepat mungkin. Mengambil cuti pun tak semudah bayangan. Jika Michy tiba-tiba demam, ia tidak bisa izin seharian untuk mendampingi putri kecilnya itu. Selain tidak ada petugas pengganti, ia juga merasa tidak enak pada rekan kerjanya.
Allana merasa perkataan Marchell ada benarnya juga. Selama ini pria itu tidak pernah mengeluh saat mengasuh Michy. la masih ingat cerita Audrey. Gaji bulanan temannya itu nyaris habis hanya untuk membayar pengasuh anak. Allana sadar betul gajinya sebagai customer service bank swasta di Jakarta, bisa dibilang tidak kecil namun juga tidak besar. Lebih tepatnya pas-pasan. Allana jadi teringat ucapan Marchell semalam.
“Kamu bisa fokus kerja di kantor, pikiran kamu nggak kepecah, kamu nggak perlu keluarin biaya tambahan buat bayar pengasuh, itu karena aku mau merawat dan mengasuh lyy selama kamu di kantor. Bahkan kamu capek sepulang kerja pun, aku nggak keberatan sama sekali pegang Michy. Aku nggak diem aja All.”
Apa sikapnya semalam keterlaluan? Apa selama ini Marchell terlalu sering merasa diremehkan? Itu kah alasan lelaki itu ingin berpacaran lagi? Allana berhenti sejenak menggosok gigi sembari menatap wajahnya di cermin.
Malam itu Allana memutuskan memasak sedikit lebih enak dari biasanya. Bukan menu mewah layaknya hidangan prasmanan di hotel bintang lima, melainkan hanya steak ayam rumahan. Namun, Allana biasanya tidak memilih steak sebagai menu makan malam sepulang kerja.
“Chel, hari ini aku masak steak. Nanti kamu makan di rumah kan?” tanya Allana tadi sewaktu menjemput Michy dari rumah mantan suaminya itu.
“Biasanya kan aku memang makan di rumah kamu,” jawab Marchell dengan ekspresi datar.
Allana tersenyum sendiri sembari membolak-balik steak yang sebentar lagi matang. Tak berapa lama kemudian pintu rumahnya di ketuk pelan, kemudian Marchell muncul dari balik pintu.
“Papa!” Michy yang sedang menyantap snack di depan TV terlihat gembira menyambut papanya.
Allana segera menyiapkan segala sesuatunya di atas meja. Sepiring nasi panas-panas, french fries, tak ketinggalan buncis dan wortel rebus.
“Tumben masak steak-nya nggak pas weekend?” Marchell membantunya menyiapkan peralatan makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas.
Allana hanya tersenyum kecil. la menghentikan sejenak kegiatannya menata makanan di atas piring saat menyadari tatapan Marchell yang begitu kentara menyusuri tubuhnya. “Kenapa ngeliatin kayak gitu?” tanyanya kemudian.
Marchell tersenyum tipis. “Tumben daster kamu agak bagus...” Marchell segera duduk sembari mengelap sendok.
'Ini bukan daster, tapi lingerie bego.' Allana menjawab dalam hati sembari menyembunyikan senyuman yang menggurat samar di wajah. Rasanya ia tidak salah pilih, saat membeli lingerie berbahan satin yang sedang diskon di toko online langganannya.
Allana tahu ia sudah bercerai dari Marchell. Namun entah mengapa ia masih suka mengoleksi lingerie, meskipun pilihannya kali ini jatuh pada model yang terlihat lebih elegan. Jika dulu ia gemar mengoleksi lingerie berenda tembus pandang atau malah hanya berupa jaring-jaring, kini ia lebih menyukai lingerie berbahan satin. Kain yang lebih tertutup asal berbahan jatuh, tetapi tetap mampu memamerkan lekuk tubuh, juga menjadi pilihan favoritnya saat ini.
“Cantik,” puji Marchell sebelum mengarahkan tatapannya pada steak yang menggugah selera di atas meja.
“..., dari dulu,” sahut Allana acuh kemudian memasukkan potongan steak ke dalam mulutnya.
Marchell hanya tersenyum kecil sebelum lahap menikmati hidangan di atas meja. “Tadi Michy udah aku suapin soup cream sama nasi. Ini kentangnya buat dia aja. Kan dia suka.” Marchell menyisihkan french fries di atas meja.
Allana menyadari sepenuhnya jika Marchell sebenarnya tidak terlalu buruk, bahkan tidak jelek sama sekali. Lelaki itu masih berlaku baik layaknya seorang suami. “Chel, aku minta maaf ya soal yang kemarin. Bukan maksud aku nggak hargain kamu,” ucap Allana dengan tatapan penuh penyesalan.
Marchell tersenyum tipis sebelum menjawab kalem, “Iya. Kamu tenang aja. Nominal yang kamu minta kemarin udah ada semua kok.”
“Uangnya udah ada?” Kedua mata Allana membelalak, tak menyangka akan secepat ini.
“Udah,” Marchell mengangguk sambil mengunyah makanannya.
“Jadi pinjem Papa mama?”
Marchell terdiam sejenak sebelum nenjawab, sembari menatap lurus dua bola mata bening Allana. “Aku nggak pinjem. Aku minta...”
“Chel...” Allana menatap kecewa.
“Udahlah All, yang penting uang itu ada.”
“Chel mau sampai kapan kamu minta terus sama Papa mama?” Allana menghembuskan napas berat.
“Udahlah. Itu urusan aku. Nggak akan ngaruh apa-apa ke hidup kamu. Toh aku bukan suami kamu lagi.” Marchell tersenyum singkat.
“Meski pun kamu bukan suami aku lagi, kamu tetep papanya Michy.”
“Jangan menuntut aku lebih dari ini All.” Marchell menajamkan kedua matanya. “Aku sudah berusaha semampu yang aku bisa. Kita sama-sama tahu sekolah Michy itu sekolah mahal. Aku udah pernah bilang sama kamu cari sekolah yang sesuai kemampuan..”
“Buat aku pendidikan anak nomor satu dan aku harus usahakan untuk itu!” potong Allana cepat. “Aku nggak mau asal milih sekolah!”
“All, aku nggak bermaksud nyuruh kamu asal milih sekolah. Michy anakku juga. Aku juga pasti pingin banget pendidikan yang terbaik buat anak kita. Tapi kan kamu tahu keadaan sekarang kayak gimana? Masih banyak sekolah bagus lainnya yang nggak semahal sekolah Michy sekarang. Tapi kamu ngotot masukin Michy ke situ karena kemakan omongan temen-temen kamu kalau sekolah Michy yang sekarang, itu sekolahan bergengsi.”
“Buat pendidikan Michy, berapa pun harus aku usahain...”
“Pendidikan atau gengsi kamu di depan temen-temen kamu?”
“Nggak gitu Chel!” Nada suara Allana meninggi.
“Kamu tahu... aku capek kita selalu nggak sepaham kayak gini.”
“Sama aku juga!”
“Tadinya aku mau minta maaf karena aku pikir aku yang keterlaluan...”
“Silahkan kamu tarik lagi permintaan maafmu itu.”
“Ternyata emang kamu yang terlalu santai. Kamu bener-bener nggak serius memandang masa depan. Chel, hidup itu nggak bisa asal ngalir aja, terus ada apa-apa kita lari ke orang tua. Kamu harus bertanggung jawab sama hidup kamu sendiri!”
Marchell tersenyum kecut. “Cuma karena penghasilanku tiap bulan nggak pasti, terus kamu anggep aku santai dan nggak bertanggung jawab?”
Rasanya Allana saat itu juga ingin membungkam mulut Marchell dan mengatakan betapa pria itu dengan seenaknya memakai sampo mahalnya, mengambil hand body miliknya, dan masih menumpang makan di rumahnya. Namun untuk perkara yang terakhir, Allana memang menginginkannya agar Michy masih memiliki saat-saat kebersamaan dengan Papa dan mamanya seperti sebelum mereka bercerai. Jadi, ia tidak akan komplain mengenai yang satu itu.
“Kenyataannya memang gitu. Kamu terlalu santai Chel,” jawab Allana pada akhirnya.
“All, aku seniman. Aku kasih tahu kamu fakta yang selama ini aku sembuyiin dari kamu.” Marchell menenggak minumannya sejenak sebelum jemarinya melingkari pinggiran gelas seolah ragu, haruskah ia mengungkap perasaan yang sebenarnya?
“Iya, apa?” Allana menantang Marchell dengan kedua matanya, seolah tak takut mendengar apapun.
“Aku sebenernya belum siap nikah.” Marchell menatap kedua mata Allana. “Masih banyak impian aku. Aku pingin hidup di Bali dan jadi pelukis yang berhasil, karena itu hal yang paling aku suka dan bikin aku sangat tenang sekaligus bergairah jalanin hidup ini. Aku cuma mau jadi pelukis seperti impian aku dan aku pingin jalanin hidup seperti yang aku mau. Tapi tiba-tiba kamu hamil...”
Allana rasanya kehilangan kata-kata. Jadi dulu Marchell merasa terpaksa saat menikahinya?
“Saat itu secara finansial juga mental, aku belum siap. But, i love you...” ucap Marchell dengan tatapan mata yang teduh pada Allana.
Allana hanya bisa mematung, tanpa bereaksi apapun. la tenggelam dalam tatapan lekat Marchell.
“I love you All. I do really love you, with all my heart, my soul, and my life. Kamu bahkan melebihi semua impian aku. Tapi kenapa kamu nggak bisa bersabar dan percaya sama aku? Aku mencintai kamu dan Michy lebih dari segalanya. Tapi apa pun yang aku lakukan, nggak pernah cukup dan selalu kurang di mata kamu.”
“Kalau kamu bener-bener cinta aku, kenapa kamu nggak berubah jadi pria yang lebih baik dan perjuangin aku? Kamu nggak melakukan apa-apa saat aku minta cerai! Kamu bertahan sama sikap kamu yang kayak gini!” tukas Allana cepat.
“Kamu nggak akan pernah bisa sabar dengan kekuranganku All. Kamu nggak akan pernah bisa terima itu selama aku bukan pria yang bisa kasih kamu uang bulanan, sesuai yang kamu harapkan. Itu kenapa aku milih ngelepas kamu dan aku terima keputusanmu. Aku ngerasa gagal di matamu. Aku nggak akan pernah layak buat kamu. Aku nggak akan bisa bahagiain kamu.”
“Kamu tuh gampang nyerah Chel. Kenapa kamu nggak pernah mau dengerin aku?”
“Udahlah All. Kita udah cerai. Nggak usah dibahas. Pusing... yang penting aku tetep tanggung jawab sebagai Papa Michy. Okey?” Marchell terlihat lelah, selalu seperti ini setiap mereka berdebat membicarakan soal keuangan mereka.
“Sebenernya aku mau nanya satu hal lagi.” Allana berusaha menepis rasa kesal demi menjawab penasaran di hatinya.
“Apa lagi?” Marchell sudah terlihat malas meladeninya.
“Tempo hari kamu sempet nanya kan, apa boleh pacaran lagi? Aku cuma mau tahu aja. Siapa wanita itu?”
“Bukan urusan kamu.”
“Itu urusan aku! Karena wanita itu bakal jadi mama tirinya Michy!”
